Tuesday, April 29, 2014

(19) Endah Kusumaningrum: Aku tidak Takut Lagi

Karya Endah Kusumaningrum "Aku tidak Takut Lagi" (Peserta No. 19)


(18) Rahma Nurul Husni: Saya Bangga Menjadi Relawan

Karya Rahma Nurul Husni "Saya Bangga Menjadi Relawan". (Peserta No. 18)


Yusuf Efendi: Langkah-Langkah dan Kesan Donor Darah

Karya Yusuf Efendi "Langkah-langkah dan kesan donor darah" (Peserta No. 17)


Feronica Christiani: Ini Cerita PMI-Ku. Apa ceritamu?

Karya Feronica Christiani "Ini Cerita PMI-Ku. Apa ceritamu?" (Peserta No. 16)



Rasito: Donor Darah, Siapa Takut?

“Manusia adalah makhluk sosial”, demikian ungkapan yang dikemukakan Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup pada 384-322 SM. Pendapat itu didasari kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dari lahir hingga meninggal dunia, manusia tak bisa terlepas dari bantuan orang lain. Maka kewajiban manusia adalah saling membantudan tolong menolong dengan sesamanya. 

Hubungan timbal balik positif mutlak diperlukan agar manusia bisa menjalani hidup dan kehidupannya secara wajar dan normal. Salah satu upayasaling membantu sesama adalah mendonorkan darah, yaitu menyumbangkandarah atau komponennya kepada orang lain untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihankesehatan. Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., M.P.H., menyampaikan bahwa kebutuhan darah di Indonesia mencapai 4,8 juta kantong per-tahun namun jumlah donasi hanya 2,5 juta (health.okezone.com, 9 Desember 2013). 

Ini berarti Indonesia masih membutuhkan banyak pendonor darah. Berawal dari ajakan seorang pembina Palang Merah Remaja (PMR), sejak tahun 2004 saya rutin mendonorkan darah melalui Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Purbalingga. PMI Kabupaten Purbalingga memang rutin mengadakan donor darah di sekolah-sekolah menengah atas di wilayah Kabupaten Purbalingga. Kebetulan sejak 2004 hingga sekarang saya bekerja SMA Negeri 1 Rembang Purbalingga sehingga setiap 3 bulan sekali saya bisa mendonorkan darah. Pada awal donor, saya agak takut. Saya bukan phobia jarum suntik tapimembayangkan jarum begitu besar menancap di pembuluh darah membuat keringat dingin membasahi tubuh. 

Namun didasari keinginan yang kuat untuk berbagi dan membantu sesama, saya tidak mengurungkan niat untuk donor darah. Ternyata setelah jarum suntik menancap di lengan dan darah mengalir menuju kantong darah sama sekali tidak terasa sakit. Selesai donor saya justru merasa lebih sehat dan bersemangat. Maka ketika PMI datang lagi, rasa takut itu sudah hilang, berubah menjadi kerinduan. Salah satu keuntungan mendonorkan darah secara rutin di PMI adalah adanya jaminan memperoleh darah secara gratis jika suatu saat membutuhkannya. Pada saat genting karena membutuhkan darah, banyak orang kebingungan mencari pendonor darah. Menghubungiorang-orang yang bersedia donor membutuhkan waktu yang cukup lama. 

Jika meminta ke PMIharus melengkapi persyaratan administrasi dan dikenakanBiaya Penggantian Pengolahan Darah (BPPD). Meskipun jumlahnya tidak seberapa, namun pada kondisi gawat bisa memperumit masalah. Tapi dengan menjadi pendonor darah rutin melalui PMI, masalah itu bisa diatasi. Mendonorkan darah memang sangat mudah, tinggal datang ke kantor PMI maka donor pun bisa dilaksanakan. Tapi bagaimana jika teman, saudara atau bahkan kita sendiri yang membutuhkan darah?Haruskah kesana-kemari menghubungi orang-orang yang bersedia donor? Dalam kondisi darurat, langkah seperti ini kurang praktis dan efisien. 

