Cerita ini bukan sebuah testimoni penuh aksi heroik dalam situasi tanggap
darurat bencana misalnya, bukan juga sebuah testimoni penuh suka-duka dalam pengabdian
panjang menolong sesama, tetapi hanya sekedar cerita tentang setetes keberanian
yang menyala dalam sebuah momentum hidup. Sebuah kesadaran untuk menjadi berani
yang takkan pernah hadir dengan sendirinya tanpa ada musababnya.
Ketika Tuhan menciptakan manusia dalam berbagai suku, ras dan golongan—yang
mana untuk saling mengenal dan menyatu—menurutku, begitu pula dengan motif
penciptaan darah. Lewat keberadaan golongan darah yang berbeda-beda, ternyata
kita dipaksa untuk saling menolong dan berbagi. Maka, 250 ml darah yang pernah dihisap
dari tubuhku ini, tak lagi hanya sekantong darah untuk menyambung kehidupan
seorang rekan, melainkan sekantong serum empati yang menang dari pertarungannya dengan virus
ketakutan.
Hari itu, ketika jalanan Jakarta dideras hujan, seorang rekan kerja
mengalami kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari. Motor dan tubuhnya rusak
berat: geger otak, tiga tulang rusuknya patah—salah satunya menusuk paru-paru—dan
kehilangan banyak darah. Untuk menyelamatkan jiwanya, tindakan operasi harus sesegera
mungkin dilakukan, namun masalah muncul ketika pihak rumah sakit saat itu tidak
memiliki persediaan darah sesuai dengan golongan darah korban yaitu golongan B.
Pihak keluarganya sendiri tidak ada yang mempunyai golongan darah yang sama. Maka lewat jaringan
komunikasi SMS dan BBM, situasi darurat inipun langsung diberitakan ke
rekan-rekan lain.
Tidak sulit untuk mencari rekan yang mempunyai golongan darah B karena
golongan ini relatif umum, tetapi persoalannya bukan di situ. Beberapa rekan
yang mempunyai golongan darah B ternyata tidak bisa menjadi donor karena beberapa
alasan medis. Mulai dari sedang mengandung, mengidap hipertensi, pernah
menderita hepatitis B, hingga belum lama menjalani operasi. Satu per satu calon
donor pun berguguran. Tinggal menyisakan satu orang kontestan yaitu: diriku
sendiri.
Sebuah situasi yang dilematis ada di hadapanku. Kenapa begitu? Karena aku
mengidap hemophobia atau takut darah
yang lumayan akut. Bila melihat darah tubuhku langsung pusing, mual dan
gemetar. Ini mungkin dipicu pengalaman traumatis masa kecilku yang tanpa
sengaja melihat kecelakaan tragis di jalan. Membayangkan diriku berbaring
dengan salah satu tangan tertancap jarum dan selang yang mengalirkan darahku
saja keringat dingin kontan menjalar, apalagi mengalaminya langsung.
Tapi tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan niat dan doa. Perlahan kutetapkan
hati untuk membantu sekaligus menghadapi ‘sang monster’ yang menghantuiku
selama ini. Sesaat sebelum ‘eksekusi’ dilakukan, aku coba hirup energi positif
dengan berdoa sembari memejamkan mata dan membayangkan sesuatu yang menentramkan.
Aku paksa pikiranku untuk terbang ke tempat lain, ke sebuah pantai dengan
hamparan pasir putih dan gelung ombak yang menampar lembut kedua kakiku. Alhamdulillah, metode itu bekerja dengan baik. Selama proses transfusi, aku tidak
dirasuki sindrom apapun.
Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Tak cuma untuk seorang
rekan yang sedang berjuang untuk hidupnya aku bisa berbuat sesuatu, tetapi juga
untuk diriku sendiri. Betapa hanya dengan sedikit keberanian dan keinginan
begitu banyak yang bisa kita lakukan untuk hidup ini, yang pada gilirannya sesungguhnya
siklus kebaikan itu akan kembali pada diri sendiri. Seperti halnya darah dalam
tubuh yang tak henti mengalir dan berputar memompa kehidupan.
No comments:
Post a Comment