Thursday, May 1, 2014

Evi: Our Blood, Our Happiness

Kebahagiaan adalah ketika kita dapat memberi ”sesuatu yang kecil” menjadi “keselamatan yang besar”. 

Jarum suntik, kantong darah dan selang adalah gambaran yang sangat jelas dihadapanku ketika pertama kali melakukan donor darah. Suasana hatiku pun sedikit menegang dan gugup dengan tatapan mata memancarkan rasa takut. 

Berbekal rasa takut, penasaran dan niat yang tulus, saya melangkahkan kaki ke ruang Aula FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), tempat berlangsungnya acara donor darah yang diadakan KSR UNJ dan langsung melakukan registrasi berupa pengisian formulir. Rabu,10 Juni 2013, hari yang bersejarah dalam hidupku. Kenapa? Karena saat itulah saya berani mempertaruhkan rasa takut/phobia untuk mendonorkan darah saya. Agar tidak mengganggu jadwal kuliah, saya mencuri waktu disela-sela jam kosong kuliah. Padahal waktu kosong merupakan jeda yang cukup panjang untuk diisi dengan belajar guna memantabkan UTS. Tapi saya berkeyakinan jika saya mempunyai niat yang baik pasti akan menghasilkan hasil yang baik pula tanpa merugikan hal lainnya. Tak luput saya pun mempengaruhi teman turut berpartisipasi mendonorkan darahnya dengan memberi penjelasan bahwa donor darah sangat bermanfaat, yaitu untuk mengetahui golongan darah, membantu sirkulasi darah, dapat menolong 2-3 nyawa yang membutuhkan darah. Saya pun berhasil memberi pengaruh dan mereka pun ikut berkecimpung. Senang rasanya dapat memberi pengaruh positif bagi mereka. 

Sebelum proses pengambilan darah, harus melewati beberapa rangkaian tahap yang harus memenuhi syarat yakni pengecekan berat badan, hemoglobin dan tensi darah. Pada proses pengecekan Hb, saya mengalami ketakutan yang luar biasa, bahkan petugas beberapa kali mengulang untuk menyuntikkan jarum yang terus saya elak. Ia pun bertanya,”mba sudah siap belum? Kok dari tadi ditarik terus tangannya?”. Jawab saya dengan tersenyum ketir, “maaf bu, saya takut dengan jarum?”. “Loh, kok mba masih mau mendonor? Baru jarum kecil saja kok mba, bagaimana jika jarum suntik yang besar nanti?”, saya pun menimpali, “Tapi saya benar-benar ingin mendonor bu, walaupun saya takut dengan jarum. Silahkan bu dicoba lagi, mungkin saya sudah siap”. Ibu petugas PMI melanjutkan untuk ke empat kalinya yang membuahkan hasil positif. 

Setelah semua seleksi mendapat hasil yang positif. Sambil menunggu, saya memperhatikan mahasiswa yang sedang diambil darahnya didepan saya, betapa ngeri melihatnya. Bagaimana mungkin saya yang hanya melihat saja sudah takut, apalagi langsung berhadapan? Namun saya optimis,saya pasti bisa dan berani. Kalau tidak memberanikan diri sekarang,kapan lagi? Kesempatan tidak akan selalu datang. 

Akhirnya tibalah bagian saya, saya memejamkan mata ketika jarum suntik masuk ke lengan, memang rasanya sakit, tapi tidak sesakit apa yang saya bayangkan selama ini, hanya seperi digigit semut saja. Rasa sakit hanya terasa waktu penyuntikan dan pencabutan suntikan. Selebihnya selama proses pengambilan darah sudah terasa rileks. Ternyata darah saya menurut petugas terlalu kental dan sangat pekat sehingga memakan waktu yang cukup lama dibanding yang lain. Semoga saja darah saya masih tetap berguna. Setelah selesai saya pun mendapat kartu donor. Wah rasanya bangsa dan puas terhadap diri sendiri. Saya pun bertekad untuk menambah jumlah donor saya semaksimal mungkin. Sampai sekarang setiap ada event donor darah, saya sangat ambisius mengikutinya walaupun perasaan takut belum hilang juga hingga sekarang, tapi niat saya tak akan pernah terputus.

No comments:

Post a Comment