Setelah menonton video YouTube PMI di http://www.youtube.com/watch?v=Q3SkPSoF11A ternyata cara yang cepat, murah, mudah dan praktis mencari pendonor darah adalah dengan bergabung di PMI bloodbook, yaitu aplikasi di Facebook yang bisa mempertemukan orang-orang yang bergolongan darah sama. Melalui bloodbook kita bisa dengan mudah mengirim pesan ‘butuh darah’ untuk diri sendiri atau orang lain. Pesan ini secara otomatis akan tersebar di Facebook dengan cepat dan massal. Jadi, bergabung dengan bloodbook PMI sangat mempermudah mencari pendonor saat kita sedang butuh darah. “Setetes darah Anda menyelamatkan nyawa orang lain”.Bayangkan jika nyawa kita yang diselamatkan orang lain. Donor darah, siapa takut?

Bikhatul : Experience from red cross

Sudah satu tahun lebih aku menjadi anggota PMR di sekolahku. Dimulai tanggal 1 Desember 2012, aku memutuskan untuk mengikuti ekskul PMR karena aku tertarik dengan dunia medis dan aku suka materi-materi PMR seperti kesiapsiagaan bencana dan pertolongan pertama. Tak lupa juga rasa menjujung tinggi rasa kemanusiaan dan jiwa sosial semakin dipupuk ketika aku tergabung dalam ekskul tersebut. Banyak pengalaman dan pelajaran yang dapat aku adopsi ketika aku mulai terjun ke dunia palang merah. 

Misalnya saja pada saat aku menemui orang yang terluka pada saat kecelakaan di medan sulit. Karena aku sudah banyak tau tentang materi PP kucoba untuk menolong korban dibantu dengan masyarakat sekitar. Setelah selesai memberikan pertolongan pertama kami langsung melarikan korban ke puskesmas terdekat karena akses jalan untuk ke rumah sakit membutuhkan waktu yang lama. Sesampainya disana, dokter segera memeriksa dan merawat korban. Tak lama kemudian sang dokter keluar dari ruang UGD. “Terima kasih Nak, berkat pertolongan pertamamu korban masih bisa bertahan hidup.” kata dokter. Dengan senyuman haru aku menyambut dokter dan menceritakan perjuangan kami ketika menolong korban yang hampir terperosok ke jurang. 

Dari situlah aku memaknai arti dari sebuah kepedulian, gotong royong, dan semangat yang sangat kita butuhkan dimana pun kita berada saat orang lain membutuhkan kita atau sebaliknya. Pengalaman selanjutnya kudapat dari diriku sendiri yang pernah mengalami kecelakaan juga, mendonorkan darah, dan yang paling menegangkan adalah pengevakuasian korban gunung kelud. Disinilah aku berganti peran menjadi korban. Gunung kelud terletak sekitar 30 km dari rumahku. Tentunya dapat kami rasakan sensasi wedhus gembel dan lahar panas yang muncul pada malam hari tanggal 14 Pebruari silam. Kami sekeluarga panik dan ingin mengungsi walaupun rumah kami terletak pada zona aman. 

Satu jam sebelum meletusnya gunung kelud banyak orang yang mengungsi di selatan rumahku. Kulihat banyak orang yang tidak membawa perlengkapan apa-apa. Mungkin karena terburu-buru. Bapak-bapak dari satuan tentara, polisi, dan pasukan pmi serta relawan menolong proses evakusi penduduk menuju ke tempat yang lebih aman. Sejauh yang kulihat berkat para penolong itulah korban gunung kelud dapat diminimalisasi. Duar. Kurang lebih seperti itulah bunyi letusan yang terdengar pada 23.00 WIB. Petir menyambar-nyambar dari puncak gunung menunjukkan dahsyatnya kekuatan Allah SWT bisa terjadi kapan saja. Banyak dari warga desaku yang keluar rumah untuk melihat kejadian tersebut. Kami hanya khawatir hujan abu vulkanik merambat sampai ke desa kami seperti yang terjadi pada tahun 1990 silam. 

