Wednesday, April 23, 2014

Sukimah: Setetes Darahku, Memerahkan Senyum Manis di Bibirnya

Pagi itu, di penghujung tahun 2005, suasana di kantorku terasa sangat mencekam. Wajah-wajah sedih dan murung menghiasi raut muka beberapa temanku. Belakangan kutahu, istrinya  Taufik, salah satu teman  kantorku, dalam kondisi kritis  setelah beberapa hari sebelumnya  melahirkan putranya. 

Aku turut  sedih mendengar berita tersebut. Istri Taufik (sebut saja Dinik), sepertinya mengalami kelambanan penanganan saat proses melahirkan putranya. Dan akibatnya Dinik mengalami perdarahan yang hebat. Ibu dan bayinya  saat itu  berada dalam ruangan  yang terpisah berpuluh kilometer jaraknya. Dinik  dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), sementara bayinya  dirawat di Rumah Sakit  Ibu dan Anak (RSIA).

Saat membezuknya di rumah sakit, kudengar berita bahwa beberapa hari sebelumnya Dinik  telah menerima transfusi darah banyak sekali. Dan  saat itu, ia sangat  memerlukan bantuan para pendonor untuk mengganti darah yang  telah “dipinjamnya”. Setelah pontang-panting  kesana kemari, akhirnya terkumpullah 10 orang yang bersedia  memberikan darahnya untuk Dinik. Maklumlah di tahun 2005 tersebut, bagi kebanyakan orang,  donor darah  merupakan kegiatan yang sangat mengerikan dan menyakitkan. Diantara kesepuluh orang itu, aku lah satu-satunya  yang berjenis kelamin perempuan. Sempat terlontar beberapa pertanyaan bernada meremehkan dari mulut teman-temanku.

Sampeyan nggak takut,  Mbak, jadi donor darah?”

 Kenapa mesti takut ? Sakitnya tusukan jarum saat kita diambil darahnya nanti lho tak seberapa sakitnya dibandingkan waktu aku melahirkan, “ jawabku.

Terkesan mengenthengkan memang. Padahal saat itu hatiku dag dig dug tak karuan, takut kalau-kalau aku tak memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Aku takut kalau tekanan darahku terlalu rendah, hingga aku tak diperbolehkan  donor darah.

Bersama teman-teman, aku ke kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Malang  yang terletak di Jl. Buring  untuk mendonorkan darah. Alhamdulillah,  ternyata aku memenuhi syarat untuk diambil darah. Kalau boleh jujur,  sebetulnya donor darah saat itu  bukanlah kegiatan yang pertama bagiku. Sudah beberapa kali aku ikut kegiatan donor darah yang biasanya diadakan rutin oleh Kantor Wilayah  tempatku bekerja.

***
Sore itu, aku dan teman-teman kembali membezuk Dinik. Kami memang penasaran dengan kondisi kesehatannya yang selalu berubah setiap saat. Kabar yang kami terima, kondisi Dinik sudah mulai membaik dan menunjukkan kemajuan yang pesat. Padahal  tadi siang kondisinya sempat drop. Kulihat Taufik mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendonorkan darahnya untuk istrinya.

Ada rasa haru dan  bahagia  menelusup ke dalam hatiku. Alhamdulillah, setetes darahku telah berhasil membantu menyelamatkan nyawa Dinik. Senyum juga  menghiasi wajah Taufik, setelah beberapa saat yang lalu, kulihat wajahnya selalu murung dan bingung. Paras dan bibir Dinik juga mulai tampak memerah, menjadikan senyum manisnya semakin menarik. Aku pun berjanji dalam hati, kan kujaga kesehatanku slalu, agar tetesan darahku bisa bermanfaat buat semua orang yang membutuhkan.

1 comment:

  1. semoga kisahku ini bisa menginspirasi semua orang bahwa donor darah itu tidak sakit, malah justru menyehatkan .. Terima kasih PMI, sudah memberiku kesempatan berbagiii

    ReplyDelete