Saturday, May 3, 2014

Sigit: Indahnya Berbagi Hidup

“Kusumbangkan sebagian kecil darahku, pemberian Tuhan untuk perikemanusiaan” Itulah kalimat indah yang tertera pada Kartu Donor Darah Sukarela yang kupegang. Kalimat tersebut sungguh mengesan bagiku. Dan setiap kali aku mendonorkan darah, kalimat itu seakan-akan menjadi ‘ruh’ yang mendorongku untuk berbagi hidup bagi orang lain. Ya! Meskipun aku hanya memberikan sedikit dari darahku, namun hal ini begitu berarti bagi hidup orang lain yang kuberi. 

Tepatlah apa yang menjadi semboyan PMI: Setetes darah kita nyawa bagi orang lain! Bicara tentang donor darah, aku punya satu kisah konyol yang sekaligus menjadi saat di mana seluruh persepsiku diubah. Aku pertama kali melakukan donor darah pada tahun 2003. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA. Kebetulan aku tinggal di sebuah asrama yang ada di Palembang. Suatu malam saat makan di ruang makan, seorang teman memberitahu bahwa ada orang yang sedang membutuhkan darah AB. Dia juga bertanya apakah ada yang bisa mendonorkan darahnya atau tidak. 

Di asramaku, waktu itu hanya ada 2 orang yang mempunyai golongan darah AB. Salah satunya adalah aku. Mendengar pemberitahuan tersebut, aku hanya terdiam. Pasalnya, saat itu aku sangat takut dengan yang namanya jarum suntik. Selama hidupku hingga saat itu, kalau sedang sakit aku tak pernah mau disuntik. Lebih baik aku menahan rasa sakit daripada harus disuntik, demikian prinsipku. Maka ketika temanku memberitahu tentang orang yang membutuhkan darah AB, aku diam-diam pergi dari kamar makan. Harapanku satu: tidak diminta untuk mendonorkan darah. Rupanya harapanku tidak terkabul. Aku tetap diminta untuk mendonorkan darah. 

Sebenarnya aku berusaha menolak, namun ternyata rayuan temanku itu berhasil meluluhkan hatiku. Temanku berhasil meyakinkanku untuk mau mendonorkan darah. Jadilah aku berangkat ke PMI bersama dengan salah satu keluarga dari orang yang membutuhkan darah. Berbagai macam perasaan bergejolak dalam diriku. Rupanya rasa takutku ini diketahui oleh keluarga yang membawaku. “Mas Sigit sakit ya? Kok kelihatan pucat? Atau belum makan ya?” Begitulah orang tersebut menanyakan bermacam hal padaku. 

“Tidak bu, hanya sedikit takut saja. Soalnya belum pernah donor darah,” jawabku. Setelah mengisi formulir dan beberapa administrasi, darahku pun mulai diambil. Saat itulah segala ketakutan dan perasaan khawatir yang menghantuiku lenyap. Ternyata apa yang kutakutkan selama ini tidak terbukti. Inilah salah satu kisah konyol yang kualami. Aku yang sebelumnya takut pada jarum suntik, sejak saat itu berubah menjadi seorang yang berani menghadapi jarum suntik.

 Sejak saat itu pula setiap kali ada orang yang membutuhkan darah AB, aku menawarkan diri untuk mendonorkan darahku. Selagi bisa membantu, mengapa tidak? Inilah prinsipku sejak saat itu. Aku menyadari bahwa berbagi hidup itu tidak akan pernah mengecewakan. Kebahagiaan seseorang terletak pada saat ia bisa membahagiakan orang lain. Saat aku mendonorkan darahku, barangkali darah yang diambil tidak sebegitu penting artinya bagiku. Namun bagi orang lain yang kuberi, darah itu sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya. 

Dan bagiku, saat aku bisa membantu orang lain dengan memberikan darahku, saat itu pula aku merasa hidupku berarti bagi orang lain. Inilah kebahagiaan hidup yang bisa kualami. Maka, terimakasih PMI. Engkau telah menjadi penyalur bagi setiap orang yang mau berbagi kebahagiaan dan hidup. Maju terus PMI!

No comments:

Post a Comment