Selang empat jam kemudian keadaan mulai tenang, kendaraan yang lalu lalang tidak seramai pada jam-jam sebelumnya. Warga mulai kembali ke rumah masing-masing. Setelah subuh kulihat halaman rumahku bersih, tak ada segelintir debu abu-abu pun yang singgah. Terucap kata “alhamdulillah” dari keluargaku. Sungguh tragedi kelud itu telah menyadarkanku betapa pentingnya orang lain bagi kita dan kuasa Tuhan tidak mampu ditandingi manusia sepintar apapun sekuat apapun.

Ana: Terima Kasih PMI

Saat itu kebetulan aku keluar Kantor jam 17.20 tidak lama lagi buka puasa tiba, ku rasa daripada pulang terjebak macet terus buka puasa di angkot mending buka puasa di sekitar Kantor hingga aku dan kedua teman kerja pun memutuskan ngabuburit di Masjid Agung Bandung yang lokasinya tidak jauh dari Kantor. 

Namanya juga Pusat Kota tidak heran banyak orang memenuhi Alun Alun Bandung untuk ngabuburit, setiap Bulan Puasa tiba Pedagang Kaki Lima bertambah daripada biasanya dan banyak beralih menjual makanan siap saji dan kolak, begitu Adzan berkumandang aku dan temanku memilih untuk Shalat Maghrib dahulu kemudian berbuka puasa setelah makan selesai biasa perempuan selalu menyempatkan untuk berfoto ria namun ditengah kebersamaan itu dalam hati aku mengeluh sakit rasanya dadaku begitu sempit, memang aku akui asmaku terasa kambuh saat tadi siang tapi aku berusaha untuk menenangkan diri hingga akhirnya asma aku pulih dan tidak menganggu kegiatan bekerja tapi sekarang kurasa asmaku kambuh lagi dengan segera aku minum obat Salbutamol. 

Tanpa aku berbicara temanku sudah tahu asma sedang menguasai diriku, ku lihat raut wajahnya begitu mengkhawatirkan keadaanku, mereka sudah tahu menghadapiku jika sedang kambuh seperti ini aku tidak ingin banyak berkomunikasi dan diam cara untuk menenangkan pernafasanku namun waktu terus berlalu dalam diam tapi asmaku belum pulih malah semakin parah, sesekali temanku membasuhku dengan kayu putih dan mengelap keringat yang memenuhi wajahku “gimana mau pulang sekarang? kalau terus disini hari semakin malam kamu semakin kedinginan” ucap temanku, “aku disini saja menenangkan nafasku, kalian pulang saja sudah malam jangan khawatir asmaku pasti sembuh” kataku meyakinkan akan sembuh. temanku menggeleng dan lebih memilih setia menemaniku yang sedang berusaha menenangkan nafas namun keyakinan untuk sembuh begitu jauh karena asmaku kambuh begitu hebat sampai aku tidak mampu berjalan “kalian tahu gak dimana klinik terdekat biar aku di oxigen dan pernafasan aku lega?” tanyaku terbata bata. 

tiba tiba temanku ingat keberadaan mobil PMI di sekitar Alun Alun dan langsung bergegas meminta pertolongan PMI, tak lama temanku datang bersama Anggota PMI yang langsung memboyongku masuk kedalam Ambulans, mereka begitu cepat menanganiku memasangkan oxigen dan meninggikan tempat berbaring untuk menyamankan posisi tubuhku. aku mengatur nafasku menuruti anjuran Anggota PMI yang menanganiku, beberapa menit kemudian asmaku mulai tenang dan keadaanku membaik, sesaat kondisiku sudah tenang mereka meminta data diriku, aku dan temanku yang belum pernah sebelumnya berhubungan dengan PMI berpikiran akan dikenakan biaya namun pikiran itu salah segala bentuk pelayanan yang dilakukan Palang Merah Indonesia (PMI) gratis karena bersifat sosial. 

Aku banyak berterimakasih pada PMI yang telah memberikan pertolongan, selain aku mendapat pelayanan baik aku pun diantar pulang menggunakan Ambulans PMI karena khawatir asmaku kambuh lagi. dalam perjalanan pulang sirine Ambulans sesekali dinyalakan membuat aku dan temanku seakan tidak percaya pulang menggunakan Ambulans PMI, kenyataan yang seperti mimpi ini kita rasakan bersama, tidak pernah sebelumnya menduga seperti ini namun Subhanalloh ini kekuasanNya menciptakan hati yang berjiwa sosial tinggi yang dimiliki Anggota PMI mau menolong siapa saja tanpa mengharap apapun, begitu sampai rumah aku pun mengucapkan terima kasih lagi dan bersalaman dengan Anggota PMI, supir yang telah mengantarkanku.

