Thursday, May 8, 2014

Pemenang Lomba Menulis "Cerita PMI Ku"

Bertepatan dengan Hari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Sedunia, 8 Mei 2014, Panitia lomba menulis Cerita PMI Ku akan mengumumkan pemenang dari lomba menulis.

Tahapan penjurian meliputi beberapa tahap yakni:

1. Para peserta yang telah mengirimkan tulisannya melalui email akan disortir tahap awal. Kegiatan pensortiran tulisan dilakukan dengan berpedoman dari syarat dan ketentuan lomba yang telah diumumkan oleh panitia lomba yang tertera pada blog ini.

2. Selanjutnya para peserta yang lolos pada seleksi tahap awal, diseleksi kembali tulisan yang memiliki kisah yang dapat menginspirasi.

3. Terpilih 49 peserta yang lolos dan masuk dalam penjurian juri. Para juri yang menilai tulisanmu berasal dari juri-juri yang kompeten dibidangnya. 

Akhirnya didapatkan 3 orang peserta dengan karya terbaik dan sangat menginspirasi. Mereka adalah:

Juara 1 : Bayu Setiawan "Ode untuk Karman"
Juara 2 : Randy Jullihar "PMI dan Sahabatku di Surga"
Juara 3 : Halida Zia "Si Awi, Relawan Penyelamat Sungaiku" 

Berikut adalah hadiah yang didapatkan oleh para pemenang:



Selamat kepada para pemenang yang karyanya sangat inspiratif. Syarat dan ketentuan pengambilan hadiah dapat dilihat pada email masing-masing. Terimakasih kepada seluruh teman-teman yang telah berpartisipasi. Semua kisah kalian sangat inspiratif. Sampai jumpa pada lomba-lomba berikutnya.

Salam Kemanusiaan!

Monday, May 5, 2014

Eka M: Darah Untuk Ratusan Nyawa dan Ribuan Senyum

Dulu aku pernah menjalani operasi bedah di sebuah rumah sakit besar di daerah Cirebon, dimana proses operasi itu membuatku mengalami pendarahan hebat. Aku paham benar bagaimana rasanya kehilangan banyak darah dan betapa aku sangat membutuhkan donor darah layaknya aku membutuhkan oksigen untuk bernafas. 

Mungkin ini adalah balasan juga untukku karena sedari dulu aku tidak pernah melakukan donor darah dan bahkan menganggap bahwa donor darah itu tidak penting. Aku terpengaruh oleh asumsi negatif teman-temanku yang mengatakan bahwa “transfusi darah bisa kita dapatkan dari donor keluarga yang memiliki golongan darah yang sama dengan kita, jadi untuk apa kita mendonorkan darah untuk orang lain sementara orang itu bisa mendapatkan donor dari kerabat terdekatnya? Untung di dia, rugi di kita. Toh kita juga tidak mendapatkan apa-apa dari donor darah! Bagaimana jika darah kita akan habis karena melakukan donor? Bagaimana jika darah yang kita donorkan berpindah tangan ke oknum-oknum yang menjualnya secara ilegal dan digunakan hanya demi keuntungan mereka saja?”

Setelah pendarahan itu, aku seakan ditampar keras-keras oleh realita dan pengalaman yang baru saja aku alami, bahwa tanpa kita sadari, sedikit darah yang kita donorkan dapat menyelamatkan orang-orang yang mendapat transfusi, dan dengan setetes darah yang kita donorkan pada orang tersebut dapat menghapus air mata dan mengembalikan senyum keluarga maupun orang terdekat sang penerima transfusi. Seperti halnya aku. Ketika aku bangun dari masa kritisku, hal yang pertama kali kulihat ketika aku membuka mata adalah senyum bahagia di tengah wajah sembab orang tuaku. Saat itu juga aku merasakan darah-darah pendonor yang kini tengah mengalir dalam tubuhku, begitu sejuk dan hangat karena dalam setiap tetes darah itu terkandung ketulusan dan kesukarelaan sang pendonor yang secara tidak langsung telah menyelamatkanku dari maut. 

Aku sangat berterima kasih kepada siapapun yang telah bersedia menyumbangkan darahnya untukku waktu itu, dan aku juga sangat berterima kasih pada PMI yang telah membantu menyediakan donor secepatnya untukku. Sejak saat itulah aku terdorong untuk selalu ikut serta dalam event-event donor darah PMI yang diadakan di SMA ku dulu, dan event-event PMI itu tetap menjadi sebuah ketertarikan tersendiri bagiku hingga sekarang dimana aku telah duduk di bangku universitas. Aku terobsesi oleh tuntutan rasa balas budiku oleh orang-orang tak dikenal yang telah mendonorkan darahnya padaku. Dan aku juga ingin melakukan hal yang sama dengan mereka, dimana mereka secara tidak langsung dapat menyelamatkanku dan mengembalikan senyum lega orang tuaku, aku juga ingin seperti mereka yang dapat menyelamatkan nyawa calon penerima transfusi dariku dan dapat mengembalikan senyum bahagia orang-orang yang menyayanginya. 

Aku ingin darahku yang mengalir di tubuh-tubuh penerima transfusi nanti dapat membawa kebaikan dan hikmah untuk mereka, bahwa kita adalah makhluk sosial, kita hidup saling berdampingan dan bersama-sama, jadi sudah sepatutnya kita menolong orang lain karena suatu saat kita juga butuh pertolongan mereka. Dan keselamatan serta kebahagian sang penerima transfusi beserta orang-orang di sekitarnya adalah hal yang akan kita dapatkan dari donor darah. Kurasa itu melebihi rasa puas dibandingkan mendapatkan sebuah trofi dari ajang kompetisi, karena darah didonasikan tanpa nama dan tanpa pamrih.

Saturday, May 3, 2014

Zahida: Satukan Hati Temukan Jiwa Relawanmu

Hanya rintangan yang menguatkanku pada kancah perjuangan tak bertepi. Ketika arus badai kian dahsyat menggempur raga, kurasa aku tak tau dimana jiwaku harus berpijak. Gelisah melanda hingga keberontakan menggemparkan batin. 

Harus kuarungi untuk menemukan pintu masuk bagiku. Mengembara melintasi laut tak bertepi. Mengarungi angkasa tiada batas. Kelak perjalanan ini, kasih Ilahi kan semakin mengisi relung jiwaku. Jiwa yang berlambang palang merah berhias melati. Yang menetap di dada kiri. MOS waktu pertama kali semua ditempat ini diperkenalkan. SMP 1 Cilegon tepatnya dimana aku belajar untuk masa depan dan meraih semua yang aku cita-citakan. Demo eskul yang memikat hati itu PMR, dimana nanti akan belajar berbagi untuk kemanusiaan. Aku bersama teman-teman baru memilih PMR dibanding eskul lain. 

Bulan demi bulan kami belajar tentang kepalang merahan, pertolongan pertama, remaja sehat peduli sesama, Donor Darah, dll. Yang berlandaskan 7prinsib Palang merah dan bulan sabit merah serta Tri Bakti. Calon anggota PMR berjumlah sekitar 150 lebih. Pertama kalinya di daerah cilegon peminat ekstrakulikuler mencapai angka sebesar itu. Tetapi pertanyaan besar sungguh mengejutkan, dua hari menjelang Diklatsar hanya 53 orang saja yang mengikuti. Entah mereka takut akan terjadi bully atau apapun. 1-12-2012 Diklatsar perdana akan dilaksanakan dari jam 3 sore, dan pada hari itu juga hari HIV/AIDS sedunia. Dalam Diklat ini bertemakan Satukan Hati Temukan Jiwa Relawanmu, yang diharapkan untuk menjadi calon dari kader-kader relawan masa depan yang berprinsip dan menjalankan tri bakti. 

Upacara pembukaan berlangsung dengan menyanyikan lagu Mars Palang Merah. Dilanjutkan dengan kegiatan penjelasan pp dan dapur umum kegiatan awal. Malam harinya evaluasi pembelajaran 7 materi yang ditutup dengan ESQ untuk merenungkan kesalahan pada diri yang sebelumnya berprilaku kurang baik. Mutiara yang jatuh dipelupuk mata hanyalah sebuah penyesalan tentang banyaknya kesalahan. Membenahi diri kedalam hingga merubah sudut pandang negatif. Kurang lengkap rasanya bila tak ada jurit malam pada saat diklatsar. Dari cerita yang banyak ku dengan banyak sekali senior yang memberikan perlakuan tidak semestinya. Lain hal dengan pendapatku. Satu hari tepatnya dalam diklatsar senior ingin mendidik bukan untuk meluapkan rasa emosi. Senior ingin junior sebagai penerus bisa lebih banyak mendapati prestasi yang lebih gemilang. Dan tentu saja, selama jurit malam tak ada main tangan yang melukai fisik. Dalam jurit malam ini kami mendapatkan syler. 

 Sebelum Upacara penutupan kami melakukan simulasi gempa bumi, banjir, dan tsunami. Dilanjutkan permainan untuk menyatukan solidaritas dan untuk belajar menjadi seorang pemimpin bila terjadi masalah. Senyum merekah, bak bunga yang baru bermekaran, seakan lazuardi membuka tabirnya penuh suka cita, Berakhir acara dengan tepuk tangan meriah. Kami bukan teman, sahabat, apalagi musuh. Tapi kita adalah keluarga jiwa kami bersatu untuk kemanusiaan, menjadi calon penerus relawan. Lambang palang merah ini terletak didada kiri. Bakti kami hingga jantung berhenti berdetak. Dan bukan hanya untuk ajang ketenaran melainkan pengabdian. Ketenaran akan tergantian, tetapi pengabdian seluruh jiwa raga tertumpahkan sampai akhir hayat. 

Terima hasih Tuhan, semoga rencana-Mu adalah misteri bagi kami dan Engkau memberikan yang terbaik. Semua rintangan hendak melumatkan kami dalam perjuangan kancah tak bertepi.

Yusuf: Dulu Hingga Kini: Kisahku Bersama PMI

Berbicara tentang PMI membawa ingatan saya kembali pada situasi 15 tahun yang lalu, saat mengikuti aktifitas Palang Merah Remaja (PMR) ketika masih mengecap bangku SMP.PMR menjadi salah satu organisasi yang menarik perhatian saya saat memasuki SMP. Pikiran saya sederhana, keinginan saya untuk menjadi dokter kala itu membawa saya ingin terlibat dalam organisasi yang bersifat medis, meskipun awalnya saya hampir tidak memahami seberapa signifikan ilmu dan keterampilan yang diajarkan.

