Friday, May 2, 2014

Purwanti : Sedikit Sakit yang Di Rasa, Namun Begitu Berarti Bagi Sesama

Siapa sangka donor darah seperti candu bagiku. Padahal lenganku sempat memar beberapa hari saat donor pertama kali. Kata salah seorang petugas kemungkinan pembuluh darahku pecah atau jarumnya mengenai daging. Jarum donor darah itu adalah momok yang menakutkan. Walaupun ukurannya lebih besar dan tajam dari jarum sulam milikku, ia senantiasa kurindukan. Tepat tanggal 15 April 2014 yang lalu, aku kembali mendonorkan darah. 

Kebetulan di kampusku diadakan acara donor darah. Senang bukan kepalang, ini merupakan donor darah keempat yang kulakukan. Bercampur rasa takut, dengan bangga kukeluarkan kartu keanggotaanku yang baru 2 bulan lalu sah menjadi milikku. Kalau sebelumnya aku mendonorkan darah langsung ke PMI untuk kerabat temanku yang sakit. Maka ini kedua kalinya pelan-pelan kucoba membunuh rasa takutku di kampus. 

Kejadian saat itu tak akan terlupa. Jika menutup kedua mata dengan telapak tangan dan mengalihkan pandangan itu hal yang biasa. Maka melihat jarum yang tertancap dengan posisi miring tanpa plester di lengan kiriku, itu adalah hal yang luar biasa. Ditambah lagi petugas memegangi lenganku selama beberapa menit dan sempat pula diganjal kapas. Mungkin ia khawatir jarumnya bergeser dan aku merasakan nyeri. Tak perlu kututurkan kalau ketakutan itu muncul. 

Dari awal aku tak melihat prosesi tusuk jarum pun sepertinya petugas tahu bahwa aku phobia jarum. Bahkan selama proses pengambilan darah, aku enggan melirik kantong darah dan jarum yang menancap. Memalukan memang. Tapi ternyata, rasa takut itu tak mengenal usia. Entah berapa lama aku berada dalam mobil yang berisikan 4 pendonor dan 3 petugas itu. Rasa was-was kembali muncul ketika 3 orang pendonor yang mengantri setelahku bisa lebih dulu keluar dari mobil PMI. 

Rasa penasaran menuntun mataku untuk sejenak melirik kantong darah yang hampir saja penuh. Melihat kepanikanku, petugas segera memberitahu bahwa darahku tidak mengalir dengan lancar. Sebenarnya dari awal sang petugas sempat menawarkan kepadaku untuk menusukkan kembali jarumnya karena pembuluh darahku yang kecil. Aku memang tak biasa mendonorkan darahku. Tapi aku tak menggubris karena asyik mengalihkan pandangan keluar mobil. Beberapa saat kemudian, petugas mulai mencabut jarum dari lenganku. Seperti biasa, aku tak meliriknya sedikitpun. Bekas tusukan pun ditempel kapas yang telah ditetesi alkohol. Kepanikan saya muncul kembali. 

Bagaimana tidak? Si merah masih saja mengalir. Petugas mencoba tersenyum seolah meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Kemudian ia mengganti dengan kapas yang baru, ketika kulihat kembali, darahnya keluar lagi. Spontan kata “aduh” keluar dari mulutku. Padahal nyeri yang dirasa pun tak seberapa. Tapi heboh luar biasa. Sang petugas masih tetap tersenyum dan mencoba menghentikan darah yang keluar. Beruntung tak ada yang memperhatikanku. Dengan sabar dan ramah, petugas kembali mencoba menekan-nekan bekas tusukkan untuk menghentikan darah yang masih saja keluar. 

Alhamdulillah, akhirnya plester pun sudah menempel di lenganku. Ada kepuasan yang kurasa. Ternyata mencipta bahagia itu sederhana. Salah satunya berbagi kepada sesama. Ayo semangat berbagi dan semangat donor darah! Kalo masih takut jarum, pejamkan mata saja. Apalah arti sedikit sakit yang kita rasa, jika mengajarkan kita pandai merasa. It’s so simple. Stop giving excuse, start giving life! Go Dorah! Go Donor Darah!

No comments:

Post a Comment