Friday, May 2, 2014

M. Akida: Darahmu menyambung nyawaku.

Tubuh yang lemas dan kepala yang terasa sangat berat perlahan mulai beranjak segar seiring tetes darah manusia yang masuk ke nadi. Mata yang tadi berkunang-kunang mulai menemukan fokusnya. Untuk kesekian kali, saya masih diizinkan untuk berjalan di dunia ini. Sejak beberapa tahun lalu, agar bisa tetap hidup saya membutuhkan darah manusia. Agak menyeramkan memang. Tapi tenang, saya bukan drakula. 

Saya hanya seorang penderita kelainan darah mirip Thallasemia. Tidak terdeteksi awalnya, namun semenjak kuliah dengan aktivitas yang tidak menentu seperti begadang, jarang makan, atau kurang istirahat menjadikannya bertambah parah. Hingga suatu hari, sehabis kelas tiba-tiba mata saya menggelap dan kepala rasanya seperti orang yang habis berputar-putar. Tak ada angin, tak ada hujan, saya pingsan. Begitu siuman, saya sudah dikos bersama teman yang membawa saya pulang. Mereka mengira saya kelelahan. Akan tetapi melihat bibir dan wajah yang teramat pucat mereka menganjurkan untuk ke dokter. Minta obat anemia katanya. 

Di RS, dokter yang menemui sangat terkejut. Bergegas beliau melihat kuku, lidah, dan kelopak mata saya. “ Ini parah” katanya yang kemudian menyuruh saya untuk periksa darah. Beliau lebih terkejut ketika melihat hasil lab beberapa jam kemudian. Kadar Hemoglobin dalam darah saya hanya 3 dari skala 12 sebagai batas minimum. Dokter yang masih terheran-heran melihat saya bisa sadar dengan Hemoglobin begitu rendah langsung membuat rujukan untuk opname dan transfusi darah hari itu juga. “ Telat transfusi, hidup kamu bisa lewat” ujarnya. Singkat cerita saya langsung mendapat perawatan intensif untuk transfusi. Seorang teman yang dimintai tolong untuk mengurus semua administrasi, langsung menuju Unit Transfusi Darah PMI. Menurut diagnosa, saya membutuhkan paling tidak 8 kantung darah agar Hemoglobin naik ke batas aman. 

Petugas PMI melayani dengan sigap termasuk memberitahu apa yang harus dilengkapi. Namun stok darah yang ada tidaklah banyak dan yang membutuhkan bukan hanya saya seorang. Sadar harus berbagi, maka disepakati 4 kantung dulu yang diambil. Sisanya akan dicarikan lagi oleh PMI dibantu mencari donor sendiri. Keluarga dan teman sempat kesusahan mencari donor. Dirawat jauh dari kota asal membuat tidak banyak orang yang kami kenal. Namun Tuhan masih berbaik hati. Dua hari setelahnya, orang tua saya mendapat donor secara tak sengaja. 

Seorang Ibu pemilik warung nasi beserta suaminya menawarkan diri untuk menjadi donor. Kebetulan mereka memiliki golongan darah sama dengan saya. Mereka iba ketika mendengar kekhawatiran ayah dan ibu saat sedang makan diwarung mereka. Mereka tulus membantu bahkan menolak pemberian alakadarnya sebagai ucapan terima kasih dari Ayah saya. “Kami juga punya anak dirantau Pak.Kami tahu rasanya khawatir sama anak” ujar Bapak donor kepada Ayah saya. Sungguh mulia. Kebahagiaan bertambah ketika esoknya Ayah dihubungi petugas PMI bahwa ada stok darah yang bisa diambil, sehingga akhirnya perawatan saya bisa berlangsung lancar. 

Kini saya sudah bekerja. Dengan pola hidup sehat, meskipun Hemoglobin selalu dibawah normal saya masih bisa beraktivitas. Akan tetapi kegesitan PMI yang membantu disaat kritis tidak akan pernah saya lupakan. Begitu juga dengan para donatur darah. Kebaikan kalian tidak pernah sia-sia. Darah kalian mengalir di ribuan tubuh yang membutuhkan, termasuk saya. Untuk itu terima kasih, karena darahmu telah menyambung nyawaku

No comments:

Post a Comment