Monday, April 21, 2014

Herliana : Sekantong Harapan

Selama 23 tahun ini, saya baru satu kali mendonorkan darah saya. Hal terserbut saya lakukan ketika kuliah semester empat. Sejak saat itu hingga sekarang, kurang lebih sudah empat tahun, saya belum pernah lagi melakukam donor darah. Bukan karena trauma dengan pengalaman yang pertama, namun karena tidak pernah lagi memenuhi syarat sebagai seorang pendonor. Entah karena tekanan darah saya yang selalu rendah atau karena sedang berhalangan. Akan tetapi saya bersyukur pernah merasakan pengalaman donor darah dan semoga suatu saat nanti saya dapat mengikuti donor darah lagi. 

Pengalaman donor darah saya alami ketika sedang kuliah kedokteran. Waktu itu sedang waktu istirahat dan sedang berlangsung kegiatan donor darah. Saya dan teman-teman turun ke lantai satu untuk ikut menyaksikan kegiatan tersebut karena penasaran. Tampak barisan meja yang dipenuhi dengan antrian orang-orang untuk mengisi formulir, mengukur tekanan darah, pemeriksaan golongan darah, barisan tempat tidur lipat dan meja tempat snack. Ketika melihat bahwa tidak sedikit mahasiswa seumuran saya yang ikut mengantri, maka timbul keinginan untuk ikut mendonorkan darah. setelah melalui pergumulan panjang, sepanjang antrian yang ada, maka saya dan seorang teman memutuskan untuk mencoba donor darah untuk yang pertama kalinya. 

Setelah mengisi formulir, melakukan pemeriksaan fisik dan golongan darah, maka tibalah giliran untuk pengambilan darah. Saya berusaha memberanikan diri dan bersikap tenang walaupun telapak tangan basah dengan keringat dingin. saya menengok kepada petugas yang akan melakukan pengambilan darah. Ia menyapa saya dengan ramah sambil mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan. Saya pun memperhatikan setiap detail persiapan yang dilakukan. Tentunya dalam hal ini yang menjadi fokus utama adalah ukuran jarum yang akan ditusukkan pada lengan saya. Ukuran jarumnya cukup menambah rasa tegang. 

Ketika semua alat sudah siap, maka petugas tersebut mulai mencari pembuluh darah yang akan ditusuk. Saya tetap memperhatikannya walaupun bertambah tegang. Petugas tersebut terus mengajak saya mengobrol. Tentunya untuk mengurangi ketakutan yang ada. Lengan saya pun ditusuk. Saya tetap memperhatikan bagaimana jarum tersebut masuk dan darah pun mengalir melewati selang dan tertampung di sebuah kantong darah. Sungguh di luar dugaan, rasanya tidak sesakit yang saya perkirakan walaupun ukuran jarum lebih besar dari yang biasanya digunakan di rumah sakit. Selain itu petugas tersebut juga cukup terampil dalam melakukannya. Saya termasuk orang yang jarang berolahraga sehingga pembuluh darah saya sulit untuk diraba, sehingga biasanya harus ditusuk dua kali untuk pengambilan darah. 

Pengambilan darah pun selesai ketika sebuah kantong darah berukuran 250cc penuh. Setelah itu saya mendapatkan snack dan segelas susu cokelat. Walaupun terasa agak pusing setelah mendonor, namun saya merasa bangga melihat kartu donor darah yang bertuliskan nama saya dan tertera sebuah cap tanda telah mendonorkan darah. Saya berharap dapat memenuhi kartu tersebut dengan cap-cap berikutnya. 

Saya bangga telah berani untuk mengikuti donor darah. Walaupun hanya menyumbangkan sekantong darah, tapi saya berharap itu dapat berguna bagi orang lain yang membutuhkan. Semoga satu kantong darah ini dapat menyelamatkan nyawa orang lain. Semoga suatu saat nanti saya dapat mengikuti kegiatan donor darah lagi.

No comments:

Post a Comment