Monday, April 28, 2014

Arifnur: Antara Aku, KSR, dan PMI

Palang Merah Indonesia Sumber Kasih Umat Manusia … PMI Menghantarkan Jasa 

Lagu ini memiliki kenangan indah. Tak kusangka, kini aku adalah bagian dari PMI. Inilah kisah perjalananku. Saat kuliah, iseng-iseng aku mendaftar ikut UKM KSR PMI di kampusku. 

Awalnya, aku tertarik ikut UKM KSR PMI karena saat OSPEK, display-nya yang menampilkan simulasi bencana sangat menarik. Ternyata untuk menjadi anggota UKM KSR PMI tidaklah mudah. Serangkaian kegiatan harus diikuti yaitu Diklat, Magang, Ujian Tulis dan Praktik, serta Gladi Medan. Walaupun sudah setahun berlalu, aku masih ingat jelas cerita di balik kegiatan itu.
 

Selama empat minggu (sabtu-minggu) aku menjalani prosesi diklat KSR PMI. Aku benar-benar merasakan perubahan besar dalam hidupku. Selama diklat, aku dipanggil Cata. Untuk pertama kalinya aku mendengar kata “Siammo Tutti Fratelli” dan “Korsa” yang keduanya mengajarkan tentang kebersamaan. Selama prosesi diklat ini, otakku dilatih. Aku mempelajari banyak materi tentang kepalangmerahan dan pertolongan pertama yang sangat rumit. Tak hanya itu, kekuatan fisikku juga dilatih. Setiap hari tak kurang dari empat snack (1 snack = 15 kali push up dan 15 kali sit up) kulahap bersama operasional lapangan yang terkenal garang. 

Jujur, waktu itu aku sempat berpikiran untuk mundur karena banyaknya tugas kuliah, tidak bisa refreshing, dan tidak bisa mudik. Melelahkan, memang. Tetapi, alasan yang membuatku bertahan adalah sudah terlanjur mencari perlengkapan diklat yang rempong. Mungkin terdengar sepele tapi prinsipku: ‘yen wes kadung nyemplong, mending sekalian teles sisan’, artinya ‘kalau sudah terlanjur masuk, lebih baik diselesaikan sekalian.’ Seusai diklat, kukira aku segera dilantik menjadi anggota KSR PMI. 

Ternyata masih ada kegiatan selanjutnya yaitu magang dan ujian baik ujian tulis maupun praktik. Waktu itu, aku mendapatkan jatah magang 5 kali yaitu 4 kali di UKM KSR PMI dan 1kali di Markas PMI. Selain itu, aku juga harus melengkapi materi yang kutinggalkan saat sakit. Selama prosesi magang dan ujian ini aku mulai belajar apa itu KSR dan PMI. Waktu terus berlalu, lelah, itulah yang kurasakan saat itu. Apalagi trending topic-nya, “kapan dilantik menjadi anggota KSR PMI?” Saat itu kesabaranku benar-benar diuji hingga tibalah saatnya Gladi Medan. Menurutku, GM merupakan titik balik perjuanganku. 

Semua ilmu dan latihan fisik yang kujalani selama diklat baru terasa gunanya. Selama dua hari satu malam, aku dan teman-temanku harus berjuang mendaki pegunungan terjal untuk mencari pos-pos latihan yang gelap dan mencekam. Aku berlatih survival, tidur beralaskan rumput dan beratapkan langit. Entah karena kepepet, jujur waktu itu aku tidak merasa takut atau jijik. Bahkan jika dipikir-pikir lagi, kalau sekarang aku harus mengulangi prosesi GM, rasanya tak sanggup. Setelah melewati perjalanan panjang selama GM, akhirnya aku resmi dinyatakan sebagai anggota KSR PMI dan sekaligus menjadi bagian dari PMI. Rasa haru, bangga, dan sedih bercampur menjadi satu saat itu. 

