Monday, April 28, 2014

Khafidlotul: Kalau Cukup Syarat, Mengapa Tidak?


“Jangan tegang seperti itu Ngga. Lihatlah anak-anak itu, mereka masih tetap bisa tertawa lepas.” Izza menggoda Angga.

Wajah Angga memang terlihat sangat tegang. Ia memang phobia terhadap jarum suntik. Selama ini bila ia sakit, dan Ibunya berkeras untuk membawa Angga ke dokter, dia selalu bisa meyakinkan Ibunya bahwa ia bisa sembuh tanpa harus berurusan dengan dokter dan jarum suntik. Namun, hari itu ia tidak bisa menolak. Karena hari itu, kelompok KKN ku akan menyelenggarakan program donor dan pengecekan golongan darah.

Anggota KKN yang memenuhi syarat wajib bisa berpartisipasi. Namun, bukan alasan itu yang membuat Angga mau ikut program donor darah. Pak Moyo, kami biasa memanggil beliau Bapak,  bapak yang mengayomi kami selama KKN ini akan sangat senang kalau Angga bisa ikut donor darah. Maka ia tidak bisa untuk tidak berpartisipasi dalam program ini. Sepanjang pagi itu Angga menjadi tegang, ia menjadi tak bisa diajak bercanda seperti biasa.

“Mas Angga...” Salah satu petugas PMI memanggil Angga untuk melakukan pengecekan sebelum donor.

“Rileks Ngga.” kata Faiz pada Angga.

“Bentar Mas, saya ke sana sebentar.” Kata Angga kepada petugas PMI sambil menunjuk ruang keamanan balai desa.

Angga menuju ruang keamanan balai desa yang merupakan ruang kerja Bapak.

“Pak, saya mohon doa restunya.” Kata Angga sambil mencium tangan Bapak.

“Ya, santai aja. Donor darah tidak akan membuat kamu mati, tenang saja.” Kata Bapak sambil tertawa.

Angga juga tahu kalau donor darah tidak akan membuatnya mati, tapi yang tak bisa di bayangkan, adalah ketika darah masuk ke dalam kulitnya, menembus pembuluh darahnya, dan darah akan mengalir ke dalam kantong darah. Angga segera menghilangkan bayangan itu, karena bayanagn itu hanya membuatnya bergidik. 

“Minum dulu teh Bapak.” Kata Bapak sambil menyodorkan gelas tehnya.

“Makasih Pak.” Angga meraih dan meneguk teh yang disodorkan Bapak.

Setelah menghabiskan teh Bapak, Angga menuju tandu pendonoran. Melewati serangkaian pemeriksaan. Kemudian ia berbaring dan memasrahkan lengannya pada petugas. Faiz, Arif, Izza, aku, dan beberapa teman lain mengelilingi Angga. Mereka tidak ingin melewatkan ekspresi Angga ketika jarum suntik mulai tertancap di kulitnya.

“Tenang Ngga, itu jarum masih di pegang sama petugas, kamu udah nyungir gitu.” Ledek Arif.
Angga tidak menghiraukan ledekan Arif. Ia masih borkonsentrasi merasakan tusukan jarum suntik di lengannya. Ingin rasanya memalingkan muka ke petugas, tapi ia tak sanggup melihat jarum suntik yang dipegang petugas. Sang petugas berusaha mengalihkan perhatian Angga dengan obrolan ringan, tapi Angga hanya menjawab secukupnya saja.

“Rileks Mas, kita harus menunggu beberapa saat sampai kantong darahnya penuh.” Kata petugas kepada Angga.

“Jarumnya sudah masuk to Mas?” Tanya Angga.

“Sudah Mas. Tidak terasa ya?” Petugas PMI balik bertanya.

Ternyata donor darah tak semengerikan yang Angga bayangkan. Tak membuat ia harus lemah tak berdaya akibat satu tusukan jarum kecil.

“Berbagi itu perlu. Kalau kita sehat dan cukup memenuhi syarat untuk donor mengapa tidak?” Kata Angga setelah donor darah selesai.

“Betul itu Mas. Nanti tiga bulan lagi, kalau Mas memnuhi syarat menjadi donor, donor saja Mas.” Kata petugas PMI.

Wajah Angga langsung memerah. Ia tak bisa membayangkan lagi ketegangan yang harus dialaminya ketika akan donor.

No comments:

Post a Comment