Dulu, aku tidak pernah peduli pada orang lain. Jangankan melirik tetangga yang kabarnya sakit, kala salah satu teman dekatku sakit pun aku lebih memilih santai di rumah.
Tetapi, Tuhan sepertinya jenuh dengan kelakuanku. Di saat ujian akhir menghadang di depan mata, Dia ingin aku membuka mata dan sadar pada perbuatanku.
“Prima, kamu kenapa?” tanya seorang temanku saat istirahat.
Hari itu aku baru mau pergi ke kantin untuk mencari suplai makanan setelah energi terkuras habis saat pelajaran matematika.
“Kenapa apanya?” tanyaku balik, karena pertanyaannya yang tiba-tiba. Dan temanku itu –sebut saja namanya Lyn, mengerutkan dahi.
“Muka kamu pucet banget,” ujar Lyn dengan mata sipitnya.
Mendengar jawabnnya, aku menggeleng sambil tertawa garing.
“Ngaco kamu,” sahutku. Jujur saja dalam hati aku mengeluh karena perjalananku menuju kantin jadi terhambat.
“Serius. Coba aku lihat!” Lyn yang sepertinya khawatir tiba-tiba memegang mukaku. Lalu tanpa ba-bi-bu dia sedikit menarik kelopak mataku yang bawah.
“Eh –eh, ngapain?” begitu kutanya, dia langsung memsang raut yang seakan berkata ‘aku tahu kamu emang sakit’.
“Prima, kamu kena anemia tahu.”
“Hah?”
Lyn yang mendapati respon biasa itu kontan menepuk dahinya dan menjelaskan pengetahuan singkatnya soal gejala anemia yang katanya terjadi padaku.
Kelopak mata bagian dalamku pucat, putih, seperti tidak dialiri pembuluh darah. Begitu katanya. Dan hal seperti itu adalah tanda orang yang jumlah darah dalam tubuhnya berkurang –anemia.
Aku yang saat itu masih tipe orang ‘masa bodohlah’ hanya menyauti dengan anggukan singkat. Intinya, aku tidak terlalu memikirkan perkataan Lyn yang sesungguhnya harus ku dengar.
Beberapa hari kemudian. Aku panas, orangtuaku juga mulai mengatakan kalau mukaku pucat dan kelihatan seperti mayat hidup. Tapi seperti biasa aku nyengir, “nggak kenapa-kenapa kok,” dan sekolah seperti biasa.
Naasnya, Sampai di sekolah orang-orang melihat keadaanku dengan cara yang sama. Lebih mirip mayat hidup berjalan daripada siswa yang mau mencari ilmu. Aku disuruh pulang dan istirahat.
Malamnya, aku dipaksa orangtuaku untuk ke dokter. Dan setelah diperiksa, dokter bilang aku cuma anemia. Begitu tahu kena anemia, aku cuma meringis. Sedangkan ibuku yang waktu itu mengantar ke dokter langsung kelihatan horor dan super khawatir.
Besoknya, aku jelas tidak masuk sekolah. Aku menuruti perintah dokter untuk istirahat di rumah sampai sembuh. Tapi siapa yang mengira? Berminggu-minggu kemudian keadaanku tak kunjung membaik, malah makin buruk. Bahkan mulai muncul bintik-bintik merah di kaki.
Aku pun langsung di bawa ke rumah sakit setelah dua minggu istirahat di rumah.
Sampai di sana, aku dilarikan ke ruang UGD. Dan seterusnya, aku tidak ingat apa yag terjadi, aku tidur –atau pingsan. Yang ku tahu, begitu bangun, ibu menangis di sampingku.
“Untung ada donor(darah) buat kamu, nak. Kalau aja telat sedikit mungkin kamu udah nggak ke tolong!”
Saat itu aku nggak bisa mengatakan apa-apa, cuma diam. Kemudian ikut nangis dan merasa bersyukur karena masih bisa dikasih kesempatan hidup.
Untung saja waktu itu ada donor yang bisa diberikan padaku, untung ada orang yang dengan sukarela mau mendonorkan darahnya ke PMI untuk menolong orang lain. Kalau tidak ada kalian mungkin aku tidak bisa merasakan kehidupanku yang sekarang!
Terimakasih para pendonor ,PMI!
No comments:
Post a Comment