Batinku, “setelah melalui perjalanan panjang dan bertahan dari berbagai rintangan akhirnya selesai juga.” Inilah cerita antara aku, KSR dan PMI. Bonusnya kini aku juga pengurus KSR PMI. 

“Orang hebat bukanlah orang yang berpikir untuk menjadi hebat, tetapi orang hebat adalah orang yang berbuat hebat dalam setiap kesempatan”

Rifan N. : Berbuat Baik Pasti Ada Balasannya

Mendonorkan darah? Sungguh membayangkannya saja saya takut. Tapi ketika teman sekantor saya butuh donor darah O, tiba-tiba hati saya terketuk. 

Di kantor saya hampir tak ada yang bisa mendonorkan darah sebab golongan darahnya rata-rata bukan O. Kalau pun ada seorang-dua, kondisi mereka tak memungkinkan melakukannya. 

Akhirnya, meski dengan rasa takut membayangkan jarum suntik yang besar menerobos kulit lengan, saya memberanikan diri mendonorkan darah. Dan alhmadulillah, teman saya bisa terbantu. Ajaib, setelah mendonorkan darah, tubuh saya terasa enteng. Kepala yang sering pusing, menjadi jarang kambuh. 

Saya putuskan untuk mendonorkan darah dua kali dalam setahun. Meskipun masih bolong-bolong, terhitung sudah delapan atau sembilan kali saya mendonorkan darah. Saya tak terlalu memusingkan masalah donor darah itu. Tanpa pamrih, selain niatnya membantu. Hingga kejadian yang mencemaskan menimpa saya kurang lebih setahun lalu. Istri saya melahirkan dengan operasi caesar. Alhamdulillah, kejadiannya lancar-lancar saja. Yang tak lancar adalah menimpa si bayi (anak saya). Pada saat itu hemoglobinnya rendah. Menurut dokter hemoglobin darah normal untuk bayi yang baru lahir sekitar 12-24gr/dL. Sementara anak saya cuma 7,4gr/dL. Dan harus segera mendapatkan donor darah. Saya ingat saat itu hampir jam tujuh malam. 

Andainya golongan darah anak saya O, saya pasti langsung mendonorkan darah saya kendati saat itu badan tak fit. Tapi golongan darah anak saya adalah A+. Sementara yang golongan darahnya A+ dalam keluarga kami hanyalah istri saya. Dengan pikiran berkecamuk, apalagi kata dokter, anak saya butuh darah segar dan lebih bagus dari keluarga sendiri, saya kemudian menelepon saudara saya dan saudara istri. Beruntung ada seorang sepupu istri saya yang golongan darahnya A+. Ah, tak lupa saya bersyukur kepada Allah SWT sambil menghembuskan napas lega. Tapi cobaan masih datang mendera. Besok malamnya saya diberitahu dokter kalau darah yang didonorkan itu infeksi. Jadi jam sembilan malam itu saya harus mendapatkan donor darah baru. 

“Kalau saya tak mendapatkan donor darah baru malam ini, bagaimana, Dok?” tanya saya hampir meneteskan mata.” 

“Kita sama-sama tak berharap hal terburuk menimpa anak anda, kan?” Dokter itu berkata pelan. 

Deg, jantung saya berdetak keras. Beberapa teman bahkan bos di kantor, saya telepon. Tapi semua tak memberikan jawaban memuaskan. 

Saya mulai berpikir jelek bahwa apa gunanya saya dari dulu mendonorkan darah berkali-kali, sementara ketika saya hanya butuh darah 40 cc saja, tak ada seorang pun yang bisa membantu. Tapi Allah SWT berbaik hati. Dia membalas darah yang saya sumbangkan, dengan mendatangkan seorang lelaki yang masih saudara jauh dari istri abang ipar. Ternyata golongan darahnya A+. Dan ternyata pula darahnya sehat. 

“Berapa untuk donor darahnya?” tanya saya kepada lelaki pendonor itu. 

Jawabnya, “Tak usah! Saya ikhlas untuk saling membantu.” 

