Saturday, May 3, 2014

Shofiya: Aku Terlahir Negatif

Hari itu adalah hari ketiga badanku panas tinggi dan demam. Dokter menyarankan untuk cek darah, mengingat sedang mewabahnya DBD kala itu. Tak membuang waktu, esok harinya bunda membawaku ke rumah sakit untuk cek darah. Hasilnya, aku dinyatakan negatif DBD, hanya gejala typhus. 

Namun, sesuatu terungkap. Rumah sakit—khususnya ruang pemeriksaan darah, ramai. Sesuatu yang aku bahkan bunda baru ketahui, ternyata aku ber-rhesus negatif. Kami hanya berpandangan dalam kebingungan. Suster menjelaskan bahwa rhesus negatif sangat jarang dimiliki oleh orang asia yang mayoritas ber-rhesus positif. Persentasenya hanya sekitar 1% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia. 

Untuk memastikan kebenaran hasil cek darah tersebut, bunda membawaku ke laboratorium klinikyang cukup ternama hari itu juga. Kami tak percaya, keluarga kami yang bukan keluarga keturunan indo, tidak mungkin memiliki darah langka tersebut. Tiga hari berselang, hasil pemeriksaan di laboratorium keluar. Dipaparkan rhesus-ku positif. Hasil tersebut membuat bunda semakin bingung, bagaimana bisa hasilnya berbeda, pasti ada kesalahan. 

Bunda langsung mengecek ulang ke bagian pemeriksaan, dan menyatakan kebingungannya, “Mas, tiga hari lalu kami periksa darah di rumah sakit, dikatakan anak saya ber-rhesus negatif. Tapi mengapa di sini hasilnya positif?” 

 “Oh sebentar ya, bu. Akan kami cek ulang.” Jawab seorang pemuda di bagian pemeriksaan. Tak perlu menunggu lama, setengah jam hasilnya sudah keluar. Dan ternyata benar, darahku ber-rhesus negatif. 

“Tak apa, ini hanya kasus yang langka di Indonesia. Jaga diri baik-baik ya, dik. Karena darahmu langka, maka sebisa mungkin jangan terluka.” Kurang lebih seperti itu pesan pemuda tersebut ketika menyerahkan hasil pemeriksaan ulang. Kurang lebih beberapa pekan setelahnya, keluargaku pergi ke PMI pusat untuk cek dan donor darah. 

Dan ternyata hasilnya mengejutkan. Ayah, kakak laki-laki, dan adik laki-lakiku ber-rhesus positif. Sedang bunda, aku dan kedua adik perempuanku semua ber-rhesus negatif. Ternyata bukan hanya aku, Melainkan seluruh anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan ber-rhesus negatif. Dua tahun kemudian, persis di usiaku yang ke-17, aku pergi ke PMI bersama teman-teman untuk donor darah rutinan kami. Aku cukup tegang karena itu adalah hari pertama aku mendonorkan darah. 

Setelah isi formulir donor dan melewati serangkaian pemeriksaan kelayakan, aku dipersilahkan untuk masuk ruang donor.

 “Tapi rhesus saya negatif, mbak.” Kataku. 

“Sebentar saya periksa dulu.” Jawabnya.

 “Wah benar. Seharusnya kamu tidak boleh donor, karena di saat nanti darahmu dibutuhkan, kamu dalam keadaan siap. Tapi karena ini donor pertama kali, nggak apa, masuk aja.” Lanjutnya kemudian seraya tersenyum. 

Maka jadilah hari itu sebagai hari bersejarah dimana aku mendonorkan darahku untuk yang pertama kalinya. Tahun-tahun berikutnya, beberapa kali aku iseng ikut mendaftar donor darah di sekolah dan kampus, namun selalu tertolak di saat aku mengatakan bahwa aku ber-rhesus negatif.

 “Rhesus negative jangan mendonor rutin, karena di saat kami membutuhkan darah negatif, kamu harus senantiasa siap.” Selalu itu jawaban yang kuterima.

 “Ya.. mau bagaimana lagi.” Pikirku kecewa. Kemudian identitas diriku yang sudah cukup umur untuk mendonor, dicatat. Apabila sekiranya darahku dibutuhkan, PMI akan menghubungi dan datang ke rumah untuk mengambil darahku. Ya, aku negatif, dan aku siap berbagi.

No comments:

Post a Comment