Saya ingat, salah satu hal yang menggoda adalah previlege para petugas PMR yang dapat duduk manis di ruang UKS dengan dalih bertugas saat upacara setiap hari Senin. Namun, yang paling berkesan adalah ketika di kemudian hari, saya terpilih menjadi ketua PMR tingkat SMP. Tidak ada pilihan lain, selain menjalankan aktifitas organisasi yang menyenangkan bersama sahabat dan kebanggaan saat beberapa kali menjuarai lomba kepalangmerahan. Meskipun pada akhirnya tidak lagi tenggelam dalam aktifitas kepalangmerahan selepas SMP hingga saat menekuni profesi dokter,kilas balik kenangan tentang PMR membuat saya sadar. 

PMR sebagai organisasi underbow PMI, secara khusus memberikan perhatian pada remaja usia sekolah, mengajak siswa siswi untuk melek terhadap permasalahan kesehatan remaja sekaligus kegiatan promotif dan preventif terhadapnya.Salah satu yang membekas dalam ingatan adalah tentang pendidikan seks remaja dan bagaimana peranan remaja menyikapi permasalahan kesehatan melalui pendidikan remaja sebaya.Dalam PMR, hal tersebut telah diajarkan secara gamblang.Tindakan pertolongan pertama pun diberikan.

 Meskipun hanya tindakan pertolongan sederhana berupa prinsip dasar teoritis dan praktis yang seharusnya dapat dipahami dan dipraktikan dalam situasi kegawatan, namun penting agar upaya pertolongan pertama tidak justru memperburuk kondisi korban. PMR memberikan pendidikan pertolongan pertama yang seharusnya menjadi keterampilan dasar yang perlu dikuasai masyarakat awam dan diintegrasikan dalam sistem pendidikan. Sebagai sebuah organisasi, PMR menjadi wahana untuk mengasah softskill sekaligus kebersamaan kolektif yang sangat bermanfaat. PMR merupakan satu kegiatan PMI yang kebetulan saya pernah terlibat. Aktifitas PMI yang saya ikuti saat ini hanyalah kegiatan donor darah. 

Beberapa kesempatan saya diingatkan akan pentingnya aktifitas ini, salah satunya ketika seorang anggota keluarga saya memerlukan transfusi darah. Meskipun pada akhirnya kebutuhan darah tercukupi, saya tersadar, tidaklah mudah untuk mendapatkan donor dengan golongan darah yang sesuai dalam jumlah mencukupi. Kesempatan lainnya yaitu selama aktifitas pendidikan dokter di rumah sakit yang membuat saya dihadapkan dengan situasi saat salah seorang pasien memerlukan transfusi darah. Saat itu kebetulan golongan darah saya sesuai.Dengan senang hati, saya donorkan darah saya. Hingga pada suatu hari, ketika salah salah satu rekan memberi kabar bahwa pasien yang pernah saya beri sumbangan darah tersebut akhirnya meninggal, namun istrinya menitipkan salam dan ucapan terima kasih untuk saya. Saya merasa tersentuh. 

Semenjak itu saya makin rutin melakukan donor darah setiap 3 bulan. Bagi kami praktisi medis, menyadari betul peran PMI dalam peningkatan status kesehatan masyarakat khususnya diIndonesia. PMI merupakan organisasi kemanusiaan yang bergerak dalam berbagai lini aktifitas sosial, mulai dari edukasi, pelayanan kesehatan, mitigasi bencana hingga pemberdayaan masyarakat. Mengingat peran besarnya, dalam rangka Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia, saya sangat berharap semoga PMI makin berkembang dalam memberikan pelayanan kemanusiaan, khususnya bagi masyarakat Indonesia.Semoga Palang Merah Indonesia tetap Jaya!

Yogi: Dari Twitteran Berujung Kebahagiaan

Teringat ungkapan “Setetes darah anda berguna untuk menolong sesama”. Maka sejak diusia 15 Tahun dimana ketika saat itu sudah mengenal apa yang namanya donor darah dan sejak saat itu pula ada keinginan dalam hati untuk melakukannya. Namun hal itu urung dilakukan mengingat kualifikasi umur belum memenuhi syarat untuk melakukan donor darah. 

Setelah menunggu, akhirnya niatan untuk melakukan donor darah bisa terwujudkan. Saat itu sekolah mengadakan bhakti sosial yang digagas oleh PMR (Palang Merah Remaja). Akhirnya saya memutuskan untuk ikut dan Alhamdulillah lolos dari segala kualifikasi yang ditetapkan meski sebelumnya ditakut-takuti oleh teman tapi niat yang sudah tertanam tetap tidak bisa dirubah oleh apapun dan akhirnya sekantung darah telah menjadi saksi betapa hebatnya ketika suatu perbuatan yang telah diniatkan bisa terlaksanakan dan rasa puas itu sungguh sangat luar biasa. Itulah pertama kalinya saya melakukan donor darah saat duduk dibangku kelas XII SMA.

 Setelah lulus SMA saya memutuskan untuk melanjutkan study di Yogyakarta. Kota yang menyimpan sejuta kenyamanan dan keindahan. Setelah beberapa hari tinggal di Yogyakarta, tetapi rasa nyaman itu membuat semakin kerasan tinggal di Yogya, hanya saja saat itu belum tahu seluk beluk tempat – tempat di Yogya. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit mulai mengetahui jalanan dan tempat di Yogya ini. Belum genap satu bulan tinggal di Yogya, ketika sedang asyik main twitteran, saya melihat salah satu akun pemberi segala informasi seputar Yogyakarta. Ketika saya itu saya tweet tersebut sekitar pukul 20:00 WIB dan tweet tersebut diinformasikan sudah sejak satu jam yang lalu. Saya terhenyak ketika seseorang yang disebutkan di tweet tersebut membutukna golongan darah O sekitar belasan kantong darah. 

Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi Contact Person yang dicantumkan dalam isi tweet tersebut melalui sebuah sms untuk menawarkan bantuan darah. Setelah menunggu sekitar 15 menit, handphone berbunyi kemduian nomor yang saya hubungi tadi memberikan respon yang saya ingat isinya “Terimakasih atas kepedulian Mas, namun Alhamdulillah kantong darah yang diperlukan sudah terpenuhi, tetapi apakah mas bersedia jika suatu saat mas kami hubungi jika masih kekurangan darah?”. Melihat jawaban seperti demikian entah dari mana perasaan serasa lega mendengar kebutuhuan darah sudah terpenuhi, bukan karena lega tidak jadi mendonor tapi ada perasaan luar biasa ketika si korban tersebut sudah terpenuhi kebutuhan darahnya. Setlah itu saya membalas pesannya “Alhamdulillah, Iya saya siap mbak”. 

Saat setelah komunikasi tersebut diakhiri setengah jam kemudian saya mendapatkan sms kembali dari seseorang yang saya hubungi tadi dan di sms itu dikatakan bahwa dibutuhkan darah untuk seorang anak kecil sekitar umur 5 tahunan juga membutuhkan lumayan banyak kantung darah. Tanpa piker panjang saya langsung mengiyakan dan langsung menuju rumah sakit tersebut namun ada satu masalah dimana Rumah Sakit yang disebutkan saya tidak mengetahui letaknya dimana dan setelah berkomunikasi sedemikian rupa dengan seseorang yang saya ketahui kemudian adalah seorang wanita dia menuntun saya hingga sampai dirumah sakit melalui smsnya. 

Kemudian saya mendonorkan darah dan ketika melihat jam saya terhenyak ketika jam menunjukkan pukul 22.35 berarti sekitar satu jam setengah mencari-cari rumah sakit tapi Alhamdulillah rasanya bahagia darah ini bisa membantu orang lain.

Wita: Masker yang Mengubahku

Setiap bencana alam terjadi, disitulah anda akan melihat lambang PMI yaitu palang merah Indonesia. Dimana anda akan melihat banyak sekali relawan yang terlibat dalam kegiatan respon bencana tersebut. Jujur, aku bukan orang yang peduli dengan hal-hal semacam itu. Sebaliknya, aku malah menutup mata dan telinga dengan segala yang terkait dengan hal tersebut. 

Di pikiranku selalu mempertanyakan banyak pertanyaan “mengapa orang-orang mau peduli dengan hal seperti itu?, sedangkan mereka tau kalau itu juga akan membahayakan mereka, apa tidak membuang-buang tenaga dan waktu? Berapa uang yang mereka dapat dari pekerjaan semacam itu?”. 

Memang, apa yang mereka lakukan adalah sikap kemanusiaan tetapi jika sampai membahayakan diri mereka bahkan sampai kehilangan nyawa saat ingin menyelamatkan orang lain tentu semakin membuatku tak ingin melakukannya. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan bencana alam di tempat tinggalku sampai akhirnya aku merantau sebagai mahasiswa di Universitas swasta di Yogyakarta yang akhirnya mengubah segalanya tentang diriku. Enam bulan aku tinggal di kota Yogyakarta, semuanya baik-baik saja dan berjalan seperti adanya. 

Suatu hari hatiku merasa bimbang saat mendengar berita tentang gunung kelud yang diakabarkan akan meletus. Memang jaraknya lumayan jauh dari Yogyakarta tapi sebagai perantau yang jauh dari keluarga tentu menjadi hal yang ditakutkan apalagi aku yang tidak pernah merasakan hal semacam ini. Jum’at 14 Februari 2014 hal yang ditakutkanpun terjadi. Gunung kelud memuntahkan segala yang ada di dalam perutnya, batu kerikil, serta abu vulkanik. 

Pagi hari saat aku membuka mataku, betapa terkejutnya aku melihat abu vulkanik menghujani Yogyakarta hingga semua menjadi putih bagaikan salju musim dingin yang turun di daerah tropis. Secepatnya aku beranjak keluar membeli masker untuk melindungi diriku dari abu yang berbahaya itu. Karena jauh dari apotek, satu persatu toko dan minimarket yang menjual masker aku masuki dan jawabannya adalah “habis”. Betapa sulitnya aku mencari masker melewati jalan yang berdebu tebal bukan main tanpa pelindung. Sampai diujung perempatan jalan akhirnya aku mendapatkan masker pelindung dari sekelompok relawan di jalan menggunakan syal berlambangkan palang merah dengan tulisan PMI yang membagikan masker tanpa peduli debu tebal demi membantu orang yang kesulitan. Sebuah masker yang ia berikan itu mengetuk hatiku dan membuka nurani kepedulianku. 

