Saturday, May 3, 2014

Umar: Semua Boleh Donor

Siang hari yang cukup terik itu, aku dan Rico duduk di kursi luar kelas. Seperti biasa kebiasaan kami jika jam istirahat maka yang kami lakukan adalah bersenda gurau sambil “cuci mata”. Yah, patut dimaklumi kelas 2 SMA memang dapat dianggap sebagai puncak kenakalan bagi beberapa remaja. 

Di kelas 3 SMA nanti memang kami berdua berniat “taubat” mengakhiri segala kenakalan kami. Aku dan Rico sudah bersahabat sejak SMP. Kami berdua begitu cocok dalam segala hal, sampai orang tua kami berdua pun kenal baik. Siang itu kami sedang berbicara tentang kebermanfaatan untuk orang lain. Efek dari pelajaran Agama yang barusan kami dapat dari pak Muchlis, guru yang membuat kami iri karena beliau adalah idola para gadis di sekolah kami. 

Memang beliau muda, tampan, bijak, dan setiap beliau mengajar selau melontarkan kata-kata yang mendamaikan jiwa. Sebuah kalimat dari pak Muchlis yang sangat kami ingat adalah “sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk sesama”, mengutip dari sabda Rasullullah SAW.”Bro, hal apa ya yang sudah kita lakukan untuk kebermanfaatan sesama manusia?”, aku bertanya kepada Rico. “Iya ya, 18 tahun aku hidup rasanya aku belum melakukan sesuatu yang bermanfaat”, jawab Rico. 

Tak lama kemudian derap langkah sekelompok orang terdengar mendekat dari kejauhan. Rombongan tersebut kemudian lewat di dekat kelas. Kami melihat beberapa orang berpakaian putih berlogo Palang Merah Indonesia (PMI) membawa kotak yang kami kira berisi susu segar untuk dibagikan secara gratis, hahaha. Aku dan Rico saling memandang. Tunggu dulu, bukan berarti kami jatuh cinta. Kami saling mengangguk. Bergegaslah kami menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang selama ini sering digunakan tempat “modus” bagi sebagian siswa untuk menghindari suatu mata pelajaran yang tak disukai atau saat malas upacara bendera. 

Kami langsung memutuskan untuk ikut berdonor darah. Menurut kami inilah saatnya untuk bisa bermanfaat untuk sesama manusia seperti yang pak Muchlis katakan. Di banner yang tepasang di dekat pintu UKS tertulis “setetes darah anda nyawa bagi sesama” semakin menambah keyakinan kami untuk ikut berdonor darah. Petugas donor darah melakukan cek awal untuk menyeleksi apakah calon pendonor layak atau tidak untuk berdonor seperti pengecekan tekanan darah, golongan darah, berat badan, atau riwayat penyakit. Beruntung, kami dinyatakan lolos cek kesehatan awal yang berarti kami siap untuk berdonor darah. Jarum suntik atau mungkin lebih tepatnya jarum hisap darah yang lumayan besar itu menembus kulit dan langsung menancap ke pembuluh darah. Rico yang sedikit phobia dengan jarum suntik nampak gelisah. 

Dengan santainya aku meledek Rico. “Ric, kamu itu playboy, punya banyak pacar tapi kali ini malu aku punya teman seperti kamu yang sama jarum suntik saja takut”. Sekitar 10 menit, proses pengambilan darah selesai kemudian darah yang telah diambil ditempatkan dalam suatu kantung darah yang diletakkan pada kotak penyimpana yang kami kira tadi berisi susu segar sebelum diangkut ke mobil PMI untuk dibawa ke kantor PMI pusat di kota kami. Pagi itu belum banyak siswa di sekolah kami yang mendonor darah. Kami cukup bangga karena kami yang terkenal sangat nakal di sekolah ini bisa juga berinisiatif untuk berbuat baik untuk sesama.

No comments:

Post a Comment