Padahal saat mendonorkan darah itu, waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Terima kasih untuk bantuannya, sobat. Saya tiba-tiba merasa bersalah sempat berpikir jelek bahwa donor darah yang saya lakukan sebelumnya tak berarti.Ternyata sangat berarti, hingga anak saya bisa tumbuh sehat hingga sekarang.

Erwina: Mendonorkan darah, tak berkurang, justru bertambah

Di lingkungan kampus, aksi mendonorkan darah biasanya sangat lekat dengan para mahasiswa yang aktif dalam kegiatan pecinta alam (Mapala). Demikian juga dengan kampus saya di Solo, saat saya kuliah beberapa tahun lalu. Karena sering melihat mobil PMI yang datang ke kampus (ternyata untuk mengadakan pendonoran darah yang berkerja sama dengan Mapala), saya pun tertarik. Kali pertama melihat jarum suntik yang segede gaban (lubang jarumnya lebih besar ketimbang lubang jarum yang biasa digunakan dokter untuk menyuntik pasien) saya sempat keder. Tapi  saat dieksekusi (darah disadap oleh petugas), ternyata tidak semengerikan yang saya bayangkan, sakit sih, tapi cuma sebentar, seperti digigit semut. Jadilah saya sukses mendonorkan darah kali pertama, saat duduk di semester dua program S1 Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Meski tidak rutin tiga bulan sekali, selama masa kuliah saya termasuk rajin mendonorkan darah, dan sering mengajak kawan untuk mau menonorkan darahnya. Lucunya, di kalangan kawan mahasiswa, mendonorkan darah bisa jadi “alat memperpanjang umur”, terutama mahasiswa perantauan. Maklum, jatah telur, susu dan snack berat yang diberikan petugas saat mendonorkan darah bisa jadi penawar lapar anak-anak kos yang kehabisan uang makan..hehehe.

Ada cerita yang cukup mengejutkan sekaligus membuka mata terkait aktivitas mendonorkan darah ini. Seorang kawan mahasiswa saya, perempuan, berperawakan kecil, sudah berniat mendonorkan darahnya berkali-kali, namun selalu ditolak oleh petugas karena berat badannya tidak memenuhi syarat. Suatu hari, ternyata berat badannya sudah cukup untuk bisa berdonor.  Meski setelah disadap darahnya kawan saya itu sempat merasa pusing, namun itu tidak menghalangi niatnya untuk mendonorkan darah di kesempatan berikutnya.

Belum juga menginjak tiga bulan kemudian (syarat mendonorkan darah adalah minimal tiga bulan setelah mendonorkan darah kali terakhir), datang surat dari PMI Kota Solo untuk kawan saya itu. Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa ternyata dalam darah kawan saya itu terdeteksi adanya virus hepatitis (saya kurang ingat hepatitis tipe apa). Kabar itu tentu mengejutkan bagi kawan saya, dan tentu saja saya. Tapi hal itu sekaligus membuka mata saya, bahwa mendonorkan darah tidak saja berarti kita membantu semasa, tapi juga membantu diri kita menjaga kesehatan. Seperti diketahui, darah yang disadap dari para pendonor, akan melalui sejumlah treatment dan pemeriksaan. Di antaranya pemeriksaan tentang kemungkinan adanya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, termasuk di antaranya HVI dan hepatitis.
 
Nah, dengan berdonor secara teratur, berarti kita secara teratur pula telah “memeriksakan diri” , gratis pula! Dan enaknya lagi, untuk pendonor rutin, PMI memberi sejumlah kemudahan, misalnya bebas biaya administrasi jika suatu saat pendonor atau keluarganya membutuhkan darah dari PMI, selain itu ada juga fasilitas periksa dokter gratis di kantor layanan PMI, bahkan asuransi. Terbukti, tidak ada yang berkurang saat kita mendonorkan darah (selain tentu saja sekantung darah yang disadap petugas), sebaliknya, banyak manfaat dan keuntungan yang kita dapat dengan aktif berdonor darah.

Khafidlotul: Kalau Cukup Syarat, Mengapa Tidak?


“Jangan tegang seperti itu Ngga. Lihatlah anak-anak itu, mereka masih tetap bisa tertawa lepas.” Izza menggoda Angga.