Aku merasa sangat tertolong dengan sebuah masker ini, meskipun harganya tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang ada di dompetku tetapi ini sangat berharga disaat aku memang membutuhkannya. Disini aku mulai berpikir sebenarnya apa yang mereka berikan memang tidak seberapa nilai materilnya tapi sesuatu yang kecil ini sangat berharga besar bagi orang yang membutuhkan. Inilah yang mengubah kepribadianku menjadi seorang yang peduli terhadap sesama dan berkemanusiaan. 

Akhirnya tertanamlah di dalam hatiku sebuah prinsip “ sekecil apapun yang kamu berikan akan berarti besar bagi orang yang membutuhkan”. Hingga membuat aku tergabung dalam organisasi kemanusiaan dan menjadi relawan bencana yang bekerjasama dengan PMI. 

Terima kasih aku ucapkan sebesar-besarnya kepada PMI yang tidak hanya menyelamatkan banyak orang, tetapi juga sangat berjasa karena telah membuka mata hatiku menjadi seorang yang peduli dan membuat aku lebih bermanfaat dengan dunia di sekitarku.

Wildan : Puasa Bukan Alasan

”Donor gak ya?” itu adalah pertimbangan dalam pikiran saya ketika diumumkan akan ada acara donor darah di kampus Ali Wardhana ini. Nama kegiatan tersebut adalah ”STAN Mengabdi, STAN Memberi” kegiatan ini adalah dalam rangka memperingati Hari Pabean Internasional (HPI) yang ke-62. Acara yang cukup meriah ini berlangsung dua hari yakni hari rabu, 15 Januari 2014 sampai dengan hari kamis, 16 Januari 2014.

Tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal 13 dan 14 bulan shafar 1436 H. Sempat muncul keraguan di dalam benak saya apakah akan mendonorkan darah atau tidak, mengingat ditanggal tersebut untuk pertama kalinya di tahun 2014 ini saya akan melaksanakan puasa Ayyamul Bidh (puasa pertengahan bulan) sesuai dengan perintah Rasulullah. 

Di mana dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah berkata: “Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). 

Namun, setelah berpikir beberapa panjang akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti acara donor darah tersebut tanpa meninggalkan puasa yang telah saya rencanakan. Acara siang itu dimulai dengan regristrasi, saya melakukan registrasi bersama teman-teman satu kelas. Sebelum duduk di kursi tunggu, kami diberi snack dan kupon (untuk pengambilan makan dan cinderamata). Tekad saya sudah bulat hari itu, saya akan mendonorkan darah dan tetap berpuasa, snack itu pun saya simpan (pikiran saya waktu itu sih buat buka puasa nanti.). akhirnya giliran saya pun tiba, saya berbaring dan petugas mulai mengambil darah saya. 

Sebelumnya saya bertanya kepada ibu petugas apakah tidak apa-apa kalau saat puasa saya mendonorkan darah. Ibu petugas itu memperbolehkan dan menjawab tidak apa-apa jika seorang yang sedang berpuasa melakukan donor darah. Setelah proses pengambilan darah selesai ibu petugas bertanya apakah saya merasa pusing atau tidak. Saya menjawab tidak, karena memang saat itu saya merasa tidak ada perasaan aneh yang saya rasakan. Saat berjalan menuju pintu keluar untuk mengambil kartu donor darah tiba-tiba kepala saya terasa sangat pening. Mata saya pun berkunang-kunang, Kemudian saya duduk sebentar di tepi pintu keluar, teman saya yang melihat saya tampak tidak sehat kemudian memanggil petugas. 

Dengan sigap bapak petugas itu membawa saya ke bilik tempat beristirahat. Beliau membaringkan saya dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala hal ini bertujuan agar darah mengalir lebih lancar ke tubuh bagian atas. Setelah beberapa saat saya sudah merasa lebih baik dan saya memutuskan untuk beranjak dari bilik itu. Alkhamdulillah saya masih diberi kekuatan untuk berjalan pulang ke-kos. Di kamar kos saya beristirahat sambil menunggu waktu berbuka puasa. Saya tertidur pulas waktu itu, ketika bangun saya merasa tubuh ini sangat ringan dan enak untuk bergerak. Saya merasa sangat sehat seperti semua penyakit hilang dari tubuh ini. 

Akhirnya waktu buka puasa datang,Saya merasa senang sekali karena hari itu saya dapat melakukan dua hal yang InsyaAllah bermanfaat, baik bagi diri saya maupun orang lain. Intinya puasa bukan menjadi alasan buat kita semua berkontribusi dalam acara donor darah. Semoga Tuhan YME mengikhlaskan segala niat dan perbuatan kita dalam membantu sesama.

Wahyu P: An Action

Balapan, kebut-kebutan, dan pacaran, beberapa hal yang selalu mengisi pikiranku saat menginjak 17 tahun. Suatu hari aku menghabiskan malam bersama pacarku menggunakan sepeda motor, kami saling bercanda untuk menghilangkan rasa capek saat belajar di sekolah tadi. Dari kejahuaan sebuah truk melaju kencang, truk tersebut hilang kendali dan menyenggol sepeda motorku, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. 

Darah segar bercucuran membasahi kakiku, kepalaku terasa pusing. Aku memperhatikan Dea, pacarku tersebut tidak sadarkan diri, telinga dan hidungnya mengeluarkan darah. Kepanikanpun menyalimutiku, aku tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, kucoba menghidupkan sepeda motor namun hasilnya nihil, ditambah tidak ada kendaraan yang melintas. Terpikir olehku untuk menelpon ambulan dan meminta pertolongan. 

Dea dibawa ke UGD, dokter yang bertugas masuk ke ruangan tersebut disusul para perawat. Beberapa menitpun berlalu. 

“Johnatan?” dokter tersebut memanggilku. 

“Bagaimana keadaan pacar saya dok?” 

“Kami telah berusaha semaksimal mungkin namun nyawa Dea tidak tertolong lagi.” 

“Kenapa bisa dok apa yang terjadi?” tanyaku pada dokter tersebut. 

“Dea kekurangan banyak darah sehingga jantungnya melemah dan berhenti berdetak, jika saja ada pertolongan pertama langsung setelah kejadian mungkin nyawanya masih bisa diselamatkan.” dokter tersebut menjelaskan. 

“Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu dok.” bisikku dalam hati.

 “Saya minta maaf, kamu yang tabah ya.” kemudian dokter tersebut pergi. Hari itu aku belajar bagaimana pentingnya pertolongan pertama yang harus dilakukan pada suatu kejadian mendadak yang tidak kita inginkan. Seminggu setelah istirahat di rumah aku kembali masuk sekolah, teman-temanku memberikan belasungkawa atas kejadian tersebut, aku harus bisa menerima dengan lapang dada dan merelakannya. 

Bel istirahat berbunyi, gurupun menutup pelajaran dan seisi kelas bubar. Aku berjalan keluar melewati sekumpulan cewek yang sedang bercakap-cakap di depan pintu kelas, langkahku terhenti didepan papan pengumuman sekolah. Disana tertulis pengumuman yang baru bagiku karena sudah seminggu tidak masuk, ada sebuah pengumuman yang membuatku tertarik, yaitu pengumuman tentang ekskul baru yang diadakan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) yang datang ke sekolahku beberapa hari lalu, bantulah sesama slogan yang tertulis pada pengumuman PMI tersebutlah yang membuatku makin tertarik untuk mengikuti kegiatan ini. Mengingat apa yang terjadi seminggu lalu membuat tekadku semakin bulat dan jelas. 

Hari pertama dimana aku bergabung di ekskul PMI aku berkenalan dengan setiap orang yang tergabung di ekskul tersebut, aku juga berkenalan dengan mas Rendy yang merupakan anggota resmi PMI yang akan membina kami dalam kegiatan ekskul. Didalam ekskul inilah aku mendapat berbagai macam ilmu tentang apa itu PMI, serta tugas dan tujuannya. Saat ekskul mas Rendy juga mengajari kami materi tentang pertolongan pertama yang harus dilakukan pada keadaan tertentu, seperti kecelakaan, tenggelam, dll. 

 “Kita ini harus saling menolong, have to take an action in your life.” seru mas Rendy. Mas Rendy juga mengajak kami ikut serta dalam acara donor darah yang diadakan oleh PMI dengan tujuan membantu orang yg membutuhkan. 

Setahun berlalu, aku menjadi peserta senior di kegiatan ekskul tersebut dan selalu aktif mengikuti kegiatan yang diadakannya. Banyak pelajaran berharga yang telah kudapatkan dari kegiatan ekskul tersebut. 

[Beberapa tahun kemudian]

 “John buruan ada yang kecelakaan, ambulan juga sudah menunggu!” teman kerjaku di PMI memanggil.

Unik Hanifah: Atas Nama Cinta

“Bagian mana dari Jogja yang kamu rindukan?” Tanya seorang kawan, beberapa waktu lalu. 

“Tiap bagian dari Jogja, yang kusinggahi bersama langkah kemanusiaan PMI”, sahutku cepat.

 Gerimis luruh perlahan, bersama awan yang menggelung kelabu. Senja yang syahdu berlatarkan sebuah gedung tua sederhana dikanan jalan milik PMI yang tampak ramai oleh para pejuang kemanusiaan. Cinta selalu mempunyai bahasanya sendiri, yang terkadang hanya bisa dikenali oleh hati. 

Jika kehadiran seorang ibu bagi buah hatinya bisa diibaratkan sebagai cinta pada pandangan pertama, maka buatku PMI adalah cinta sejati yang tak pernah terlupa. Gempa bumi Yogyakarta Mei tahun 2006 silam telah memperkenalkanku pada kegagahan PMI. Kala itu, aku masih gadis belia lugu dengan seragam putih abu-abu yang ketakutan dan menjerit pilu demi menyaksikan dinding rumahku runtuh bagai debu. Suara gemuruh yang mencekam, teriakan histeris, tanah yang berguncang, pepohonan yang bergoyang hebat, dan langit yang mendadak kelam menimbulkan trauma yang mendalam. Isu tsunami merebak di seluruh penjuru kota, dan menelisik tiap sudut rumah penduduk hingga meletupkan kepanikan yang luar biasa. 

