Sudah dua tahun, tepatnya sejak 2012 saya menjadi reporter kampus. Setiap hari, saya mencari berita. Menelusuri setiap rekam jejak orang-orang yang menginspirasi. Orang-orang yang menabur cinta di mana pun berada. Orang-orang yang tak kenal lelah dalam perjuangan hidup yang tak mudah. Kemudian menuliskannya menjadi sebuah karangan khas, feature.
Sesekali saya menukilkan kisah tentang pahlwan. Beberapa kali, pada Express-buletin mingguan Universitas Negeri Semarang, saya menulis berita human interest yang dapat menggetarkan hati siapa saja yang membacanya. Melalui tulisan saya bisa mengutarakan apapun.
Di kampus, lalu lalang setiap orang. Langkah kaki mereka. Daun yang jatuh lantas melayang-layang terbawa angin, saya amati. Keinginan agar rasa “peka” semakin menancap kuat baik dalam hati maupun pikiran tidak bisa terbantahkan. Ya, tentu saya selalu ingin belajar.
Suatu hari saya ditugaskan ke Fakultas Ilmu Pendidikan, fakultas yang berada timur Gedung Serba Guna Unnes. Hari itu saya diperintahkan oleh Ibnu Majah - redaktur pelaksana buletin Expres untuk meliput kegiatan donor darah yang diselenggarakan oleh KSR PMI Unit Unnes bekerja sama dengan PMI Unit Semarang.
Sejujurnya saya tidak tertarik meliput. Agenda tiga bulanan ini sudah sering diberitakan. Paling-paling yang ditulis adalah hal-hal umum saja. Tentang jumlah peserta, motivasi mendonor darah, dan urusan-urusan lain yang menurut saya pribadi tidak unik. Tidak menarik. Walau begitu, tugas tetaplah tugas. Saya harus meliput dan mendapatkan berita.
Di sela-sela saya menunggu, seorang mahasiswi berjalan ke arah anggota KSR. Sepertinya, ia berencana mendonorkan darah. Dari tempat saya duduk, perbincangan antara mahasiswi tersebut dengan anggota KSR, sayup-sayup terdengar. Setelah beberapa menit mengecek ini dan itu. Rupa-rupanya, mahasiswi tadi urung mendonorkan darahnya. Ia lantas berjalan. Agak lunglai. Melihat kejadian tadi, saya berdiri. Bergegas menghampirinya.
“Mba, kok nggak jadi donor darah?” tanya saya setelah menjejeri langkahnya. Sebelumnya saya telah memperkenalkan diri.
“Iya, Mba. Hemoglobin saya kurang,” ungkapnya sembari terus berjalan.
Melihat wajahnya yang tampak kecewa. Sebuah pertanyaan terbesit di benak saya. Seberapa pentingkah donor darah baginya?
Mahasiswi yang bernama Dati itu tak segera menjawab. Ia masih berkutat dengan pikirannya. Akhirnya saya berspekulasi. Ada sesuatu lain yang mendorongnya untuk donor darah. Bukan alasan untuk menolong sesama, bukan alasan untuk beramal. Ya, pasti ada alasan lain yang ia punya dan tidak sanggup ia utarakan kepada saya.
“Saya pernah mendapat donor darah. Dan itu menyelamatkan nyawa saya. Paling tidak, dengan berbuat yang sama dengan orang yang pernah menolong saya, hidup saya akan lebih berarti. Saya sudah tiga kali mencoba dan selalu gagal,” ujarnya.
Itulah jawabannya. Manusiawi sekali bukan?Ingin membalas budi yang pernah orang lain lakukan. Setelah ditinggalnya pergi, saya merenung. Kegiatan semacam donor darah yang kalau dituliskan dalam sebuah berita itu tidak menarik dan unik menurut saya, setelah bertemu dengan Dati, penilaian saya berubah.
Penilaian itu adalah kegiatan donor darah yang diselenggarakan oleh KSR PMI Unit Unnes, tidak berarti apa-apa jika saya menuliskan dalam sebuah berita. Kegiatan ini hanya sebatas kegiatan rutin yang setiap orang bisa berpartispasi di dalamnya. Tapi, jika kita mau menggali lebih dalam dan “peka”, kegiatan donor darah mengajari tentang sesuatu hal yang sering dilupakan orang. Ya, tentang arti kerelaan memberi antar sesama manusia.
No comments:
Post a Comment