Gemersik daun terdengar, hingga membuat alunan nada yang indah. Langit senjapun telah menampakkan semburat jingganya. Mataku tertuju pada mentariyang akan terbenam sebentar lagi. Mentari itu bersinar, membuat orang merasa berterimakasih padanya. Aku ingin seperti dia, menjadi orang yang bermanfaat bagi nusa,bangsa dan agama. Tapi aku tak tahu harus bagaimana. Karena aku, hanyalah seorang siswa kelas 5 SD di SDIT Fithrah Insani 1, Kabupaten Bandung Barat dan berumur sepuluh tahun. Entah apa yang aku bisa. Mungkin aku bisa menjadi pahlawan atau malaikat kecil. Ya, aku harus menggapai mentari. Butuh sejuta perjuangan.
15 Februari 2014.
Dengan hati riang, ku susuri jalan raya. Sesekali aku bersenandung ceria. Belum jauh, langkahku terhenti ketika aku melihat sebuah baliho besar terpampang. Begini tulisannya : ‘CINTAI NEGERIMU, TOLONGLAH AKU! Donor darah diRw.03 dilaksanakan setiap hari Sabtu’. Aku jadi teringat dengan temanku, Fadhli yang kekurangan darah. Nyawanya sempat hilang, tapi untunglah dibantu oleh PMI. Palang Merah Indonesia. Meurutku PMI sangat berjasa,sama seperti mentari.
“Rafid! Hei, kamu lihat enggak dibuku penghubung, ada kupon donor darah!” seru Caca yang membuat lamunanku buyar. “Memangnya ada?”
“Ada,” jawabnya yakin. “oh, aku ingat! Yang tulisannya Rp.1.000,- itu kan?” tanyaku menyakinkan. Caca hanya mengangguk. “Lihat deh, itu ada baliho rutin. Kalau bisa, aku mau mendoorkan darahku. Golongan darahku O,” bisikku kepada Caca. “Tapi Sayangnya enggak bisa, karena minimal 17 tahun,” lanjutku dengan nada rendah. “Eh, kenapa sih sewot gitu? Menurutku, enggak penting! Mengapa kita harus bayar?” kata Caca ketus, sambil meninggalkanku.
Sepeninggal Caca, aku melihat kembali uang pecahan sebanyak dua puluh ribu rupiah. Sebagian dari uang tabunganku. Aku memutar balik badan, kemudian berjalan ke rumah. Bruk! Aku duduk dikasur. “Menurutku, aku kasihan pada mereka semua yang membutuhkan. PMI membantu mereka. Banyak orang yang tak tahu betapa besar jasa PMI. aku ingin menyumbangkan uang dua puluh ribu ini saja ah. Dilebihin kan boleh,” tawaku. “Aku rela. Masalah laporan Bahasa Indonesia gimana ya?”
MEmang, aku berniat ke toko kue untuk membuat masakan, dan membuat laporan eksposisi. “Aha! lebih baik membuat laporan tentang Palang Merah. Laporan Narasi. Kalau laporan membuat makanan kan itu laporan eksposisi alias memaparkan, jadi tentu boleh kan?” Segera saja kugoreskan penaku, menari-narikan jemari-jariku.
PMI, singkatan dari palang merah Indonesia. Berjuta jasa tersirat didalamnya. Yang melalui perantaranya, ribuan senyum kembali mewarnai hidup dan ribuan nyawa terselamatkan. Banyak sekali orang yang tidak mengetahui besarnya jasa dari PMI. Kebanyakan orang hanya memandang sebelah mata, karena mengganggap PMI hanyalah sebuah organisasi yang tak memiliki arti. Padahal, PMI itu seperti pahlawan. Sejarah palang merahpun banyak hikmahnya. Kita bisa turut menolongnya dengan cara; mendonor atau menyumbangkan uang. Ketika sudah didonor, kita diberi segelas susu, semangkuk mie,dan sebutir telur rebus agar badannnya segar kembali. Nah, ayo kita bantu mereka yang memmbutuhkan serta bantulah PMI, sang penyelamat!
Itulah laporanku. Aku juga mempublikasikannya diblog dan diikutsertakan kedalam lomba essay. Alhasil, aku menang! Alhamdulillah. Aku juga pernah sakit, kekurangan darah. Drop sekali aku. Untunglah ada PMI yang menolongku. Setetes darah penyelamat jiwa. PMI menolongku! Kini, aku bisa menjadi mentari. Aku bisa menolong mereka melalui sumbangan PMI.
No comments:
Post a Comment