Aku sempat terpisah dengan keluargaku di tengah hiruk pikuk orang yang berlarian menuju ke arah utara kota Jogja. Di tengah kekacauan yang terjadi, melintaslah mobil berlambang red cross. Hiruk pikuk sejenak terhenti, beberapa warga yang sebelumnya berlarian panik seolah mendapatkan ketenangannya kembali. Tak lama, tampak beberapa pemuda-pemudi beratribut PMI keluar dari mobil dan menenangkan kami dengan memberikan keterangan yang masuk akal terkait dengan info tsunami dan gempa susulan yang telah membuat warga berlarian pasca gempa berkekuatan 5,9 SR yang baru saja terjadi. 

Ah, di mataku mereka tampak keren sekali pagi itu. Serupa malaikat yang hadir diantara keputusasaan yang begitu pekat. Para relawan PMI juga membagi-bagikan amunisi agar kami mengisi perut. Keadaan seketika menjadi tenang kembali. Sejumlah warga tampak berusaha mengembalikan kesadaran pada apa yang baru saja terjadi. Sementara para relawan PMI masih saja sibuk mengevakuasi rumah-rumah penduduk tanpa rasa takut sedikitpun terpancar dari wajah mereka. Beberapa manula yang ketakutan, anak-anak kecil yang terpisah dari orang tuannya, serta warga yang sempat tertindih bangunan menjadi terselamatkan. 

Rupanya gempa bumi yang hanya terjadi sepersekian detik tadi telah menimbulkan begitu banyak kerusakan parah. Di antaranya puluhan rumah penduduk, beberapa mall, kampus-kampus, dan bahkan candi-candi di seputaran kota Jogja. Bencana alam kali ini benar-benar menorehkan luka menganga pada Kota Jogja. Namun, kehadiran para relawan PMI serupa penawar luka yang tak terlupakan bagi kami. Membawa kepedulian yang begitu menyentuh hati kecil kami. PMI memberikan respon begitu cepat melalui cabang-cabangnya di tingkat kota/kabupaten terdekat. 

Mereka melakukan tindakan-tindakan pertolongan darurat; salah satunya dengan mendirikan Rumah Sakit Lapangan di Lapangan Dwi Windu di Bantul yang merupakan daerah pusat gempa. Semua kepedulian itu begitu berharga bagi kami. Maka, senja ini aku masih berdiri di sini. Di depan sebuah gedung tua sederhana yang senantiasa mengumandangkan kepedulian terhadap sesama. 

Dengan berseragam red cross kulangkahkan kakiku dengan mantab. Ini adalah tahun ke delapan semenjak peristiwa gempa bumi Jogja kuabadikan rasa kemanusiaanku sebagai relawan PMI. Atas nama cinta, aku menjadi bagian dari PMI untuk menorehkan jejak-jejak kemanusiaan dan mengembalikan kesadaran sebagai manusia seutuhnya.

Umi.F : Uluran Tangan di Dalam Kegelapan

Pada saat meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta 2010 lalu, kerabat saya yang berada di dekat lereng merapi mengungsi di tempat tinggal saya, di daerah pesisir Pantai Selatan Yogyakarta. Mereka tiba di rumah dengan penuh kebingunganan dan panik. Ketakutan begitu tampak nyata di mata mereka. Semuanya adalah sekitar lima belasan orang. Rumah saya menjadi semacam tempat perlindungan yang sementara ini aman bagi mereka-setidaknya di sini tidak ada abu vulkanik setebal tiga puluh senti walaupun hujan abu mencapai wilayah di selatan Yogyakarta-. 

Rumah saya yang tidak besar menjadi sangat sesak dan semua tahu bahwa ini tidak nyaman. Tapi keluarga saya mencegah untuk pindah ke posko pengungsian karena tahu, keadaan di sana tidak akan lebih baik. Kami semua tidur menggunakan tikar dan kasur tipis, dan itu tidak layak, tapi mereka bilang ini lebih dari apa yang sepantasnya mereka dapatkan. Kakak saya adalah seorang anggota relawan PMI Kota Bantul. Kami menghubunginya, berharap semoga ada yang bisa dilakukan. Para korban berharap bisa mengandalkan Palang Merah untuk membantu di saat keadaan seperti ini, apapun itu pasti ada yang bias dilakukan oleh Palang Merah, itu yang mereka pikirkan. 

Kemudian, orang-orang berseragam rompi biru tua dengan logo palang merah datang ke rumah saya. Mereka mendata setiap orang yang mengungsi di rumah saya, para relawan itu membawakan barang-barang yang kami butuhkan: beras, obat-obatan, susu bayi, selimut dan yang sejenisnya. Seorang dari mereka bilang, harusnya kami segera lapor bahwa di sini ada para pengungsi dari bencana Merapi, sehingga semua dapat terorganisir dengan baik. Mereka menyesal tidak bisa melakukan banyak, tapi berjanji akan mencoba melayani semampu mereka. 

Di tengah kepedihan akibat bencana ini, solidaritas dan pertolongan adalah kekuatan dan motivasi tersendiri. Dan apa yang dilakukan oleh orang-orang ini membawa suatu dampak yang bagus bagi para korban bencana. Kami merasakan spirit, itu adalah kekuatan yang mampu membangkitkan. Bayangkan saja -mengenai rumah yang diselimuti debu, tempat tinggal menjadi sesuatu yang kelabu dan asing- mereka terpisah dengan tetangga mereka yang selama ini setiap pagi mereka sapa. Atau, yang lebih menyakitkan, mereka tak akan bisa lagi melihat tetangga mereka, karena hangus ditelan wedhus gembel. Kami mencoba memahami, bagaimana rasanya. 

Tapi semua tahu, kami semua tidak sendirian, dan perasaan seperti itu membuat keadaan tidak semenakutkan yang sebelumnya kami bayangkan. Ini menambah prospek yang bagus pada setiap diri kami. Kehadiran para relawan dari PMI sangat membantu di sini. Mereka adalah organisasi kemanusiaan yang dipimpin oleh relawan, yang memberikan bantuan kepada korban bencana dan membantu kami mencegah dan mempersiapkan diri untuk keadaan darurat. Itu sangat, sangat-sangat berarti bagi kami. 

Segala informasi, kami dapatkan dari mereka tentang apa yang seharusnya kami lakukan, harus bagaimana kami, mereka adalah pemandunya. PMI membawa bantuan kepada yang membutuhkan, mencegah dan mengurangi penderitaan, dan melindungi kehidupan, dan saya rasa, saya bisa melihat itu pada setiap diri para relawan di tempat saya waktu terjadi bencana Merapi itu. Lebih dari semua yang bisa saya katakan, Palang Merah Indonesia adalah cerminan dari rasa kemanusiaan yang tulus, dan itu adalah sesuatu yang mulia, yang bisa dilakukan untuk sesama manusia.

Umar: Semua Boleh Donor

Siang hari yang cukup terik itu, aku dan Rico duduk di kursi luar kelas. Seperti biasa kebiasaan kami jika jam istirahat maka yang kami lakukan adalah bersenda gurau sambil “cuci mata”. Yah, patut dimaklumi kelas 2 SMA memang dapat dianggap sebagai puncak kenakalan bagi beberapa remaja. 

Di kelas 3 SMA nanti memang kami berdua berniat “taubat” mengakhiri segala kenakalan kami. Aku dan Rico sudah bersahabat sejak SMP. Kami berdua begitu cocok dalam segala hal, sampai orang tua kami berdua pun kenal baik. Siang itu kami sedang berbicara tentang kebermanfaatan untuk orang lain. Efek dari pelajaran Agama yang barusan kami dapat dari pak Muchlis, guru yang membuat kami iri karena beliau adalah idola para gadis di sekolah kami. 

Memang beliau muda, tampan, bijak, dan setiap beliau mengajar selau melontarkan kata-kata yang mendamaikan jiwa. Sebuah kalimat dari pak Muchlis yang sangat kami ingat adalah “sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk sesama”, mengutip dari sabda Rasullullah SAW.”Bro, hal apa ya yang sudah kita lakukan untuk kebermanfaatan sesama manusia?”, aku bertanya kepada Rico. “Iya ya, 18 tahun aku hidup rasanya aku belum melakukan sesuatu yang bermanfaat”, jawab Rico. 

Tak lama kemudian derap langkah sekelompok orang terdengar mendekat dari kejauhan. Rombongan tersebut kemudian lewat di dekat kelas. Kami melihat beberapa orang berpakaian putih berlogo Palang Merah Indonesia (PMI) membawa kotak yang kami kira berisi susu segar untuk dibagikan secara gratis, hahaha. Aku dan Rico saling memandang. Tunggu dulu, bukan berarti kami jatuh cinta. Kami saling mengangguk. Bergegaslah kami menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang selama ini sering digunakan tempat “modus” bagi sebagian siswa untuk menghindari suatu mata pelajaran yang tak disukai atau saat malas upacara bendera. 

Kami langsung memutuskan untuk ikut berdonor darah. Menurut kami inilah saatnya untuk bisa bermanfaat untuk sesama manusia seperti yang pak Muchlis katakan. Di banner yang tepasang di dekat pintu UKS tertulis “setetes darah anda nyawa bagi sesama” semakin menambah keyakinan kami untuk ikut berdonor darah. Petugas donor darah melakukan cek awal untuk menyeleksi apakah calon pendonor layak atau tidak untuk berdonor seperti pengecekan tekanan darah, golongan darah, berat badan, atau riwayat penyakit. Beruntung, kami dinyatakan lolos cek kesehatan awal yang berarti kami siap untuk berdonor darah. Jarum suntik atau mungkin lebih tepatnya jarum hisap darah yang lumayan besar itu menembus kulit dan langsung menancap ke pembuluh darah. Rico yang sedikit phobia dengan jarum suntik nampak gelisah. 

Dengan santainya aku meledek Rico. “Ric, kamu itu playboy, punya banyak pacar tapi kali ini malu aku punya teman seperti kamu yang sama jarum suntik saja takut”. Sekitar 10 menit, proses pengambilan darah selesai kemudian darah yang telah diambil ditempatkan dalam suatu kantung darah yang diletakkan pada kotak penyimpana yang kami kira tadi berisi susu segar sebelum diangkut ke mobil PMI untuk dibawa ke kantor PMI pusat di kota kami. Pagi itu belum banyak siswa di sekolah kami yang mendonor darah. Kami cukup bangga karena kami yang terkenal sangat nakal di sekolah ini bisa juga berinisiatif untuk berbuat baik untuk sesama.

Tria: Sang Penolong Yang Tak Tertolong

Sejak dulu aku selalu kagum dengan pemuda yang berjiwa sosial tinggi dan aktif. Aku selalu ingin menjadi bagian dari PMI dan menjadi relawan bagi orang-orang yang membutuhkan. Namun sayangnya hingga kini aku belum menjadi bagian dari PMI berbeda dengan kawan dekatku yang bernama Sari. 

