Thursday, May 1, 2014

Helmi: Sedetik Abdimu Nyawa Bagiku

Gemericik air menandai langit malamku. Mengalun lembut diantara nada-nada syukurku. Setengah memaksa, sebuah ungkapan hendak tertumpah dalam secarik kertas di hadapanku. Aku termenung, belum satu huruf pun tergores dari penaku sampai tengah malam ini, sedangkan beberapa menit telah berlalu melintas cepat menarik kembali mozaik jasanya padaku. 

Yah padaku yang hampir lupa tentangnya. Tentang PMI dan aku. Aku bukan seorang anggota PMR, bukan pembina, relawan, atau petugas dari dinas kesehatan. Bahkan sampai usiaku yang telah menginjak kepala dua ini, aku belum pernah merasakan seperti apa gelinya donor darah. Kata teman-temanku donor itu asik, tapi aku sendiri belum tahu pasti. Percaya atau tidak? Uji nyali terbesarku dengan jarum suntik hanya terjadi saat periksa darah. Itu pun dulu saat masih duduk di bangku SMP. Seperti apa sakitnya aku sendiri sudah lupa. 

Namun, di balik itu PMI (Palang Merah Indonesia) bagiku bukanlah tetangga atau kawan semata, ia layaknya anggota keluarga yang telah menjadi bagian, saksi, dan satu-satunya institusi yang mengerti setiap episode dalam perjalanan hidupku. Aku memulainya dari sebuah gedung tua berasitektur belanda. Berdiri kokoh di tengah hiruk-pikuk kota yang mendapat julukan seribu angkot. Gedung itu tak lekang oleh waktu, sejak dulu tetap bertahan menjalankan fungsi yang satu. Meski seusia dengan masa penjajahan, tapi ia tak hanya melayani para bangsawan melainkan semata-mata sisi kemanusiaanlah yang menjadi prioritas pilihan. “Rumah Sakit PMI”, itulah nama yang ku kenal dari ayahku tentang gedung itu. Kata ayah, aku terlahir di salah satu ruangan yang ada disana. Ibuku dalam kondisi yang kurang baik saat hendak melahirkanku. 

Tentu bukan perkara mudah bagi ayahku dulu memastikan kelahiranku berjalan normal. Apalagi setelah di ketahui katanya aku bayi prematur. Tentu saja ini membuat ayahku semakin khawatir. Namun, para petugas PMI dengan sigap menjalankan perannya termasuk menenangkan ayahku sampai akhirnya aku tumbuh besar dan mampu berdiri di samping ayahku. Tak berhenti disana. Ibuku tak lantas dapat menyaksikan tumbuh kembangku. Kata Ayah juga, tak lama setelah kelahiranku Ibu di panggil oleh Yang Kuasa. Dan sekali lagi PMI menjadi saksi di detik-detik terakhirnya. Saat itu suasana cukup genting. Aku yang belum dewasa dan ayah mendapat ujian keduanya. 

Di saat itu PMI hadir memberi pendampingan bagi keluargaku termasuk ayah. Lama berselang aku melanjutkan kuliah ke luar kota. Saat pertengahan ujian semester 3, tiba-tiba aku mendapat kabar buruk. Pamanku dilarikan ke rumah sakit PMI. Saat itu juga aku pulang. Tiba di rumah sakit, hampir aku lupa dimana pintu masuknya. Sekilas dari depan masih sama seperti yang dulu tapi begitu menuju pintu utama, aroma wangi rapi dan bersih layaknya ruang utama BANK menyambutku. 

“Sepertinya PMI semakin cantik”, pikirku. Tak banyak bingung aku segera bertanya pada petugas disana. Ia mengantarkanku ke ruangan yang ku tuju dan rasa cemasku hilang saat mengetahui pamanku dalam kondisi yang sudah membaik. Alhamdulillah. Kembali teringat penggalan episode itu lantas tanganku bergerak. Dengan penuh yakin dan rasa tulus. Sebuah kalimat teruntai “Sedetik abdimu, Nyawa bagiku”, Terima kasih PMI.

No comments:

Post a Comment