Saturday, May 3, 2014

Unik Hanifah: Atas Nama Cinta

“Bagian mana dari Jogja yang kamu rindukan?” Tanya seorang kawan, beberapa waktu lalu. 

“Tiap bagian dari Jogja, yang kusinggahi bersama langkah kemanusiaan PMI”, sahutku cepat.

 Gerimis luruh perlahan, bersama awan yang menggelung kelabu. Senja yang syahdu berlatarkan sebuah gedung tua sederhana dikanan jalan milik PMI yang tampak ramai oleh para pejuang kemanusiaan. Cinta selalu mempunyai bahasanya sendiri, yang terkadang hanya bisa dikenali oleh hati. 

Jika kehadiran seorang ibu bagi buah hatinya bisa diibaratkan sebagai cinta pada pandangan pertama, maka buatku PMI adalah cinta sejati yang tak pernah terlupa. Gempa bumi Yogyakarta Mei tahun 2006 silam telah memperkenalkanku pada kegagahan PMI. Kala itu, aku masih gadis belia lugu dengan seragam putih abu-abu yang ketakutan dan menjerit pilu demi menyaksikan dinding rumahku runtuh bagai debu. Suara gemuruh yang mencekam, teriakan histeris, tanah yang berguncang, pepohonan yang bergoyang hebat, dan langit yang mendadak kelam menimbulkan trauma yang mendalam. Isu tsunami merebak di seluruh penjuru kota, dan menelisik tiap sudut rumah penduduk hingga meletupkan kepanikan yang luar biasa. 

Aku sempat terpisah dengan keluargaku di tengah hiruk pikuk orang yang berlarian menuju ke arah utara kota Jogja. Di tengah kekacauan yang terjadi, melintaslah mobil berlambang red cross. Hiruk pikuk sejenak terhenti, beberapa warga yang sebelumnya berlarian panik seolah mendapatkan ketenangannya kembali. Tak lama, tampak beberapa pemuda-pemudi beratribut PMI keluar dari mobil dan menenangkan kami dengan memberikan keterangan yang masuk akal terkait dengan info tsunami dan gempa susulan yang telah membuat warga berlarian pasca gempa berkekuatan 5,9 SR yang baru saja terjadi. 

Ah, di mataku mereka tampak keren sekali pagi itu. Serupa malaikat yang hadir diantara keputusasaan yang begitu pekat. Para relawan PMI juga membagi-bagikan amunisi agar kami mengisi perut. Keadaan seketika menjadi tenang kembali. Sejumlah warga tampak berusaha mengembalikan kesadaran pada apa yang baru saja terjadi. Sementara para relawan PMI masih saja sibuk mengevakuasi rumah-rumah penduduk tanpa rasa takut sedikitpun terpancar dari wajah mereka. Beberapa manula yang ketakutan, anak-anak kecil yang terpisah dari orang tuannya, serta warga yang sempat tertindih bangunan menjadi terselamatkan. 

Rupanya gempa bumi yang hanya terjadi sepersekian detik tadi telah menimbulkan begitu banyak kerusakan parah. Di antaranya puluhan rumah penduduk, beberapa mall, kampus-kampus, dan bahkan candi-candi di seputaran kota Jogja. Bencana alam kali ini benar-benar menorehkan luka menganga pada Kota Jogja. Namun, kehadiran para relawan PMI serupa penawar luka yang tak terlupakan bagi kami. Membawa kepedulian yang begitu menyentuh hati kecil kami. PMI memberikan respon begitu cepat melalui cabang-cabangnya di tingkat kota/kabupaten terdekat. 

Mereka melakukan tindakan-tindakan pertolongan darurat; salah satunya dengan mendirikan Rumah Sakit Lapangan di Lapangan Dwi Windu di Bantul yang merupakan daerah pusat gempa. Semua kepedulian itu begitu berharga bagi kami. Maka, senja ini aku masih berdiri di sini. Di depan sebuah gedung tua sederhana yang senantiasa mengumandangkan kepedulian terhadap sesama. 

Dengan berseragam red cross kulangkahkan kakiku dengan mantab. Ini adalah tahun ke delapan semenjak peristiwa gempa bumi Jogja kuabadikan rasa kemanusiaanku sebagai relawan PMI. Atas nama cinta, aku menjadi bagian dari PMI untuk menorehkan jejak-jejak kemanusiaan dan mengembalikan kesadaran sebagai manusia seutuhnya.

No comments:

Post a Comment