Setiap bertemu Sari hampir selalu ia ceritakan mengenai teman-temannya, serta kegiatan KSR Perti di Jakarta. Meskipun banyak cerita mengenai teman-teman sari yang ia ceritakan padaku, entah mengapa aku tertarik dengan cerita mengenai pemuda yang ku sebut “Mr. G”. dari cerita yang ku dengar “Mr. G” merupakan sosok pemuda yang sangat aktif dan berjiwa sosial tinggi, salah satu cita-cita mulianya adalah membangin yayasan sosial di kampung halamannya. 

Pada tanggal 9 Desember 2013 Indonesia di goncangkan dengan tragedi yang menggetarkan jiwa, kecelakaan yang menimpa sebuah kereta api yang menabrak sebuah mobil pertamina di daerah Bintaro. Disaat aku dan orang lain hanya dapat mengelus dada dan menyaksikan korban-korban yang terbakar,”Mr.G” beserta pasukan PMI menolong para korban-korban itu. Mr. G mengevakuasi jenazah-jenazah yang terbakar dan salah satu jenazah yang ia evakuasi adalah masinis kereta tersebut. Tanpa pamrih ia terus menjadi relawan PMI.

 Di akhir tahun 2013 Jakarta dan sekitarnya di timpa musibah Banjir, sebagai relawan yang siap siaga lagi-lagi Mr. G menjadi relawan di pengungsian yang disediakan oleh PMI Jakarta. Berhari-hari ia beserta para relawan lainnya menyumbangkan tenaganya untuk membantu orang-orang yang kalut dan sedih karena banjir yang tak kunjung surut. Setiap bertemu dengan sari aku terus penasaran dengan cerita terbaru mengenai Mr. G. Namun , pada hari minggu tanggal 16 Februari 2014 Sari mengirimkan SMS bahwa Mr. G telah meniggal dunia di usianya yang ke- 20 tahun. 

Sosok pemuda yang aku kagumi, pemuda yang bahkan belum pernah aku tatap langsung wajahnya kini telah meninggalkan dunia untuk selamanya. Dari kabar yang aku dengar, Mr. G mengalami kecelakaan saat ia mengendarai motor dan saat tiba di Rumah sakit nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Meskipun ia telah tiada aku yakin ia akan selalu hidup di dalam hati orang-orang yang mengenalnya.

Tantra: Berbagi Kebaikan

Aku melakukan donor darah pertama kalinya sewaktu SMA saat PMR sekolahku mengundang PMI untuk mengadakan donor darah pada bulan Mei 2011 saat usiaku tepat 17 tahun lebih satu bulan. Walaupun pada awalnya aku grogi tapi aku sangat senang karena selain mendapatkan snack dan susu gratis setelah mendonor, selain itu aku juga bisa membantu orang lain yang membutuhkan. 

Terlebih aku pernah memiliki pengalaman dimana bibiku meninggal karena sakit gagal ginjal pada tahun 2005. Waktu itu beliau harus melakukan cuci darah dua kali dalam seminggu dan biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Termotivasi dari hal tersebut, aku bertekad untuk melakukan donor darah secara rutin setiap tiga bulan sekali sesuai dengan yang dianjurkan. Aku selalu mengagendakan jadwalku setiap tiga bulan (Februari, Mei, Agustus, dan November) untuk melakukan donor darah. Jika PMR sekolahku tidak mengundang PMI atau jadwalnya tidak sesuai dengan agenda donorku,biasanya aku mengajak temanku yang memiliki jadwal sama untuk pergi ke PMI di kotaku. 

Hingga saat ini aku telah melakukan donor darah sebanyak 11 kali. Sebuah hal penting pernah aku petik saat melakukan donor darah di PMI kotaku. Waktu itu aku bertemu dengan seorang bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun yang ternyata adalah ayah dari teman sekolahku. Beliau ternyata seorang guru di SMA lain dikota yang sama denganku. Waktu itu aku hendak mendonor dengan lengan bagian kiri, namun beliau mengatakan “Sebaiknya kita mendonor itu dengan tangan kanan, karena memberi kepada orang lain itu sebaiknya dilakukan dengan tangan kanan”. 

Selain itu beliau juga berpesan kepadaku untuk selalu melakukan kebaikan dimulai dari hal yang sederhana seperti donor darah dimana kita hanya perlu menunggu sekitar 3-5 menit, kantong darah yang kita sumbangkan akan sangat berguna bagi yang membutuhkan. Donor pertamaku dibangku kuliah aku lakukan di PMI Pusat pada bulan November 2013. Waktu itu aku juga mengajak kakak seniorku yang berkuliah di Salemba untuk ikut donor, namun sayangnya ia tidak bisa mendonor karena hemoglobinnya rendah. Suasana berbeda aku temukan saat di PMI Pusat yang berbeda dengan PMI dikotaku. PMI Pusat sudah menggunakan komputerisasi sementara dikotaku masih menggunakan cara manual. Selain itu, ruangan di PMI Pusat lebih besar daripada ruangan di PMI kotaku. 

Beberapa hal yang aku lakukan sebagai bentuk kepedulianku terhadap sesama ialah pengalamanku staff medis dalam lomba olahraga fakultas Psikologi se-Indonesia yang diadakan di GOR Bulungan dibulan Oktober 2013 oleh fakultasku (fak. Psikologi UI). Pengalaman menarik yang aku dapatkan ialah aku tahu secara langsung bagaimana menangani orang yang cidera (ankle, kram, sesak nafas, dll). Selain itu aku tahu bahwa menjadi staff medis haruslah tanggap dan cekatan agar orang yang kita tolong tidak mengalami sakit/luka yang lebih parah. 

Kegiatan pengabdianku yang lain adalah pengalamanku menjadi panitia Donor Darah yang dilakukan difakultasku untuk pertama kalinya bersamaan dengan Launching Forum Muslim Angkatan 2013 fakultas Psikologi UI pada bulan Maret 2014. Kami dari panitia sepakat untuk mengadakan donor darah karena berkaitan dengan tema acara yaitu “Bersatu Berbagi Kebaikan” dimana diharapkan setiap orang yang melakukan donor memiliki persepsi bahwa ia telah berbagi kebaikan dan bersatu disini ditujukan kepada Forum Muslim Angkatan 2013 agar bisa kompak kedepannya.

Syurawasti: Menolong Sesama Manusia, Generasi Sehat Masa Depan

Aku masih mengingat cerita “Princess Cassela” yang sakit gigi karena makan begitu banyak cokelat. Dia bahkan mencuri cokelat dilemari es. Dia memakan cokelat yang sangat banyak dan malas menyikat gigi. Akhirnya dia menangis karena sakit gigi. Cerita Princess Cassela tiba-tiba muncul dibenakku saat itu. 

Terinsipirasi dari sebuah cerita yang pernah kubaca dari buku cerita adikku. Cerita itu cukup berhasil menarik perhatian anak-anak yang lugu diKampung Garassikang, Kabupaten Jeneponto. Cerita Princess Cassela menjadi cerita pembuka yang cukup sukses mengantar dan membuka pikiran anak-anak untuk memahami pentingnya memelihara kesehatan gigi dan mulut dengan menyikat gigi. Waktu itu Sabtu, 6 April 2014 saya dan teman saya menjadi fasiliator penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) diSD 37 Garassikang. 

Penyuluhan PHBS meliputi cuci tangan,menjaga kebersihan lingkungan dan menyikat gigi. Ini merupakan rangkaian kegiatan “Aksi Relawan” yang diadakan oleh Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) Universitas Hasanuddin Makassar. Saat itu saya belum cukup setahun menjadi anggotanya. Selama penyuluhan, anak-anak SD 37 Garassikang tampak antusias. Mereka duduk memerhatikan hal-hal yang kami sampaikan. Saya membuka sesi dengan menyampaikan cerita, kemudian menunjukkan contoh model gigi. Selanjutnya saya menayangkan slide yang sudah saya buat sedemikian rupa untuk level anak-anak SD. 

Saya juga memperlihatkan video mengenai cara menyikat gigi yang benar. Saya pun mempraktikkan sendiri cara menyikat gigi tersebut. Setelah itu, saya meminta beberapa anak untuk memperagakan cara menyikat gigi yang benar di depan teman-temannya. Agar lebih termotivasi untuk mengajukan diri, kami menyiapkan hadiah untuk anak-anak yang mau memperagakannya. Penyuluhan mengenai pentingnya menyikat gigi yang benar ini, merupakan sesi terakhir dalam penyuluhan PHBS. 

Setelah itu, anak-anak akan memperagakan materi yang sudah diberikan diluar kelas. Kami sudah mempersiapkan aliran air dipipa. Anak-anak akan mempraktikann cara mencuci tangan yang benar dengan menggunakan sabun dan cara menyikat gigi yang benar. Saya dan teman saya yang kembali mengarahkan anak-anak tersebut. Tidak mudah juga mengarahkan anak-anak itu. Ada anak-anak yang kurang bisa diberitahu untuk tetap diam atau menunggu giliran. Banyak juga dari mereka yang berebut sikat gigi. Saat itu kami memang membagikan sikat gigi gratis untuk anak-anak itu. Menjadi fasilitator untuk anak-anak tidaklah selalu berjalan mudah. 

Seringkali kesabaran saya diuji oleh tindakan anak-anak yang ribut, tidak mau mendengar dan tidak bisa menunggu. Saya berupaya untuk memahami hal tersebut. Saya pun berupaya untuk tetap santai apabila diperhadapkan pada kondisi seperti itu. Bersikap santai namun tetap memiliki power terhadap anak-anak itu. Saya berterima kasih kepada PMI yang pertama kali memperkenalkan saya pada dunia “menolong sesama”. Saya tetap menganggap bahwa membina anak-anak merupakan bentuk tindakan saya untuk menolong sesama. Menolong dimulai dari hal-hal yang kecil. 

Jauh dalam lubuk hati, saya mempercayai bahwa dengan membina anak-anak saya telah terlibat dalam perbaikan generasi umat manusia dimasa yang akan datang. Pada masa-masa selanjutnya saya akan tetap terlibat dalam kegiatan menolong sesama manusia. Hingga saat ini saya masih terus menginternalisasi tujuh prinsip dasar gerakan internasional palang merah dan bulan sabit merah. Tujuh prinsip yang merupakan nilai yang sangat penting dimiliki dalam menolong sesama manusia

Syahtya: Tuhan Tidak Pernah Tidur, Ayah

“Mengapa kamu begitu mudahnya memberikan darahmu,Nak?”, kata ayahku kecewa saat mendapati kantong berlogo PMI di kamarku. Sulit untukku tidak selalu berbagi, tatkala sejak PMR Madya sampai KSR saat kuliah selalu aktif dalam organisasi kemanusiaan itu. Masih jelas ingatan ayah tentang anak sulungnya yang terbaring lemas 25 tahun lalu. 

