Di lingkungan kampus, aksi mendonorkan
darah biasanya sangat lekat dengan para mahasiswa yang aktif dalam kegiatan
pecinta alam (Mapala). Demikian juga dengan kampus saya di Solo, saat saya
kuliah beberapa tahun lalu. Karena sering melihat mobil PMI yang datang ke
kampus (ternyata untuk mengadakan pendonoran darah yang berkerja sama dengan Mapala),
saya pun tertarik. Kali pertama melihat jarum suntik yang segede gaban (lubang
jarumnya lebih besar ketimbang lubang jarum yang biasa digunakan dokter untuk
menyuntik pasien) saya sempat keder. Tapi
saat dieksekusi (darah disadap oleh petugas), ternyata tidak
semengerikan yang saya bayangkan, sakit sih, tapi cuma sebentar, seperti
digigit semut. Jadilah saya sukses mendonorkan darah kali pertama, saat duduk
di semester dua program S1 Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Meski tidak rutin tiga bulan
sekali, selama masa kuliah saya termasuk rajin mendonorkan darah, dan sering
mengajak kawan untuk mau menonorkan darahnya. Lucunya, di kalangan kawan
mahasiswa, mendonorkan darah bisa jadi “alat memperpanjang umur”, terutama
mahasiswa perantauan. Maklum, jatah telur, susu dan snack berat yang diberikan
petugas saat mendonorkan darah bisa jadi penawar lapar anak-anak kos yang
kehabisan uang makan..hehehe.
Ada cerita yang cukup
mengejutkan sekaligus membuka mata terkait aktivitas mendonorkan darah ini.
Seorang kawan mahasiswa saya, perempuan, berperawakan kecil, sudah berniat mendonorkan
darahnya berkali-kali, namun selalu ditolak oleh petugas karena berat badannya
tidak memenuhi syarat. Suatu hari, ternyata berat badannya sudah cukup untuk
bisa berdonor. Meski setelah disadap
darahnya kawan saya itu sempat merasa pusing, namun itu tidak menghalangi
niatnya untuk mendonorkan darah di kesempatan berikutnya.
Belum juga menginjak tiga
bulan kemudian (syarat mendonorkan darah adalah minimal tiga bulan setelah mendonorkan
darah kali terakhir), datang surat dari PMI Kota Solo untuk kawan saya itu.
Surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa ternyata dalam darah kawan saya itu
terdeteksi adanya virus hepatitis (saya kurang ingat hepatitis tipe apa). Kabar
itu tentu mengejutkan bagi kawan saya, dan tentu saja saya. Tapi hal itu
sekaligus membuka mata saya, bahwa mendonorkan darah tidak saja berarti kita
membantu semasa, tapi juga membantu diri kita menjaga kesehatan. Seperti diketahui,
darah yang disadap dari para pendonor, akan melalui sejumlah treatment dan
pemeriksaan. Di antaranya pemeriksaan tentang kemungkinan adanya penyakit-penyakit
yang disebabkan oleh virus, termasuk di antaranya HVI dan hepatitis.
Nah, dengan berdonor secara teratur, berarti
kita secara teratur pula telah “memeriksakan diri” , gratis pula! Dan enaknya
lagi, untuk pendonor rutin, PMI memberi sejumlah kemudahan, misalnya bebas
biaya administrasi jika suatu saat pendonor atau keluarganya membutuhkan darah
dari PMI, selain itu ada juga fasilitas periksa dokter gratis di kantor layanan
PMI, bahkan asuransi. Terbukti, tidak ada yang berkurang saat kita mendonorkan
darah (selain tentu saja sekantung darah yang disadap petugas), sebaliknya,
banyak manfaat dan keuntungan yang kita dapat dengan aktif berdonor darah.
No comments:
Post a Comment