“Jangan
tegang seperti itu Ngga. Lihatlah anak-anak itu, mereka masih tetap bisa
tertawa lepas.” Izza menggoda Angga.
Wajah
Angga memang terlihat sangat tegang. Ia memang phobia terhadap jarum suntik.
Selama ini bila ia sakit, dan Ibunya berkeras untuk membawa Angga ke dokter,
dia selalu bisa meyakinkan Ibunya bahwa ia bisa sembuh tanpa harus berurusan
dengan dokter dan jarum suntik. Namun, hari
itu ia tidak bisa menolak. Karena hari itu, kelompok KKN ku akan menyelenggarakan
program donor dan pengecekan golongan darah.
Anggota KKN yang memenuhi
syarat wajib bisa berpartisipasi. Namun,
bukan alasan itu yang membuat Angga mau
ikut program donor darah. Pak Moyo, kami biasa memanggil beliau Bapak, bapak yang mengayomi kami selama KKN ini akan
sangat senang kalau Angga bisa ikut donor darah. Maka ia tidak bisa untuk tidak
berpartisipasi dalam program ini.
Sepanjang pagi itu Angga menjadi tegang, ia menjadi tak bisa diajak bercanda
seperti biasa.
“Mas
Angga...” Salah satu petugas PMI memanggil Angga untuk melakukan pengecekan sebelum donor.
“Rileks
Ngga.” kata Faiz pada Angga.
“Bentar
Mas, saya ke sana sebentar.” Kata Angga kepada petugas PMI sambil menunjuk
ruang keamanan balai desa.
Angga
menuju ruang keamanan balai desa yang merupakan ruang kerja Bapak.
“Pak,
saya mohon doa restunya.” Kata Angga sambil mencium tangan Bapak.
“Ya,
santai aja. Donor darah tidak akan membuat kamu mati, tenang saja.” Kata Bapak
sambil tertawa.
Angga
juga tahu kalau donor darah tidak akan membuatnya mati, tapi yang tak bisa di
bayangkan, adalah ketika darah masuk ke dalam kulitnya, menembus pembuluh
darahnya, dan darah akan mengalir ke dalam kantong darah. Angga segera menghilangkan bayangan itu, karena
bayanagn itu hanya membuatnya bergidik.
“Minum
dulu teh Bapak.” Kata Bapak sambil menyodorkan gelas tehnya.
“Makasih
Pak.” Angga meraih dan meneguk teh yang disodorkan Bapak.
Setelah
menghabiskan teh Bapak, Angga menuju tandu pendonoran. Melewati serangkaian pemeriksaan. Kemudian ia berbaring
dan memasrahkan lengannya pada petugas. Faiz, Arif, Izza, aku, dan beberapa teman lain
mengelilingi Angga. Mereka tidak ingin melewatkan ekspresi Angga ketika jarum
suntik mulai tertancap di kulitnya.
“Tenang
Ngga, itu jarum masih di pegang sama petugas, kamu udah nyungir gitu.” Ledek Arif.
Angga
tidak menghiraukan ledekan Arif. Ia masih borkonsentrasi merasakan tusukan
jarum suntik di lengannya. Ingin rasanya memalingkan muka ke petugas, tapi ia
tak sanggup melihat jarum suntik yang dipegang petugas. Sang petugas berusaha
mengalihkan perhatian Angga
dengan obrolan ringan, tapi Angga hanya menjawab secukupnya saja.
“Rileks
Mas, kita harus menunggu beberapa saat sampai kantong darahnya penuh.” Kata
petugas kepada Angga.
“Jarumnya
sudah masuk to Mas?” Tanya Angga.
“Sudah
Mas. Tidak terasa ya?” Petugas PMI balik bertanya.
Ternyata
donor darah tak semengerikan yang Angga bayangkan. Tak membuat ia harus lemah tak berdaya akibat satu
tusukan jarum kecil.
“Berbagi itu perlu. Kalau kita sehat dan cukup
memenuhi syarat untuk donor mengapa tidak?” Kata Angga setelah donor darah
selesai.
“Betul itu Mas. Nanti tiga bulan lagi, kalau Mas
memnuhi syarat menjadi donor, donor saja Mas.” Kata petugas PMI.
Wajah Angga langsung memerah. Ia tak bisa membayangkan
lagi ketegangan yang harus dialaminya ketika akan donor.
No comments:
Post a Comment