Entah sejak kapan ayah mengantre mendapatkan sekantong darah untuk kakak perempuanku yang kritis. “Stok kosong, Pak”, hanya itu jawaban yang didapat ayah saat berulang kali bertanya kepada petugas. Saat Adzan Subuh berkumandang, dengan wajah penuh harapan ayahku kembali ke tempat kakak perempuanku terbaring. 

Ayah seakan tak mampu berdiri. Dihadapannya ibuku terisak sambil memegang tangan kakak perempuanku yang membeku. Tuhan lebih dulu memanggil sebelum sekantong darah yang dibawa ayahku masuk tubuhnya. Ya Tuhan, aku kembali mengenang cerita itu. Terbangun dari lamunanku, kulihat tetesan tranfusi darah mengalir lancar pada pasienku yang belum genap lima tahun. Ya, sekarang aku tengah jaga malam untuk menjalani praktik akhirku di rumah sakit sebagai Ners. 

Tak lama kemudian Adzan Subuh terdengar. “Beruntung sekali engkau, Dik”, ucapku dalam hati. Kulihat disamping pasienku yang gemar mengenakan baju barbie, ibunya lelap tertidur. Di bawah tempat tidur, ayahnya juga terlelap walaupun beralaskan tikar usang. Kontras dengan ayahku yang berlarian dengan ribuan peluhnya, dan ibuku dengan jutaan linangan air matanya, pada waktu yang sama 25 tahun lalu. 

Sore ini ayah berkata kepadaku akan menjenguk cucu temannya yang dirawat di rumah sakit tempat aku praktik. Ya Tuhan, ternyata barbie kecilku yang semalaman aku rawat adalah cucu teman ayahku. “Ya beginilah, Pak Dhe. Hampir setiap bulan saya harus kembali kesini. Tiba-tiba saja gusinya mengeluarkan banyak darah, seperti tidak bisa berhenti. Bibirnya membiru, telapak tangan dan kakinya juga sangat pucat. Tadi pagi baru saja Ners itu memberikan tranfusi darah”, ucap ibu barbie kecil itu kepada ayahku sambil menunjuk ke arahku. 

Ayah melihat ke arahku sambil mengernyitkan dahinya. Aku menjawabnya dengan seutas senyuman kepada beliau sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibirku, dengan maksud agar ayahku tidak mengatakan bahwa anak berbaju putih-putih yang dipanggil dengan sebutan Ners itu adalah anak bungsunya. Ayahku tersenyum sambil mengangkat jempol tangan kanannya. “Untunglah Pak Dhe, saya tidak pernah kesulitan mendapatkan darah untuk anak saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya sudah tidak ada lagi orang yang memberikan darahnya. 

Seperti yang Pak Dhe tahu, golongan darah kami tidak ada yang sama karena dia bukan dari rahim istri saya. Tapi Tuhan maha adil. Tuhan menukar darah yang kami berikan kepada orang lain dengan darah yang bisa diberikan untuk anak kami. Hanya itu yang dapat kami lakukan untuk berterima kasih kepada mereka yang kami sendiri tidak mengenalnya”, ucap ayah barbie kecil yang sayup-sayup aku dengar. 

“Kata Bu Guru, itu karena Tuhan tidak pernah tidur”, celoteh barbie kecil itu yang membuatku terharu. Sejak saat itu, ayahku tidak pernah kembali bertanya, “Mengapa kamu begitu mudahnya memberikan darahmu,Nak?”, saat beliau mengetahui aku pulang dengan membawa kantong berlogo PMI yang aku dapatkan setelah memberikan sedikit darahku untuk mereka yang membutuhkan. Aku hanya mengatakan kepada beliau, “Tuhan tidak pernah tidur, Ayah”.

Suriyani: Setetes Darah Pengikat Silaturahmi

Silaturahmi sangatlah penting dalam kehidupan kita, karena itu menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang sewaktu-waktu membutuhkan bantuan orang lain. Kegiatan silaturahmi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan donor darah. Donor darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). 

Dengan mengembangkan proses kesehatan yang modern, penerapan donor darah yang baik dan benar dapat membantu masyarakat yang membutuhkan bahkan menyelamatkan nyawa seseorang. Namun jika tidak ditindak dengan benar maka akan berakibat fatal, penularan penyakit yang berasal dari darah dapat terjadi. Sehingga diperlukan perhatian yang lebih bagi pendonor darah dengan mengikuti aturan berdasarkan petunjuk nasional mengenai penggunaan klinis darah, dengan mempertimbangkan kebutuhan resipien atau si pembutuh darah tersebut. 

Kegiatan pendonoran darah bagi masyarakat sangatlah penting, yang mana kita tidak akan tau bagaimana rencana tuhan kepada kita. Sering sekali terjadi kecelakaan di lalu lintas yang menyebabkan korbannya kehabisan darah, sehingga membutuhkan pendonoran darah. Selain itu kegiatan medis lainnya yang membutuhkan banyak darah, seperti operasi misalnya. Dari kejadian-kejadian yang ada dilingkungan kita, hal ini menggerakkan hati saya untuk berbagi untuk sesama. 

Berbagi tidaklah harus berupa materi, barang-barang atau pun benda-benda lainnya, namun bagian dari tubuh kita juga dapat kita berikan, seperti darah. Benda cair itu begitu banyak manfaatnya dalam tubuh kita. Meskipun beberapa orang merasa jijik ketika melihatnya, namun zat cair itu mutlak mengalir dalam tubuh kita. Dalam satu detik sel darah merah dalam tubuh kita dapat menghasilkan 2 juta eritrosit. Apa lagi jika sampai satu menit bahkan satu jam, sungguh jumlah yang sangat banyak jika di akumulasikan dalam perhitungan. 

Sehingga untuk berbagi kenapa tidak? Senang rasanya jika kita dapat berbagi dengan sesama, selain kita mendapat pahala, ikatan silaturahmi antar sesama juga semakin terjalin kuat. Bagaimana tidak ?Jika kita mendonorkan darah kita kepada orang lain, tentunya darah kita akan mengalir dalam tubuhnya. Apa lagi kalau orang yang kita donorkan darah adalah orang yang sangat kita sayangi, tentunya itu menjadi kebanggaan dan kesengan tersendiri bagi kita. 

Tapi bagaimana jika kita mendonorkan darah tanpa mengetahui siapa orang yang membutuhkan darah kita ? Nah lo, kenapa jadi ragu ? alasan itulah yang yang seharusnya lebih kita kaji. Dengan rasa ikhlas untuk berbagi tanpa memandang siapa yang akan menggunakan darah kita nanti disitulah letak solidaritas sosial kita. Berbagi bukan hanya dengan orang yang kita kenal, namun harus kepada sesama, baik yang kenal maupun tidak. Berkaitan dengan pendonoran darah, sudah banyak lembaga-lembaga yang menyelenggarakan kegiatan pendonoran darah. Baik dikalangan kementrian pendidikan, lembaga sosial, pihak kesehatan, bahkan PMI sendiri telah bekerja sama dengan pihak sekolah ataupun perguruan tinggi. 

Jadi untuk berbagi beberapa liter darah kita tidak lah sulit mencari tempatnya. Mereka siap melayani kita semua yang mau berbagi. Karena beberapa liter darah kita dapat menyelamatkan mereka dan dapat mengembangkan senyum manis dari bibir mereka. Sungguh indahnya berbagi.

Sridayati: Generasi Sukarela, Masih Ada

Pagi ini aku tersentak mendengar alarm dari telepon genggamku, 05.01 WIB tepat saat Azan terdengar dari mesjid yang tak jauh dari rumah kosku. Walaupun masih mengantuk dan teman sekamarkupun masih ngorok dengan kerasnya, hingga mengalahkan kekuatan gelombang cahaya sampai ke bumi. Entah berapa desibel itu. Huft! Ku ayunkan langkah kaki dan segera mandi agar tidak tertidur lagi. Beginilah setiap pagi aku menghuyung tubuhku untuk mencari sesuap nasi dan sekeping hati yang hilang. 

Setelah aku berpakaian pramuka lengkap, akupun berangkat ke Sekolah Dasar tempatku mengajar Pramuka yang jaraknya 40KM dari kosku. Beruntung ada sepeda motor yang kubeli dari hasil kerja kerasku dan juga beasiswa. Aku harus bekerja untuk bisa makan dan membayar uang kuliahku sendiri, karena orangtuaku hanyalah petani karet sementara adik-adikku tiga orang lagi bersekolah di Pesantren dan satu lagi akan masuk Sekolah Dasar. Di tengah jalan aku tak sengaja melihat kerumunan orang, aku penasaran dan mencoba mendekat. 

Setelah mendekat, aku melihat seorang ibu dan anak kecil berumur kira-kira tiga tahun terhimpit motor. Aku heran kenapa semua orang berkerumun tanpa ada yang melakukan bantuan atau menghubungi tim medis, malah menghubungi polisi. Akupun menelpon nomor puskesmas terdekat dengan kampus dan mencoba melakukan pertolongan pertama. Tak lupa aku menyatakan identitasku dan sudah pernah mengikuti pelatihan P3K oleh tim PMI, GEGANA, dan BNPB Provinsi. Aku mencoba meminta masyarakat menjauh dari lokasi dan meminta beberapa orang bapak-bapak membantu mengangkat motor dari Ibu dan anak itu, setelah aku menjelaskan tentang P3K dan tidak perlu menjadi saksi nantinya, karena itu yang membuat mereka takut menolong. 

Setelah motor itu diangkat, aku merasakan denyut nadinya,karena ibu itu tidak sadarkan diri, sementara anak itu aku minta digendong warga, aku merasakan masih ada denyut nadi dan hembusan nafasnya, aku menepuk pipi ibu itu sedikit dan ibu itupun sadar, aku mengajak ibu itu untuk terus berbicara agar dia tidak kembali pingsan. Setelah beberapa menit ambulan datang dan mereka berterima kasih padaku, karena sudah memberikan bantuan pertama. Dan masyarakat yang melihatkupun tersenyum, akupun berlalu ke SD tempatku mengajar. Hal inilah yang membuatku tidak bisa terlepas dari kegiatan-kegiatan sukarela terutama bagi remaja. Walau memang aku bukan anak PMI, namun kampusku yang juga mempunyai organisasi KORPS SUKARELA PMIselalu bekerjasama dengan PRAMUKA. 

