Monday, April 28, 2014

Erwina: Mendonorkan darah, tak berkurang, justru bertambah

Di lingkungan kampus, aksi mendonorkan darah biasanya sangat lekat dengan para mahasiswa yang aktif dalam kegiatan pecinta alam (Mapala). Demikian juga dengan kampus saya di Solo, saat saya kuliah beberapa tahun lalu. Karena sering melihat mobil PMI yang datang ke kampus (ternyata untuk mengadakan pendonoran darah yang berkerja sama dengan Mapala), saya pun tertarik. Kali pertama melihat jarum suntik yang segede gaban (lubang jarumnya lebih besar ketimbang lubang jarum yang biasa digunakan dokter untuk menyuntik pasien) saya sempat keder. Tapi  saat dieksekusi (darah disadap oleh petugas), ternyata tidak semengerikan yang saya bayangkan, sakit sih, tapi cuma sebentar, seperti digigit semut. Jadilah saya sukses mendonorkan darah kali pertama, saat duduk di semester dua program S1 Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Meski tidak rutin tiga bulan sekali, selama masa kuliah saya termasuk rajin mendonorkan darah, dan sering mengajak kawan untuk mau menonorkan darahnya. Lucunya, di kalangan kawan mahasiswa, mendonorkan darah bisa jadi “alat memperpanjang umur”, terutama mahasiswa perantauan. Maklum, jatah telur, susu dan snack berat yang diberikan petugas saat mendonorkan darah bisa jadi penawar lapar anak-anak kos yang kehabisan uang makan..hehehe.

Ada cerita yang cukup mengejutkan sekaligus membuka mata terkait aktivitas mendonorkan darah ini. Seorang kawan mahasiswa saya, perempuan, berperawakan kecil, sudah berniat mendonorkan darahnya berkali-kali, namun selalu ditolak oleh petugas karena berat badannya tidak memenuhi syarat. Suatu hari, ternyata berat badannya sudah cukup untuk bisa berdonor.  Meski setelah disadap darahnya kawan saya itu sempat merasa pusing, namun itu tidak menghalangi niatnya untuk mendonorkan darah di kesempatan berikutnya.

Belum juga menginjak tiga bulan kemudian (syarat mendonorkan darah adalah minimal tiga bulan setelah mendonorkan darah kali terakhir), datang surat dari PMI Kota Solo untuk kawan saya itu. Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa ternyata dalam darah kawan saya itu terdeteksi adanya virus hepatitis (saya kurang ingat hepatitis tipe apa). Kabar itu tentu mengejutkan bagi kawan saya, dan tentu saja saya. Tapi hal itu sekaligus membuka mata saya, bahwa mendonorkan darah tidak saja berarti kita membantu semasa, tapi juga membantu diri kita menjaga kesehatan. Seperti diketahui, darah yang disadap dari para pendonor, akan melalui sejumlah treatment dan pemeriksaan. Di antaranya pemeriksaan tentang kemungkinan adanya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, termasuk di antaranya HVI dan hepatitis.
 
Nah, dengan berdonor secara teratur, berarti kita secara teratur pula telah “memeriksakan diri” , gratis pula! Dan enaknya lagi, untuk pendonor rutin, PMI memberi sejumlah kemudahan, misalnya bebas biaya administrasi jika suatu saat pendonor atau keluarganya membutuhkan darah dari PMI, selain itu ada juga fasilitas periksa dokter gratis di kantor layanan PMI, bahkan asuransi. Terbukti, tidak ada yang berkurang saat kita mendonorkan darah (selain tentu saja sekantung darah yang disadap petugas), sebaliknya, banyak manfaat dan keuntungan yang kita dapat dengan aktif berdonor darah.

No comments:

Post a Comment