Pertama kali saya mendonorkan darah saat kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagai mahasiswa rantauan, saya mencoba aktif dalam berbagai kegiatan di kampung tempat saya tinggal, yaitu Demangan.
Ketika memperingati HUT Kemerdekaan RI pada
2002, di Demangan diadakan donor darah massal. Lebih karena ingin mencoba, saya
berpartisipasi. Saat jarum akan dipasangkan di lengan saya, kecemasan segera menghinggapi.
Saya pikir, rasanya pasti sakit. Apalagi darah yang diambil sekantung penuh,
bisa-bisa memengaruhi fisik saya yang kurus.
Kenyataannya tidaklah seperti yang saya
khawatirkan. Rasa sakitnya hanya sedikit dan tidak lama. Setelah selesai,
semuanya baik-baik saja. Bahkan, beberapa hari kemudian, saya merasakan tubuh
saya menjadi lebih nyaman dan sehat.
Karena pengalaman pertama itu, saya menjadi
tidak takut lagi ikut donor darah. Sampai sekarang, lebih dari 30 kali saya
melakukannya. Bila ada yang membutuhkan dan saya sedang bisa diambil darahnya,
saya pasti bersedia.
Pengalaman yang tak terlupakan adalah ketika
mendonorkan darah untuk Prof. Ahmad Mukti Ali. Beliau merupakan mantan Menteri
Agama dan perintis studi perbandingan agama di Indonesia. Salah satu gagasannya
adalah bahwa terhadap orang lain yang tak seagama dengan kita, kita mesti
“setuju dalam perbedaan”. Dengan begitu, kerukunan antaragama menjadi mungkin
diwujudkan.
Saat saya kuliah, Mukti Ali sudah pensiun.
Meskipun begitu, nama besarnya masih disegani. Di antara warisannya di UIN
Sunan Kalijaga adalah forum diskusi al-Jami’ah. Forum ini terbukti menghasilkan
orang-orang hebat seperti M. Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi. Saya
menjadi penggemar forum ini dan selalu menyempatkan diri hadir.
Di akhir sebuah diskusi pada April 2004, diumumkan
bahwa Mukti Ali sedang sakit dan membutuhkan darah AB. Siapa yang memiliki darah
tersebut, diharapkan menjadi pendonor. Tanpa pikir panjang, saya menyatakan siap.
Suatu malam, ditemani salah seorang putranya, darah saya diambil untuk sang
profesor.
Sekira dua minggu setelah itu, Mukti Ali
meninggal. Komplikasi penyakit merenggutnya. Saya turut menyalatkan dan hadir dalam
pemakamannya.
“Perjumpaan” dengan Mukti Ali itu amat membekas
di hati saya. Kadang-kadang ada yang bertanya kepada saya, apakah saya juga mau
mendonorkan darah untuk orang yang tak seagama dengan saya? Bagaimana hukum
menerima darah dari non-Muslim?
Terhadap pertanyaan pertama, saya pasti
menjawab bersedia. Saya biasanya juga menambahkan bahwa donor darah melampaui sekat-sekat
suku, ras, bangsa, termasuk agama. Di dalam Islam, salah satu tujuan syariat
adalah menjaga jiwa atau kehidupan (hifz
al-nafs). Bagi saya, donor darah sesuai dengan tujuan itu. Jadi, kalau ada
yang membutuhkan, kita wajib memberikan. Alasannya, kalau kita tidak mendonorkan,
nyawanya terancam. Di sini, donor darah adalah hal yang sangat urgen. Fiqh
menyebutnya sebagai dharury (emergency).
Jelas sekali jawaban saya dipengaruhi oleh
semangat Mukti Ali.
Suatu kali, saya berkunjung ke sebuah vihara. Sewaktu
pulang, saya diminta menuliskan golongan darah dan nomor telepon. Rupanya
vihara itu punya klub pendonor. Kalau ada yang butuh, pengurus akan menelpon. Anggotanya
ratusan.
Setelah dua tahun bergabung, saya jadi tahu ternyata
yang datang mencari darah ke klub itu bukan hanya umat Buddha, tetapi juga penganut
agama lainnya. Tanpa memandang agama mereka, klub dengan sukarela mencarikan pendonor.
Tanpa semangat menyelamatkan kehidupan, saya
kira klub semacam itu tidak mungkin ada.
No comments:
Post a Comment