Contohnya, mengadakan kegiatan donor darah, juga bekerjasama dengan PMI cabang di kotaku. Aku selalu berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, namun aku tak pernah ikut menyumbangkan darahku, karena aku selalu tidak memenuhi kriteria sebagai pendonor, sementara aku fikir darahku yang bergolongan AB sangat dibutuhkan. Karena aku punya penyakit anemia, Tapi aku tidak putus asa, aku selalu mengajak teman-teman dan masyarakat untuk ikut mendonorkan darahnya dan hasilnya sesuai harapan, mereka menyumbangkan darahnyakarena kemampuan berbicaraku yang sudah cukup bisa menjadi Direktur dibidang sales marketing, hahahahaha. 

Kini, aku menyadari, walau aku tidak bisa menyumbangkan darahku dan dengan keterbatasan ekonomi, aku selalu tetap berusaha karena aku masih bisa tersenyum dan tertawa, karena aku teringat orang tuaku yang selalu memberi dukungan dan semangatnya hingga aku menjadi sarjana pendidikan yang bisa memberikan sumbangan sukarela terhadap generasi baru yang akan selalu saling memberi dan sukarela. GANBATTE KUDASAI!

Sindhi: PMR Membantu Menemukan Jati Diriku

Interarma Caritas. Halo kawan-kawan semua, perkenalkan namaku Sindhi. Aku ingin bercerita tentang pengalamanku menjadi anggota PMR. Ayo mulai ceritanya, Sebenarnya aku tidak begitu yakin kenapa aku ikut ekstrakurikuler PMR di sekolahku, aku hanya bingung harus memilih ekstrakurikuler apa karena hal itu diwajibkan di sekolahku. 

Akhirnya aku memilih PMR dikarenakan berhubungan dengan cita-citaku yaitu menjadi seorang Dokter, aku mengikuti diklat yang diadakan di PMR dan menjadi anggota resmi PMR. Awal ikut PMR aku tidak mengerti sama sekali cara menolong seseorang, aku pikir itu wajar karena aku masih baru di PMR, sampai suatu hari Mbak Kos-ku ada yang terluka kakinya. Dia bertanya kepadaku apakah aku mempunyai betadine/hansaplast? Sayang sekali saat itu aku tidak mempunyainya. Dalam hati aku berkata “kenapa aku tidak bisa menolong seseorang saat mereka kesakitan dan betapa bodohnya aku tidak mempunyai Betadine/Hansaplast, padahal aku kan anak PMR”. 

Keesokan harinya aku langsung membeli barang-barang untuk PP seperti Betadine, Hansaplast, Kapas, & Perban kecil. Aku masukkan semua barang-barang tersebut dalam kantong plastik kecil, aku menyebutnya dengan P3K Kecil karena ukurannya yang kecil & sederhana. Sebenarnya aku ingin membeli P3K yang sesungguhnya tapi aku tidak tahu harus membeli dimana jadi aku membuat inisiatif sendiri. Beberapa hari setelah aku membeli P3K Kecil tersebut, temanku ada yang terluka kakinya. Dia anak Paskibra, dia merengek datang ke kamarku karena kakinya terkena serpihan kaca waktu berjalan. pada saat itu, hari sedang hujan dan dia melepaskan sepatunya karena takut basah dan tidak memikirkan kakinya akan terluka. 

Aku membersihkan lukanya, mengoleskan betadine, dan menutup luka tersebut. Dia memerhatikanku selama aku mengobatinya lukanya, dia bertanya “Apa kamu tidak jijik dengan lukaku, ini kan banyak darahnya?” aku hanya diam dan menggelengkan kepala. Untung saja aku tidak takut dengan darah jadi aku tidak merasa jijik sama sekali, aku kan anak PMR. “Paskib tidak berdaya jika tidak ada PMR” katanya. Aku hanya diam karena tersipu malu dengan pujiannya. Itulah kisahku.

 Akhirnya aku mengerti rasa bangga saat menolong sesama, sejak saat itu aku memahami menjadi anak PMR merupakan suatu hal yang aku sukai. Aku bisa berbagi ilmu kesehatan kepada kawan-kawanku di sekolah, mengajari mereka cara hidup sehat. Senang rasanya, terima kasih PMR. Karena engkau, aku telah menemukan jati diriku.

Sigit: Indahnya Berbagi Hidup

“Kusumbangkan sebagian kecil darahku, pemberian Tuhan untuk perikemanusiaan” Itulah kalimat indah yang tertera pada Kartu Donor Darah Sukarela yang kupegang. Kalimat tersebut sungguh mengesan bagiku. Dan setiap kali aku mendonorkan darah, kalimat itu seakan-akan menjadi ‘ruh’ yang mendorongku untuk berbagi hidup bagi orang lain. Ya! Meskipun aku hanya memberikan sedikit dari darahku, namun hal ini begitu berarti bagi hidup orang lain yang kuberi. 

Tepatlah apa yang menjadi semboyan PMI: Setetes darah kita nyawa bagi orang lain! Bicara tentang donor darah, aku punya satu kisah konyol yang sekaligus menjadi saat di mana seluruh persepsiku diubah. Aku pertama kali melakukan donor darah pada tahun 2003. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Kebetulan aku tinggal di sebuah asrama yang ada di Palembang. Suatu malam saat makan di ruang makan, seorang teman memberitahu bahwa ada orang yang sedang membutuhkan darah AB. Dia juga bertanya apakah ada yang bisa mendonorkan darahnya atau tidak. 

Di asramaku, waktu itu hanya ada 2 orang yang mempunyai golongan darah AB. Salah satunya adalah aku. Mendengar pemberitahuan tersebut, aku hanya terdiam. Pasalnya, saat itu aku sangat takut dengan yang namanya jarum suntik. Selama hidupku hingga saat itu, kalau sedang sakit aku tak pernah mau disuntik. Lebih baik aku menahan rasa sakit daripada harus disuntik, demikian prinsipku. Maka ketika temanku memberitahu tentang orang yang membutuhkan darah AB, aku diam-diam pergi dari kamar makan. Harapanku satu: tidak diminta untuk mendonorkan darah. Rupanya harapanku tidak terkabul. Aku tetap diminta untuk mendonorkan darah. 

Sebenarnya aku berusaha menolak, namun ternyata rayuan temanku itu berhasil meluluhkan hatiku. Temanku berhasil meyakinkanku untuk mau mendonorkan darah. Jadilah aku berangkat ke PMI bersama dengan salah satu keluarga dari orang yang membutuhkan darah. Berbagai macam perasaan bergejolak dalam diriku. Rupanya rasa takutku ini diketahui oleh keluarga yang membawaku. “Mas Sigit sakit ya? Kok kelihatan pucat? Atau belum makan ya?” Begitulah orang tersebut menanyakan bermacam hal padaku. 

“Tidak bu, hanya sedikit takut saja. Soalnya belum pernah donor darah,” jawabku. Setelah mengisi formulir dan beberapa administrasi, darahku pun mulai diambil. Saat itulah segala ketakutan dan perasaan khawatir yang menghantuiku lenyap. Ternyata apa yang kutakutkan selama ini tidak terbukti. Inilah salah satu kisah konyol yang kualami. Aku yang sebelumnya takut pada jarum suntik, sejak saat itu berubah menjadi seorang yang berani menghadapi jarum suntik.

 Sejak saat itu pula setiap kali ada orang yang membutuhkan darah AB, aku menawarkan diri untuk mendonorkan darahku. Selagi bisa membantu, mengapa tidak? Inilah prinsipku sejak saat itu. Aku menyadari bahwa berbagi hidup itu tidak akan pernah mengecewakan. Kebahagiaan seseorang terletak pada saat ia bisa membahagiakan orang lain. Saat aku mendonorkan darahku, barangkali darah yang diambil tidak sebegitu penting artinya bagiku. Namun bagi orang lain yang kuberi, darah itu sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya. 

Dan bagiku, saat aku bisa membantu orang lain dengan memberikan darahku, saat itu pula aku merasa hidupku berarti bagi orang lain. Inilah kebahagiaan hidup yang bisa kualami. Maka, terimakasih PMI. Engkau telah menjadi penyalur bagi setiap orang yang mau berbagi kebahagiaan dan hidup. Maju terus PMI!

Shofiya: Aku Terlahir Negatif

Hari itu adalah hari ketiga badanku panas tinggi dan demam. Dokter menyarankan untuk cek darah, mengingat sedang mewabahnya DBD kala itu. Tak membuang waktu, esok harinya bunda membawaku ke rumah sakit untuk cek darah. Hasilnya, aku dinyatakan negatif DBD, hanya gejala typhus. 

Namun, sesuatu terungkap. Rumah sakit—khususnya ruang pemeriksaan darah, ramai. Sesuatu yang aku bahkan bunda baru ketahui, ternyata aku ber-rhesus negatif. Kami hanya berpandangan dalam kebingungan. Suster menjelaskan bahwa rhesus negatif sangat jarang dimiliki oleh orang asia yang mayoritas ber-rhesus positif. Persentasenya hanya sekitar 1% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia. 

Untuk memastikan kebenaran hasil cek darah tersebut, bunda membawaku ke laboratorium klinikyang cukup ternama hari itu juga. Kami tak percaya, keluarga kami yang bukan keluarga keturunan indo, tidak mungkin memiliki darah langka tersebut. Tiga hari berselang, hasil pemeriksaan di laboratorium keluar. Dipaparkan rhesus-ku positif. Hasil tersebut membuat bunda semakin bingung, bagaimana bisa hasilnya berbeda, pasti ada kesalahan. 

Bunda langsung mengecek ulang ke bagian pemeriksaan, dan menyatakan kebingungannya, “Mas, tiga hari lalu kami periksa darah di rumah sakit, dikatakan anak saya ber-rhesus negatif. Tapi mengapa di sini hasilnya positif?” 

 “Oh sebentar ya, bu. Akan kami cek ulang.” Jawab seorang pemuda di bagian pemeriksaan. Tak perlu menunggu lama, setengah jam hasilnya sudah keluar. Dan ternyata benar, darahku ber-rhesus negatif. 

