Friday, May 2, 2014

Rahmatullah: Aku Tidak Butuh Penghargaan

Bunyi dari sirine mobil ambulans itu terdengar semakin kencang saat kami keluar dari tempat bimbingan belajar. Saat itu jarum pendek pada jam tanganku sudah menunjuk ke angka lima dengan jarum panjang pada angka tiga. Baik mobil ambulans maupun orang yang ada di dalamnya sama-sama sedang berjuang, pikirku. Yang satu sedang berjuang untuk melewati kemacetan ibu kota di jam pulang pegawai kantoran, dan yang satu lagi sedang berjuang melawan apapun yang sedang dideritanya saat ini. 

 “Argh”, teriak Icha tiba-tiba saat mendengar suara sirine mobil ambulans yang semakin nyaring. 

“Cha, kenapa?”

 “Aku takut banget denger suara sirine ambulans, Fis.” 

“Hah?”

 “Aku gak bisa, gak mau.Gak suka! Masuk lagi dulu aja yuk.” 

 “Okey” Sudah jam delapan malam saat aku sampai di rumah. Kali ini, bukan meja makan yang menjadi tujuan pertama. 

Namun, kamar orangtuaku. Setelah dicari-cari, akhirnya kutemukan beberapa berkas piagam penghargaan ayahku sebagai pendonor darah rutin PMI Indonesia.

 “…yang dengan suka rela telah menyumbangkan darahnya 50 (lima puluh) kali untuk kepentingan perikemanusiaan…” 

“…telah menyumbangkan darahnya…” 

“…75 (tujuh puluh lima) kali…” 

Melihat ini, aku semakin menyadari bahwa setiap manusia mempunyai perbedaan satu sama lain. 

 “Aku gak bisa Fiska lo denger suara sirine ambulans. Ngebayangin orang yang ada di dalamnya menderita, kesakitan. Berjuang untuk segera bisa sampai di rumah sakit. Kecelakaan, stroke, sakit jantungnya kumat, patah tulang, banyak memar, banyak darah, bau darah” 

 “Darah?”

 “Diantara semuanya, aku paling gak bisa liat darah. Aku bisa pingsan kalo liat darah, apalagi dalam jumlah yang banyak.” 

 “Kenapa Cha?” 

 “Darah..Identik dengan rasa sakit. Bau darah adalah bau yang paling gak enak dan paling membuat aku ngerasa gak nyaman, Fis.” 

Dan sekarang aku di sini, melihat kertas-kertas tebal atas bukti penghargaan yang diterima ayahku sebagai pendonor darah. Mungkin Icha hanya sebagian kecil dari sekian banyak orang yang takut dan enggan berhubungan dengan darah.Namun perkataannya justru mengingatkanku pada Ayah. 

Beliau adalah pendonor darah rutin untuk PMI. Seingatku, seseorang harus mendonorkan darahnya dalam rentang waktu tiga bulan sekali, which is hanya bisa empat kali menyumbangkan darah dalam setahun. Lalu, jika sudah 75 kali, kira-kira sudah 19 tahun Ayah menyumbangkan darahnya.

 “Ya? Halo.”, sapa Ayah pada seseorang yang menelponnya saat kami sedang makan malam. 

 “Gak, saya gak perlu gitu-gituan.” 

“…” 

 “Gak, saya males ngurusinnya. Buat apa juga? Gak, makasih.”

 “…” 

 “Gak usah, makasih. Saya gak butuh.” Pembicaraan itu lalu terputus. 

“Kenapa, Pak?”, Tanya Ibu. 

“Itu Bu, mau dapet penghargaan karena udah donor darah. Tapi kok disuruh buat Surat Kelakuan Baik di polisi segala.” 

“Terus, kenapa gak diurus aja? Kan lumayan dapet penghargaan..”, Tanya kakakku kepada Ayah. 

“Lah ngapain? Ayah gak butuh penghargaan. Sejak kapan menolong orang butuh penghargaan?” 


Tanpa banyak bicara, Ayah telah mengajarkan kami untuk berbagi tanpa pamrih, tanpa harapan akan balasan. Sebuah ajaran yang tidak hanya untuk keluarganya, namun juga untuk semuanya, bahwa tindakan selalu lebih bermakna dari pada teori belaka. 

Terimakasih, para pendonor!

No comments:

Post a Comment