Wajah Angga memang terlihat sangat tegang. Ia memang phobia terhadap jarum suntik. Selama ini bila ia sakit, dan Ibunya berkeras untuk membawa Angga ke dokter, dia selalu bisa meyakinkan Ibunya bahwa ia bisa sembuh tanpa harus berurusan dengan dokter dan jarum suntik. Namun, hari itu ia tidak bisa menolak. Karena hari itu, kelompok KKN ku akan menyelenggarakan program donor dan pengecekan golongan darah.

Anggota KKN yang memenuhi syarat wajib bisa berpartisipasi. Namun, bukan alasan itu yang membuat Angga mau ikut program donor darah. Pak Moyo, kami biasa memanggil beliau Bapak,  bapak yang mengayomi kami selama KKN ini akan sangat senang kalau Angga bisa ikut donor darah. Maka ia tidak bisa untuk tidak berpartisipasi dalam program ini. Sepanjang pagi itu Angga menjadi tegang, ia menjadi tak bisa diajak bercanda seperti biasa.

“Mas Angga...” Salah satu petugas PMI memanggil Angga untuk melakukan pengecekan sebelum donor.

“Rileks Ngga.” kata Faiz pada Angga.

“Bentar Mas, saya ke sana sebentar.” Kata Angga kepada petugas PMI sambil menunjuk ruang keamanan balai desa.

Angga menuju ruang keamanan balai desa yang merupakan ruang kerja Bapak.

“Pak, saya mohon doa restunya.” Kata Angga sambil mencium tangan Bapak.

“Ya, santai aja. Donor darah tidak akan membuat kamu mati, tenang saja.” Kata Bapak sambil tertawa.

Angga juga tahu kalau donor darah tidak akan membuatnya mati, tapi yang tak bisa di bayangkan, adalah ketika darah masuk ke dalam kulitnya, menembus pembuluh darahnya, dan darah akan mengalir ke dalam kantong darah. Angga segera menghilangkan bayangan itu, karena bayanagn itu hanya membuatnya bergidik. 

“Minum dulu teh Bapak.” Kata Bapak sambil menyodorkan gelas tehnya.

“Makasih Pak.” Angga meraih dan meneguk teh yang disodorkan Bapak.

Setelah menghabiskan teh Bapak, Angga menuju tandu pendonoran. Melewati serangkaian pemeriksaan. Kemudian ia berbaring dan memasrahkan lengannya pada petugas. Faiz, Arif, Izza, aku, dan beberapa teman lain mengelilingi Angga. Mereka tidak ingin melewatkan ekspresi Angga ketika jarum suntik mulai tertancap di kulitnya.

“Tenang Ngga, itu jarum masih di pegang sama petugas, kamu udah nyungir gitu.” Ledek Arif.
Angga tidak menghiraukan ledekan Arif. Ia masih borkonsentrasi merasakan tusukan jarum suntik di lengannya. Ingin rasanya memalingkan muka ke petugas, tapi ia tak sanggup melihat jarum suntik yang dipegang petugas. Sang petugas berusaha mengalihkan perhatian Angga dengan obrolan ringan, tapi Angga hanya menjawab secukupnya saja.

“Rileks Mas, kita harus menunggu beberapa saat sampai kantong darahnya penuh.” Kata petugas kepada Angga.

“Jarumnya sudah masuk to Mas?” Tanya Angga.

“Sudah Mas. Tidak terasa ya?” Petugas PMI balik bertanya.

Ternyata donor darah tak semengerikan yang Angga bayangkan. Tak membuat ia harus lemah tak berdaya akibat satu tusukan jarum kecil.

“Berbagi itu perlu. Kalau kita sehat dan cukup memenuhi syarat untuk donor mengapa tidak?” Kata Angga setelah donor darah selesai.

“Betul itu Mas. Nanti tiga bulan lagi, kalau Mas memnuhi syarat menjadi donor, donor saja Mas.” Kata petugas PMI.

Wajah Angga langsung memerah. Ia tak bisa membayangkan lagi ketegangan yang harus dialaminya ketika akan donor.

