Saturday, May 3, 2014

Syahtya: Tuhan Tidak Pernah Tidur, Ayah

“Mengapa kamu begitu mudahnya memberikan darahmu,Nak?”, kata ayahku kecewa saat mendapati kantong berlogo PMI di kamarku. Sulit untukku tidak selalu berbagi, tatkala sejak PMR Madya sampai KSR saat kuliah selalu aktif dalam organisasi kemanusiaan itu. Masih jelas ingatan ayah tentang anak sulungnya yang terbaring lemas 25 tahun lalu. 

Entah sejak kapan ayah mengantre mendapatkan sekantong darah untuk kakak perempuanku yang kritis. “Stok kosong, Pak”, hanya itu jawaban yang didapat ayah saat berulang kali bertanya kepada petugas. Saat Adzan Subuh berkumandang, dengan wajah penuh harapan ayahku kembali ke tempat kakak perempuanku terbaring. 

Ayah seakan tak mampu berdiri. Dihadapannya ibuku terisak sambil memegang tangan kakak perempuanku yang membeku. Tuhan lebih dulu memanggil sebelum sekantong darah yang dibawa ayahku masuk tubuhnya. Ya Tuhan, aku kembali mengenang cerita itu. Terbangun dari lamunanku, kulihat tetesan tranfusi darah mengalir lancar pada pasienku yang belum genap lima tahun. Ya, sekarang aku tengah jaga malam untuk menjalani praktik akhirku di rumah sakit sebagai Ners. 

Tak lama kemudian Adzan Subuh terdengar. “Beruntung sekali engkau, Dik”, ucapku dalam hati. Kulihat disamping pasienku yang gemar mengenakan baju barbie, ibunya lelap tertidur. Di bawah tempat tidur, ayahnya juga terlelap walaupun beralaskan tikar usang. Kontras dengan ayahku yang berlarian dengan ribuan peluhnya, dan ibuku dengan jutaan linangan air matanya, pada waktu yang sama 25 tahun lalu. 

Sore ini ayah berkata kepadaku akan menjenguk cucu temannya yang dirawat di rumah sakit tempat aku praktik. Ya Tuhan, ternyata barbie kecilku yang semalaman aku rawat adalah cucu teman ayahku. “Ya beginilah, Pak Dhe. Hampir setiap bulan saya harus kembali kesini. Tiba-tiba saja gusinya mengeluarkan banyak darah, seperti tidak bisa berhenti. Bibirnya membiru, telapak tangan dan kakinya juga sangat pucat. Tadi pagi baru saja Ners itu memberikan tranfusi darah”, ucap ibu barbie kecil itu kepada ayahku sambil menunjuk ke arahku. 

Ayah melihat ke arahku sambil mengernyitkan dahinya. Aku menjawabnya dengan seutas senyuman kepada beliau sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibirku, dengan maksud agar ayahku tidak mengatakan bahwa anak berbaju putih-putih yang dipanggil dengan sebutan Ners itu adalah anak bungsunya. Ayahku tersenyum sambil mengangkat jempol tangan kanannya. “Untunglah Pak Dhe, saya tidak pernah kesulitan mendapatkan darah untuk anak saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya sudah tidak ada lagi orang yang memberikan darahnya. 

Seperti yang Pak Dhe tahu, golongan darah kami tidak ada yang sama karena dia bukan dari rahim istri saya. Tapi Tuhan maha adil. Tuhan menukar darah yang kami berikan kepada orang lain dengan darah yang bisa diberikan untuk anak kami. Hanya itu yang dapat kami lakukan untuk berterima kasih kepada mereka yang kami sendiri tidak mengenalnya”, ucap ayah barbie kecil yang sayup-sayup aku dengar. 

“Kata Bu Guru, itu karena Tuhan tidak pernah tidur”, celoteh barbie kecil itu yang membuatku terharu. Sejak saat itu, ayahku tidak pernah kembali bertanya, “Mengapa kamu begitu mudahnya memberikan darahmu,Nak?”, saat beliau mengetahui aku pulang dengan membawa kantong berlogo PMI yang aku dapatkan setelah memberikan sedikit darahku untuk mereka yang membutuhkan. Aku hanya mengatakan kepada beliau, “Tuhan tidak pernah tidur, Ayah”.

No comments:

Post a Comment