Thursday, May 1, 2014

Firda: Takkan Menjadi Korban Terakhir

Kupandangi tubuh mungilku didepan kaca lebar, terbalut baju baru : biru putih. Benar, kini aku telah menginjakkan kaki disekolah baruku, SMP. Kulangkahkan kakiku dengan pasti kesana. Entah mengapa, aku begitu yakin, di SMP aku akan menemukan dunia baru yang lebih menarik daripada masaku sebelumnya. Semoga saja, pikirku. 

Namaku tertera disana. Elsa Saputri. Benar, tak ada lagi siswa yang bernama Elsa Saputri selain aku. Namaku jelas-jelas tercantum sebagai anggota PMR baru. Ini benar-benar kesalahan teknis. Padahal aku hanya memilih Pramuka. Apa-apaan ini? Ini sungguh tidak terhormat.memasukkan nama tanpa izin. Namun diakhir lembar pengumuman itu bahwa anggota baru wajib datang atau raporku bernilai jelek hanya karena satu ektrakurikuler. Menyebalkan sekali. Jelas-jelas aku tak berminat sama sekali pada PMR. Hah, PMR? Apa seru? Pasti ujung-ujungnya juga jadi penjaga pas upacara! Argh, aku harus protes pada siapa? 

Aku masih duduk terpaku. Pikiranku melayang tak keruan. Tiba-tiba seorang pria setengah baya membuyarkan lamunanku “Hayo kamu, tahun berapa PMI didirikan?” . Itu Pembina PMR sekolahku. Aku hanya terperangah kaget. “Wah, pasti kamu tidak mendengarkan penjelasan bapak. Ayo, coba fokus mendengarkan!” lanjutnya. Aku hanya manggut-manggut. Ini benar-benar bukan minatku. Namun aku tak diperbolehkan keluar dari sini. Aneh sekali. Menyebalkan! 

Kuperhatikan pembina PMR tadi menjelaskan dengan sungguh-sungguh tentang sejarah Palang Merah dunia. Sejarah, aku sangat menyukainya. Jadi aku sangat menikmati pelajaran ini. Apalagi yang dibahas adalah negara bagian Eropa, Swiss. Keren sekali, pikirku. Tentang sebuah pejuangan seorang Jean Henry Dunant dalam memperjuangkan keadilan bagi seluruh manusia tak pandang bulu. 

Telah setahun penuh aku bergelut di PMR ini. Banyak sekali pengetahuan yang kudapat. Ternyata, ini tak seburuk yang kupikirkan. Aku dapat mengerti cara menolong orang fraktur, pedarahan dll.Ini bukan sekedar ekstrakurikuler. Namun disini, dapat dibentuk pula cara pikir agar menjadi relawan dalam kebaikan. 

Kulihat segerombolan orang kocar-kacir di jalan raya. Mereka kebingungan. Tampak beberapa dari mereka wajahnya pucat pasi. Aku benar-benar penasaran apa yang sedang terjadi. Aku sangat ingin bertanya saat itu, namun kusadar sekarang aku sedang duduk dipojok angkutan umum. Segerombolan orang yang kocar-kacir itu sekarang mulai menghambat arus transportasi. Angkutan yang kutumpangi berhenti total. Tampak sopir mulai geram. Klakson yang bersahutan terdengar sangat bising saat itu. 

Seorang lelaki berumur 40 tahunan mengintipkan kepalanya masuk ke angkutanku. Wajahnya terlihat sangat ketakutan. “Tolong, siapapun anda yang bisa memberikan pertolongan pertama pada orang kecelakaan segera menolong. Terjadi kecelakaan bus di depan. Sudah satu jam ambulans tak segera datang. Polisi pun tak bergegas kesini. Sudah belasan korban tak tertolong nyawanya karena kehabisan darah. Sekarang hanya tinggal 1 orang yang bertahan” lelaki itu bergegas pergi setelah mengatakan itu semua pada kami. Seisi angkot terlihat bingung. 

Aku benar-benar bingung. Haruskah aku menolongnya? Tetapi ini taruhannya nyawa, bukan sekedar praktek biasa. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa menyerahkan nyawa seseorang pada siswa sepertiku sekalipun memiliki status sebagai komandan Pertolongan Pertama di PMR? Tapi, bukankah ini memang tugasku? Ya, ini tujuan Henry Dunant yang sebenarnya. Menolong sesama. Aku melompat turun ke jalanan aspal. Takkan kubiarkan orang terakhir ini menjadi korban yang terakhir!

1 comment:

  1. duuuwh,
    :-( mengerikan juga ya,
    tragis :-(
    salam kenal

    Gamis Baru

    ReplyDelete