Yono: PMI-Ku Selektif dan Komunikatif

Dibutuhkan tekad yang kuat memang untuk melakukan donor  darah. Utamanya dari diri sendiri. Karena tak sedikit pertanyaan-pertanyaan bernada negatif   muncul  dari orang-orang di sekitar  saat  aku akan donor darah :  bagaimana kalau tiba-tiba darahnya  tidak bisa diambil, apakah jarum suntik yang dipakai untuk donor darah itu aman, apakah semua darah yang ditransfusikan  dari PMI itu sehat dan  tak mengandung bibit penyakit ? Kalau mendengar pertanyaan seperti itu, biasanya sih  aku tak mau menjawabnya langsung. Apalagi sampai debat kusir. Percuma. Untuk memberikan informasi yang positif tentang donor darah, saat  ada kegiatan donor darah yang akan kuikuti, mereka kuajak serta.

***
Seperti kejadian beberapa bulan yang lalu saat Kantor Wilayah tempatku bekerja mengadakan kegiatan bakti sosial donor darah. Bisa ditebak hanya orang-orang itu saja, termasuk aku,  yang mendaftar jadi pesertanya. Inilah saatnya mengenalkan arti positif donor darah, pikirku saat itu. Dengan alasan akan kutraktir  makan siang, orang-orang yang bermulut negatif  itu pun  kuajak ke tempat donor darah.

Siang itu ruangan tempat donor darah sudah lumayan ramai.  Setelah mengisi formulir,  cek tekanan darah dan Hb, ternyata aku dinyatakan lolos  untuk donor darah. Alhamdulillah, ucapku dalam hati.

Sambil  menunggu antrian untuk diambil darah, kulihat ada temanku yang sekantor gagal untuk donor darah. Ada yang karena  Hb nya terlalu rendah. Karena penasaran, aku pun bertanya kepada petugas PMI yang  ada di dekatku.

 “ Pak, kenapa sih darah yang Hb nya rendah kok nggak bisa ikut donor ?”

Yang kutanya hanya tersenyum simpul. Membuat aku tambah penasaran.

 “ Hb  itu  vitaminnya darah, Mas. Lha kalau darah tak ada vitaminnya, kosong melompong, untuk apa didonorkan ? Kasihan kan orang-orang yang menerima transfusi darah ?”

Mumpung bisa bertanya banyak, saat itu juga kutanyakan tentang jarum untuk mengambil darah. Dijelaskan bahwa jarum yang dipakai adalah jarum sekali pakai, habis dipakai langsung dibuang.  Aku dan teman-teman  yang mendengarkan penjelasannya  langsung manggut-manggut, tanda  telah paham prosedur donor darah yang sebenarnya. Ternyata PMI sangat  selektif  dalam mengelola darah dari para pendonornya kan ?

***
Lain lagi kisah yang dialami oleh teman SMA ku  ini. Sebut saja namanya Hasan. Saat dia sedang santai sambil leyeh-leyeh, tiba-tiba Pak  Pos datang menghampirinya.

“ Pooos...”

Hasan bergegas menghampiri Pak Pos dan menerima surat yang ditujukan kepadanya. Di  amplop putih yang dipegangnya, tercetak logo dan kop surat dari Palang Merah Indonesia (PMI). Pelan-pelan dibukanya surat itu, dan matanya terbelalak kaget saat dia membaca kata demi kata yang ditulis oleh pegawai Unit Transfusi Darah PMI. Inti suratnya  yaitu bahwa PMI tidak dapat menggunakan darah yang telah didonorkan oleh  Hasan beberapa  bulan yang lalu. Karena darahnya mengandung virus Hepatitis B.

Saat Hasan menceritakan kisahnya dan minta jalan keluar dariku atas penyakit  hepatitis B nya, saat itu aku langsung berkata dalam hati : ternyata PMI sangat komunikatif terhadap para pendonor darah. Mau menerima darahnya, ternyata PMI juga mau memberitahukan penyakit apa saja yang diderita oleh para pendonor. Tentu saja hal tersebut dilakukan secara tertutup, karena hal seperti ini merupakan rahasia ppribadi para pendonor.

So, kenapa mesti takut untuk donor darah ?