“Tak apa, ini hanya kasus yang langka di Indonesia. Jaga diri baik-baik ya, dik. Karena darahmu langka, maka sebisa mungkin jangan terluka.” Kurang lebih seperti itu pesan pemuda tersebut ketika menyerahkan hasil pemeriksaan ulang. Kurang lebih beberapa pekan setelahnya, keluargaku pergi ke PMI pusat untuk cek dan donor darah. 

Dan ternyata hasilnya mengejutkan. Ayah, kakak laki-laki, dan adik laki-lakiku ber-rhesus positif. Sedang bunda, aku dan kedua adik perempuanku semua ber-rhesus negatif. Ternyata bukan hanya aku, Melainkan seluruh anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan ber-rhesus negatif. Dua tahun kemudian, persis di usiaku yang ke-17, aku pergi ke PMI bersama teman-teman untuk donor darah rutinan kami. Aku cukup tegang karena itu adalah hari pertama aku mendonorkan darah. 

Setelah isi formulir donor dan melewati serangkaian pemeriksaan kelayakan, aku dipersilahkan untuk masuk ruang donor.

 “Tapi rhesus saya negatif, mbak.” Kataku. 

“Sebentar saya periksa dulu.” Jawabnya.

 “Wah benar. Seharusnya kamu tidak boleh donor, karena di saat nanti darahmu dibutuhkan, kamu dalam keadaan siap. Tapi karena ini donor pertama kali, nggak apa, masuk aja.” Lanjutnya kemudian seraya tersenyum. 

Maka jadilah hari itu sebagai hari bersejarah dimana aku mendonorkan darahku untuk yang pertama kalinya. Tahun-tahun berikutnya, beberapa kali aku iseng ikut mendaftar donor darah di sekolah dan kampus, namun selalu tertolak di saat aku mengatakan bahwa aku ber-rhesus negatif.

 “Rhesus negative jangan mendonor rutin, karena di saat kami membutuhkan darah negatif, kamu harus senantiasa siap.” Selalu itu jawaban yang kuterima.

 “Ya.. mau bagaimana lagi.” Pikirku kecewa. Kemudian identitas diriku yang sudah cukup umur untuk mendonor, dicatat. Apabila sekiranya darahku dibutuhkan, PMI akan menghubungi dan datang ke rumah untuk mengambil darahku. Ya, aku negatif, dan aku siap berbagi.

Shelly: JUMBARA 2013

Awalnya aku kurang tertarik dengan kegiatan yang berhubungan dengan pmi. Akan tetapi hal itu berubah semenjak aku mengikuti extrakurikuler pmr dan ikut dalam kegiatan jumbara daerah kesepuluh yang selenggarakan oleh pmi diy. Aku ikut extra pmr semenjak aku duduk di bangku smk kelas sepuluh tetapi aku baru tertarik dengan kegiatan yang di adakan oleh pmi ketika kelas sebelas. 

Saat itu aku diberitahu pelatih pmrku kalau akan ada kegiatan jumbara daerah yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Dan aku pun mencoba mendaftar untuk ikut dalam kegiatan itu. Dan kemudian aku ikut akan tetapi aku harus menjalani pelatihan terlebih dahulu bersama teman-teman dari sekolah lain. Hari demi hari aku lalui dan ketika menjalani pelatihan dan aku mendapat beberapa teman baru dan lebih mengenal beberapa anggota ksr dan tsr selain pelatih pmrku. 

Sebelum aku mengikuti kegiatan jumbara daerah, aku mengalami sedikit masalah yang hampir saja membuatku tidak dapat mengikuti jumbara daerah. Permasalahanku waktu itu adalah ketika guruku memberitahuku kalau akan ada pembakalan praktek industri dan tanggalnya tepat pada saat jumbara daerah berlangsung. Aku pun bingung untuk menentukan pilihan antara ikut jumbara daerah atau tidak. Kemudian aku mencoba bertanya kepada sahabatku agar dia bisa memberikan saran kepadaku. Akan tetapi hal itu tidak membuatku dapat menentukan pilihan. Tiba-tiba ada keajaiban tak terduga yaitu ketika jumbara daerah akan di tunda dan akan dilaksanakan di hari yang lain. Aku pun merasa senang dan akhirnya ikut kegiatan tersebut. Setelah aku tunggu-tunggu hari itu pun tiba dan aku bersama teman-teman dari sekolah lain pun datang ke pmi cabang untuk pergi ketempat kegiatan bersama-sama naik bus. 

Sesampainya di tempat kegiatan berlangsung kami pun turun dari bus dan langsung menyanyikan yell-yell yang telah kami buat bersama saat sedang menjalani pelatihan. Dan kami juga memakai topeng yang terbuat dari gabus agar terlihat lebih keren. Ketika ada kotingen dari kabupaten lain menyanyikan yell-yell lebih semangat kami pun lebih semangat dan ketika tidak ada yang menyanyikan yell-yell kami pun tetap menyanyikan yell-yell agar tetap semangat. 

Dalam kegiatan jumbara tersebut aku pun juga mendapat sahabat baru dan aku juga menyukai seseorang dari sekolah lain. Akan tetapi aku tidak berani mengungkapkan sampai sekarang dan akhirnya pun dia sudah punya seseorang di hatinya. Hatiku pun merasa seperti tersayat sembilu dan rasanya menyesal sekali tetapi hal itu sudah aku lupakan sekarang. Dan ketika malam terakhir aku bersama teman-temanku berjoget reagge dan rasanya malam itu tak akan pernah berakhir.

Sheila m: Chacom Membawa Cerita

Charitas community (Chacom) adalah nama dari PMR SMP ku. Banyak kisah yang aku lalui bersama chacom dan semuanya berawal dari keinginanku untuk memasuki ekstrakulikuler yang aku dambakan sejak aku di Sekolah Dasar. Chacom merupakan ekstrakulikuler yang terfavorit di sekolah ku untuk masuk menjadi anggota nya saja perlu melalui proses seleksi dan untung nya aku bisa lolos. 

Latihan PMR dilaksanakan setiap hari Jum’at dan sabtu, materinya berupa sejarah Palang Merah , Pertolongan Pertama, pembuatan tandu darurat , Pendidikan Remaja Sebaya bahkan di berikan materi leadership. Aku sangat senang sekali menjadi anggota PMR karena, selain di ajarkan untuk menolong aku juga di ajarkan untuk menjadi seorang pemimpin dan Alhamdulillah ketika aku kelas 2 SMP aku terpilih menjadi ketua PMR. Kebersamaan di chacom sangatlah terjalin bahkan semakin erat ketika akan mengikuti suatu perlombaan karena, kami selalu giat berlatih 1-2 bulan sebelum perlombaan berlangsung. 

Selama berlatih kami selalu makan bersama tak lupa beberapa hari menjelang lomba kami selalu melakukan doa bersama juga. Hasilnya kami menjadi juara umum bahkan terus menerus memperoleh juara umum di berbagai perlombaan sehingga kemenangan kami diberitakan di Koran lokal. Selain mengikuti perlombaan Chacom juga berpartisipasi dalam bhakti sosial yang diadakan oleh FORPIS. Tak terasa kini aku telah menginjak bangku SMA dan di SMA aku mengikuti ekstrakulikuler PMR lagi karena aku sangat menyukai eskul di bidang kemanusiaan ini. Alhamdulillah di SMA aku terpilih kembali menjadi ketua PMR.

 Aku merasa beruntung bisa menjadi anggota chacom / PMR karena banyak hal yang aku dapatkan saat ini dan bisa mengaplikasikan nya kembali di SMA. Aku sangat bangga menjadi anggota PMR karena selain mengajarkan di bidang kemanusiaan PMR juga mengajarkan rasa kekeluargaan dan kebersamaan.

Friday, May 2, 2014

Sesilia: Setetes Darah untuk Kehidupan

Saat ini semakin banyak organisasi di lingkup kampus yang mengadakan kegiatan donor darah. Saya pun merasakan hal itu karena saya melihat sendiri hampir setiap bulan diadakan donor darah di berbagai fakultas di kampus saya. Saya harap donor darah ini dapat menjadi gaya hidup dikalangan anak muda yang mau berbagi setetes kehidupan bagi orang lain, walaupun masih banyak orang yang sampai saat ini belum ingin mencoba mendonor karena berbagai alasan. 

Apa yang membuat saya mau mendonorkan darah saya? Jawabannya sederhana karena saya ingin membantu menyelamatkan jiwa manusia (berhubung saya tidak punya kesempatan jadi dokter). Namun prakteknya tak semudah saya berbicara. Jarum suntik yang besar membuat saya belum berani mencobanya. Saat ada kegiatan donor awalnya saya hanya ikut-ikutan datang menemani teman-teman saya. Berkat rayuan dan rasa penasaran kenapa saya belum berani, akhirnya saya mengisi form pendaftaran. Tubuh yang sehat karena sering berolahraga, berat badan 50 kg, ya kriteria ini sesaat dikatakan ideal sebagai syarat pendonor. 

Namun apa yang terjadi saat saya duduk di depan petugas yang hendak memeriksa kadar Hb? Tetesan darah yang diambil dari jari saya tidak tenggelam ke dalam larutan tersebut. Petugas mengambil darah saya lagi dan menghitung dengan jarinya namun tetep saja tidak tenggelam dalam waktu yang singkat. Apa artinya ini? Ya ternyata Hb saya rendah dan petugas tersebut berkata, “Kemungkinan kamu kurang makan sayuran yang mengandung zat besi. Dicoba lagi besok ya”. Haruskah saya senang karena terhindar dari jarum suntik? Tapi ternyata hal tersebut membuat niat saya menjadi tertunda. Kurang lebih sebulan kemudian ada lagi kegiatan donor dan saya mencoba datang lagi. 

Namun tetap hasilnya sama saja seperti yang kemarin saat sudah mencoba 3-5 kali. Ah memang niat baik selalu saja ada halangannya. Setelah ditelusuri, sekeluarga saya memang tidak pernah lolos saat mencoba menjadi pendonor karena memiliki darah rendah. Darah rendah masih bisa dinaikkan, namun kalo sudah darah tinggi sulit untuk diturunkan. Itu sedikit pengalaman palang merah saya. Apa boleh buat setetes darah saya belum bisa disumbangkan untuk menyelamatkan orang-orang diluar sana. Namun sekali lagi jangan takut untuk menjadi pendonor karena jika kamu mendonorkan darah, kamu memberikan kehidupan. Kalo bukan kita siapa lagi.

Selamat Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia 8 Mei 2014.