Thursday, May 1, 2014

Galuh: Penantianku Pada PMI

Mendengar kalimat PMI (Palang Merah Indonesia) membuatku mengingat 4 tahun silam, bernostalgia dengan seragam putih abu- abu. Sekolah menengah atas adalah masa dimana aku masih bisa merasakan ketelatenan guru di sekolah dalam mengajar muridnya. Tanggal 3 September merupakan hari untuk merayakan Palang Merah Indonesia. Sekolahku setiap hari jadi PMI selalu mengadakan kegiatan aksi donor darah. 

Semester pertama aku duduk di bangku SMA kelas X. Mendengar kata donor darah seakan membuat pikiran bergelut dengan rasa sakit yang aku bayangkan. Rasa ketika darah didalam tubuh diambil sebanyak 250cc. Namun rasa takut itu terhapuskan ketika teman- teman satu kelas memberi semangat dan guruku menggambarkan euforia para pendonor darah. Senang rasanya ingin membantu pasien yang membutuhkan darah. Dengan modal keberanian aku memberanikan diri untuk mendonorkan darah. T

anpa ragu aku dan teman sebayaku mendatangi pos PMI, terlihat antrean para calon pendonor. Satu- persatu aku amati langkah- langkah sebelum calon pendonor dinyatakan layak untuk mendonorkan darahnya. Pertama calon pendonor diperiksa tensi darahnya setelah itu kesehatan mereka juga akan di cek, jika calon pendonor dianggap memenuhi syarat untuk mendonorkan darahnya langkah terakhir adalah memeriksa jenis golongan darah pendonor. Hal yang begitu membuatku tertarik adalah ketika melihat sang pendonor mendapat sekotak kue dan susu, “ah itu pasti asyik, ayo kita donor sekarang!” ujarku pada teman- teman. Aku dan temanku langsung mengambil posisi antrean calon pendonor. Sekian lama menunggu akhirnya giliranku tiba, dengan wajah gembira aku duduk di depan petugasPMI tersebut. Ketika itu aku melihat ada sesuatu yang aneh diraut wajah petugas yang hendak mengecek tensi darahku, perawat tersebut bertanya “Memangnya adek ini umur berapa kok udah ikut donor?” tanya petugas donor padaku sambil melilitkan alat tensimeter ke lengan kiriku. “Saya unmur 16 tahun bu” jawabku. 

“Wah adek belum membaca buku panduan ya? Adek minimal harus berumur 17 tahun jika ingin mendonorkan darah” Sontak hal itu membuatku kaget, kecewa, sedih seakan rasa semangatku hilang seketika dan merubah mimik wajahku menjadi lemas dan pandangan mataku tak terarah. Namun hati ini sedikit lega ketiga petugas tersebut mengatakan padaku jika aku bisa ikut acara donor darah di tahun depan. Setahun sudah berlalu, aku mendatangi pos PMI. Namun apa yang terjadi? Aku tidak bisa mendonor ditahun kedua di SMA karena bobot badanku hanya 42 kg, dan pendonor seharusnya mempunyai bobot minimal 45 kg. Separti biasa aku masih semangat mengikuti donor di tahun berikutnya dengan menambah berat badanku. Seiring berjalannya waktu tahun ketiga ku di SMA telah tiba, aku merasa sudah memenuhi kriteria pendonor. 

Namun sehari sebelum acara donor diselenggarakan aku mendapati siklus datang bulanku, alhasil aku gagal lagi untuk menjadi pendonor. Ketika aku dikelas ada hal yang membuatku tetap mengikuti acara donor darah PMI, temanku mengatakan jika aku bisa menyumbang dana untuk para pasien yang membutuhkan darah tanpa menjadi pendonor. Lebih tepatnya aku menjadi pendonor dana untuk PMI. Walaupun aku hingga saat ini belum pernah sama sekali mendonorkan darah, tapi aku tetap mempunyai keinginan untuk menyumbangkan darahku kepada PMI.

No comments:

Post a Comment