Thursday, May 1, 2014

Isnaini L: Kisah Merapi

Gemuruh petir dan hujan sore itu terasa sangat berbeda. Jalan sepanjang desa menuju jalur utama Solo-Semarang mendadak ramai. Petang belum genap menyapa, tetapi gelapnya sudah terasa. Hujan kali ini berisi abu vulkanik, diiringi gemuruh perut bumi yang beberapa hari terakhir jelas terdengar, diiringi beberapa kali gempa. 

Kawasan Gunung Merapi berstatus awas sejak 25 Oktober 2010. Letusan pertama terjadi pada 26 Oktober 2010 dan berlanjut hingga letusan terbesar pada 5 November 2010, tepatnya dini hari. Beberapa saat setelah letusan pertama terjadi, evakuasi warga yang bertempat tinggal di daerah radius 10 km dari kawah Merapi segera dilakukan, mencakup sebagian besar daerah Yogyakarta. 

Hari itu, 3 November 2010 ketika warga beberapa desa di Boyolali dikomandokan untuk mengungsi. Suasana mendadak mencekam. Aku bertempat tinggal di salah satu desa diKabupaten Boyolali, terletak di lereng Merbabu, saudara tua Merapi. Merbabu berdampingan dengan Merapi sehingga ketika Merapi sering kali ‘batuk’, tak jarang kami pun merasakan dampaknya. Desaku berjarak sekitar 100 km dari kawah Merapi. 


Aku sangat bersyukur karena aku dan keluarga tidak harus mengungsi, tetapi tentu sangat pilu melihat banyak orang berbondong-bondong mengungsi, mencari tempat perlindungan. Desa ini dijadikan salah satu tempat pengungsian karena masih aman dari wedhus gembel maupun lemparan lava Merapi. Pihak BPBD dengan cepat berkoordinasi dengan lurah desa untuk menyiapkan tempat pengungsian dan meminta bantuan warga desa. Kami sebagai warga pun dengan siap menolong hal yang diperlukan. 

Balai desa dalam sekejap berubah menjadi tempat pengungsian, warga dari desa yang terletak lebih atas dari desa kami berdatangan, masih dengan ketakutan yang terbayang di wajah mereka. Tak lain Nenek dan Kakek, serta beberapa kerabatku juga berdatangan ke rumah kami untuk mengungsi. Tempat tinggal Nenek termasuk dalam kawasan awas Merapi. Selama aku hidup, ini adalah kali pertama aku melihat Merapi meletus hingga mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan. Pengungsi terus berdatangan, balai desa semakin ramai. Sirine ambulans masih terdengar hingga malam menjelang, membantu evakuasi warga. 

Beberapa warga desa pun mendatangi balai untuk memberikan bantuan, seperti menata tempat pengungsian, membantu memasak di dapur umum, menyediakan beberapa keperluan mendesak seperti selimut dan lain-lain. Malam menjelang, tetapi warga nampaknya enggan terlelap, kami terjaga. Bukan tidak mungkin status sewaktu-waktu berubah. Balai desa terletak sekitar 1 km dari rumah, tetapi Ayah tidak mengizinkanku ikut membantu di pengungsian. Akhirnya Ayah saja yang membantu keperluan dibalai desa. Beberapa cerita yang ‘ku dengar, setelah dikabarkan Merapi meletus, banyak bantuan segera berdatangan. Bantuan berupa logistik, tenaga, maupun bentuk bantuan lainnya. Ketika malam menjelang pun, masih banyak orang datang membantu, termasuk mereka yang berasal dari luar Boyolali. Baik dari masyarakat umum, anggota KSR, PMI, dan tentu BPBD Boyolali yang sejak awal sudah bersiaga. 

Mereka, para relawan yang dengan ikhlas dan sigap membantu ketika bencana terjadi selalu membuatku kagum. Tentu bukan hal yang mudah untuk dapat siap siaga setiap kali bencana terjadi. Jiwa mereka adalah jiwa penolong sejati. Tetapi tentu bukanlah penghargaan yang mereka harapkan, berdasar 7 prinsip gerakan PMI mereka bertindak. Hal inilah yang menjadi salah satu motivasiku untuk kemudian bergabung di KSR PMI Unit I IPB ketika menginjak bangku kuliah.

No comments:

Post a Comment