Pagi itu, di penghujung tahun 2005, suasana di kantorku terasa sangat
mencekam. Wajah-wajah sedih dan
murung menghiasi raut muka beberapa temanku. Belakangan kutahu, istrinya Taufik, salah satu teman
kantorku, dalam kondisi kritis setelah beberapa hari sebelumnya melahirkan putranya.
Aku turut sedih
mendengar berita tersebut. Istri Taufik (sebut
saja Dinik), sepertinya mengalami kelambanan penanganan saat proses melahirkan putranya. Dan akibatnya Dinik mengalami perdarahan yang hebat. Ibu
dan bayinya saat itu berada
dalam ruangan yang terpisah berpuluh kilometer jaraknya. Dinik dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), sementara bayinya dirawat di Rumah Sakit Ibu
dan Anak (RSIA).
Saat membezuknya
di rumah sakit, kudengar berita bahwa beberapa hari sebelumnya Dinik telah menerima transfusi darah banyak sekali.
Dan saat
itu, ia sangat memerlukan bantuan para pendonor untuk mengganti darah yang telah
“dipinjamnya”. Setelah
pontang-panting kesana kemari, akhirnya terkumpullah
10 orang yang bersedia memberikan darahnya untuk Dinik. Maklumlah di tahun 2005 tersebut, bagi kebanyakan orang,
donor darah merupakan kegiatan yang sangat mengerikan dan
menyakitkan. Diantara kesepuluh orang itu, aku lah satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan. Sempat terlontar beberapa pertanyaan bernada meremehkan dari mulut teman-temanku.
“Sampeyan
nggak takut, Mbak, jadi donor darah?”
“Kenapa mesti takut ? Sakitnya tusukan jarum saat
kita diambil darahnya nanti lho tak seberapa sakitnya dibandingkan waktu
aku melahirkan, “ jawabku.
Terkesan mengenthengkan memang. Padahal saat itu hatiku dag dig dug tak karuan, takut kalau-kalau aku tak memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Aku takut kalau tekanan darahku terlalu rendah,
hingga aku tak diperbolehkan donor darah.
Bersama teman-teman, aku ke kantor Palang Merah Indonesia (PMI)
Cabang Malang yang terletak di Jl. Buring untuk mendonorkan darah. Alhamdulillah, ternyata aku memenuhi syarat untuk diambil darah. Kalau boleh jujur, sebetulnya donor darah saat itu bukanlah kegiatan yang pertama bagiku. Sudah beberapa kali
aku ikut kegiatan donor darah yang biasanya diadakan
rutin oleh Kantor Wilayah tempatku bekerja.
***
Sore itu, aku dan teman-teman kembali membezuk Dinik. Kami memang penasaran dengan kondisi kesehatannya yang selalu berubah setiap saat.
Kabar yang kami terima, kondisi Dinik
sudah mulai membaik dan menunjukkan kemajuan yang pesat. Padahal tadi siang kondisinya sempat drop. Kulihat Taufik mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendonorkan
darahnya untuk istrinya.
Ada rasa haru dan bahagia menelusup ke dalam hatiku. Alhamdulillah,
setetes darahku telah berhasil membantu menyelamatkan nyawa Dinik. Senyum juga menghiasi wajah Taufik, setelah beberapa saat yang lalu, kulihat
wajahnya selalu murung dan bingung. Paras dan bibir Dinik juga mulai tampak memerah, menjadikan senyum
manisnya semakin menarik. Aku pun berjanji dalam hati, kan kujaga
kesehatanku slalu, agar tetesan darahku bisa bermanfaat buat semua orang yang
membutuhkan.
semoga kisahku ini bisa menginspirasi semua orang bahwa donor darah itu tidak sakit, malah justru menyehatkan .. Terima kasih PMI, sudah memberiku kesempatan berbagiii
ReplyDelete