Thursday, May 1, 2014

Dian: Kamu kan perempuan

“Kamu kan perempuan, kamu bisa apa?, Cuma bikin repot aja di lokasi bencana.” 

Begitulah kira-kira tanggapan teman-teman saya ketika mereka tau saya bergabung dalam PMI, PMI itu bukan sesuatu yang melarang wanita di dalamnya, jangan takut untuk mendapat tugas yang seperti apa nantinya, bukankah PMI tidak hanya berfokus pada menangani orang-orang yang terluka saja?, bagaimana dengan administrasinya?, bagaimana dengan dapur umumnya?, bagaimana dengan penanganan korban psikisnya?, bukankah pekerjaan yang seperti itu juga membutuhkan tenaga wanita?. 

Tidak hanya sampai disitu, berbagai desas-desus dan bunyi-bunyi tak sedap mulai muncul pula kepermukaan, ada yang bilang saya ikut PMI Cuma sebagai ajang bergaya, ajang pamer, keren-kerenan dan sebagainya, ada juga yang menyeletuk “di kampus aja lo nggak ikut organisasi apa-apa, emang lu bisa berorganisasi di PMI yang notabennya adalah organisasi dunia?”, saat itu saya mulai goyah, saya mulai berfikir “mungkin benar apa yang disampaikan teman-teman, nyali saya mulai menciut, saya tidak punya pengalaman berorganisasi apa-apa sebelumnya”, namun ketika saya mulai bimbang, saya kembali ingat kata Ibu yang akhirnya waktu itu mendorong saya untuk bergabung menjadi relawan PMI 

“Nak, hidup itu terlalu singkat untuk kita saling mencintai, terlalu cepat untuk kita berbagi, jangan , menolong dan menyayangi adalah pilihan mutlak, berbuat baiklah sebelum kamu mati, meski kamu harus berkorban sekalipun”. Mungkin inilah yang di maksud Ibu dengan “berkorban”, ketika kita mencoba berbuat baik, akan ada satu sisi kita yang teluka atau bahkan terbuang, seperti hati saya yang sejujurnya terluka ketika mendengar tanggapan dari teman-teman terdekat, namun percayalah bahwa sisi yang terbuang itu sesungguhnya akan mengukir senyum, melahirkan rasa kepuasan batin, ketika tidak semua orang bersedia menjadi relawan, ketika tidak semua orang bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar menyodorkan pundaknya mempersilahkan orang lain yang tidak kita kenal menangis di bahu kita, tidakkah kita bahagia menjadi manusia yang sanggup melakukan yang orang lain tidak sanggup?. 

Pemikiran yang seperti itulah yang menahan saya untuk tetap berdiri bersama PMI hingga kini, saya bisa saja berhenti mengikuti kegiatan PMI mengingat hamper tidak ada teman yang mendukung, namun rasa terpanggil ini entah darimana datangnya, yang jelas saya bahagia ketika saya menghabiskan sisa hidup dengan berhasil membangkitkan senyum orang-orang disekitar saya meski harus terluka sekalipun, saya yang mulanya takut dengan darah, takut dengan ambulance dan seperangkat peralatan medis, mendadak seperti mendapatkan kekuatan, bukankah Tuhan beserta orang-orang yang berani?, terlepas dari gander, latar belakang atau apa pun itu yang hingga saat ini masih membelenggu kamu, membuat ragu hatimu untuk mulai menolong, berdirilah, angkatlah wajahmu ke langit, berkatalah pada Tuhanmu “Jadikan aku manusia yang bermanfaat”, maka niscaya semua keraguan itu akan lenyap. Tak ada alas an apa pun untuk kita menolak berbuat kepada dunia, maka berbuatlah sebelum kamu mati.

No comments:

Post a Comment