Thursday, May 1, 2014

Bayu.S: Ode untuk Karman

Sore itu hujan turun deras. Karman tak lagi mengayuh becak. Pria kurus paruh baya itu berteduh di selasar ruang tunggu Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit tempat saya bekerja. Di kursi yang berderet memanjang itu, tampak Karman bercakap-cakap dengan Bagas–panggil saja namanya begitu, seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun, yang gelisah karena keadaan istrinya. Rani–anggap saja namanya demikian, istri Bagas, tergolek lemah di ruang UGD. 

Dua jam sebelumnya, Bagas dan Rani datang ke UGD ketika saya sedang bekerja. Keduanya diantar oleh mobil ambulans puskesmas keliling. Rani terbaring di bed ambulans. Wajahnya meringis kesakitan dan memucat. Sementara Bagas, suaminya duduk di sampingnya. Sambil memegang tangan istrinya, Bagas mengabaikan luka babras yang mendedah tangan dan kakinya. Pasangan muda itu usai mengalami kecelakaan lalu lintas. Motor yang dikendarai Bagas diserempet mobil dengan bak terbuka. Bagas jatuh terguling. Rani terpental dari motor, kakinya menghantam trotoar. Setelah melakukan pemeriksaan fisik, saya mendapati ada lebam di paha kiri Rani. Ada nyeri tekan dan sedikit perubahan bentuk. Tanda-tanda vitalnya sedikit menurun. 

Setelah dilakukan pemeriksaan x-ray, Rani mengalami patah tulang tertutup di paha kirinya. Menurut teori, satu patahan pada kasus ini, setara dengan kehilangan 500 ml darah. Tak ada pilihan lain, Rani harus dioperasi dan disiapkan transfusi darah. 

Saya menghubungi Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (UTD-PMI). Malangnya, stok darah golongan AB sebagaimana milik Rani, hanya tersedia satu kantung. Padahal Rani butuh dua kantung darah. Kita dianjurkan mencari pendonor. Bagas mulai gelisah. Ia menghubungi kerabat dan teman terdekatnya. Berharap dari mereka ada yang mempunyai golongan yang sama dengan istrinya. Namun hasilnya nihil. Bagas hampir putus asa. Ia mencoba mencari pendonor di sekitar rumah sakit. Menawari setiap orang yang dijumpainya. Sampai kegelisahan Bagas sedikit mereda ketika seorang tukang becak yang kebetulan sedang berteduh di teras pertokoan di depan rumah sakit, bersedia menjadi pendonor. Karman, tukang becak itu lalu diantar untuk diperiksa golongan darahnya. Hasilnya sesuai, golongan darah Karman adalah AB dengan rhesus yang sama pula. 

Usai mendonorkan darah, Karman diajak Bagas menuju kantin rumah sakit. Sambil menikmati kudapan, Bagas membuka obrolan tentang imbalan uang untuk Karman atas kesediaannya menjadi pendonor bagi istrinya. Tapi di luar dugaan, Karman menolak. Ia tidak mau meminta imbalan uang. Karman malah berseloroh, “Saya mikir, kalau saya yang kecelakaan terus kaki saya yang patah, ya saya apa bisa mbecak lagi?”. 

Ketika tahu bahwa Bagas gigih mencari pendonor untuk keselamatan istrinya, Karman tersentuh. Tanpa pikir panjang, ia bersedia diperiksa golongan darahnya lalu menjadi pendonor untuk istri Bagas. Yang membuat Bagas semakin terharu adalah cerita Karman soal rumah tangganya yang justru kandas. Istri Karman dulu pergi tanpa pamit 

Bagas tetap “memaksa” Karman menerima amplop berisi uang darinya. “Terima saja, Pak. Buat uang simpanan. Siapa tahu dipakai,” kata Bagas. Tapi Karman tetap menolak. Saya mendengarkan cerita Bagas di ruang tunggu kamar operasi dengan seksama. Di sudut mata lelaki berkacamata itu, tersembul buliran air serupa kristal. Seperti tertahan, nyaris jatuh. 

Di luar, hujan turun semakin deras. Langit seakan bermunajat untuk kebaikan Karman.

No comments:

Post a Comment