Thursday, May 1, 2014

Ayu: Jejak kala Ziarah

Ingin rasanya kupetik bunga dan bintang-bintang lalu ku tabur saat berziarah ke makam Eyang. Sudah lima tahun lalu beliau berpulang menghadap Sang Pencipta. Namun semangat yang diwarisinya untukku terus berdetak mengalir deras melalui nadi. Melebur menjadi satu. Saat aku kecil, beliau sering bercerita tentang perjuangannya dalam menjalani misi kemanusiaan di tengah situasi konflik dan perang. Eyang bergabung dengan PMI saat usianya masih belia. Masa setelah kemerdekaan adalah tolak ukur perlawanan Bangsa Indonesia terhadap penjajah. 

Disitulah mental bangsa ini diuji. Meletusnya perang besar di Surabaya pada 10 November 1945 meninggalkan bekas yang mendalam untuk negeri ini. Eyang pernah bercerita, “ Suasana mencekam ketika perlawanan arek-arek Surabaya pecah. Berondongan peluru tak ada jeda! Pesta darah telah dimulai! Mayat bergeletakan seperti tumpukan ikan serai. Saat itu Eyang tak cukup waktu untuk menyelamatkan seluruh korban nduk. Hanya sebagian dari mereka yang mampu ditangani. Ada rasa kesal dan benci pada diri sendiri saat Eyang tak mampu menyelamatkan nyawa pejuang. Apa mau dikata, semua ada keterbatasannya. Eyang masih hidup saat ini saja sudah syukur Alhamdulillah, sebab banyak diantara rekan PMI Eyang saat perang ikut terenggut nyawanya.” Masa telah menentukan porsinya. Aku bukan seorang pejuang heroik seperti Eyang. Namun setidaknya aku mengikuti jejak kemanusiaan yang telah diwariskannya untukku. Sejak SMP aku mengikuti pelatihan dasar-dasar PMR. Menginjak SMA aku semakin menikmati kegiatan kemanusiaan yang diwadahi oleh PMR. Mulai dari pelatihan penanganan korban di alam terbuka, penyaluran donasi bakti sosial, penanaman seribu pohon di perbukitan gundul, sampai pada pelayanan transfusi darah rutinan yang kami selenggarakan berkat kerjasama PMI. Hati nuraniku terketuk secara tulus untuk melanjutkan misi kemanusiaan. Setelah lulus SMA dan menginjak ke bangku perkuliahan, aku mulai mencari wadah baru untuk menyalurkan pengabdianku sebagai wujud eksistensi pemuda yang menghormati jasa para veteran maupun relawan PMI pada masa kemerdekaan. 

Dan wadah yang kupilih adalah Pecinta Alam. Tak jauh berbeda dengan PMR. Organisasi Pecinta Alam juga memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi. Selain diajarkan bagaimana cara mencintai alam dengan menjaganya, saya juga belajar terjun secara langsung berinteraksi dengan korban bencana. Saya ingat betul ketika terjadi banjir bandang yang melanda Kota Jakarta tahun silam. Kami bekerjasama dengan BNPB untuk turut menggalang sumbangan dan menyalurkan bantuan dengan terjun secara langsung agar bantuan cepat tepat sasaran. 

Tanggal 22 April dikenal sebagai hari bumi yang bertepatan dengan dies natalis Organisasi Taruna Pecinta Alam. Kami mengadakan berbagai acara terkait dengan lingkungan, selain itu ada acara donor darah yang lagi-lagi melibatkan kerjasama dengan PMI. Senyumku melebar melihat lambang PMI, teringat Eyang yang gemar bercerita akan masa mudanya dulu. Setetes darah Anda, nyawa bagi sesama. 

 Mungkin aku bukanlah anggota dari PMI, namun aku tahu benar tujuan kami sama-sama memberikan manfaat untuk sesama demi terwujudnya kemaslahatan hidup. Masih banyak langkah-langkah kemanusiaan yang bisa kita terapkan di kehidupan. Kini saatnya bagi yang muda meneruskan misi perjuangan para pahlawan dengan nilai kemanusiaan. Saat berziarah aku bercerita pada nisan tentang apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku yakin Eyang pasti sedang tersenyum di surga melihat langkah-langkah kecilku untuk bangsa ini.

No comments:

Post a Comment