Friday, May 2, 2014

Ririn: Puluhan Nyawa Menjerit Dari Dalam Kotak

Di sudut ruang sebuah rumah makan yang cukup ramai di kota Surakarta, berdirilah sebuah kotak kaca berlambang PMI dengan rak kayu sebagai penyangganya. Bukan hanya di tempat itu, bahkan lebih dari 1000 kotak berlambang serupa telah tersebar di penjuru kota. 

Hampa, kadang hanya udara yang memenuhi ruangnya. Entah karena kotak-kotak itu hanya bisa diam atau ratusan mata yang melewatinya memang sedang buta. Coba, dengarlah dengan hati. Puluhan nyawa sedang menjerit dari dalam kotak yang mengiba itu. 

Suatu hari, seorang anak kecil mungil berambut ikal meringkuk dalam gendongan ibunya. Langkah kaki sang ibu melemah seiring doa yang tak kunjung dijawab. Pintu poliklinik PMI Kota Surakarta terbuka untuknya, menerima dengan tulus maksud sang ibu yang bermimpi untuk menylamatkan masa depan anaknya. 

“Jantung bocor, mbak. Saya ndak ada biaya,” ucap ibu itu dengan mata yang mulai berair. 

Lalu kami, petugas PMI yang memiliki niat meringankan penderitaan sesama, meletakkan sekotak harapan dengan jeritan sebuah nyawa di dalamnya. Hari berikutnya, laki-laki paruh baya mendatangi kami. Penampilannya sederhana, hanya mengenakan kaus berlambang partai dan celana pendek. Laki-laki itu duduk di kursi tunggu dengan gusar. Kemudian pada kesempatan berikutnya, laki-laki di depan kami mengutarakan niatnya agar sekiranya PMI bersedia membantu pengobatan istrinya yang menderita TBC. 

Kami kembali meletakkan harapan pada kotak berikutnya. Di Griya PMI Peduli yang terletak di Mojosongo, Surakarta, lebih dari seratus nyawa dengan gangguan jiwa memerlukan pangan dan sandang. Dari kotak-kotak itu pula mereka menggantungkan harapan. Tidak ada satu orangpun yang menginginkan keadaan seperti itu. Meski dengan cara berfikir yang berbeda, kita semua pasti setuju jika orang dengan ganguan jiwa memiliki naluri untuk bertahan hidup. 

 “Kotak-kotak berlambang PMI yang sering kita temui itu sebenarnya sedang menjerit. Hanya saja telinga kita terlalu sibuk menangkap suara keinginan hati dan nafsu sendiri saja. Jeritan mereka tersamarkan bahkan terabaikan.” Suaraku bergetar ketika mengisi program sosialisasi Dompet Kemanusiaan di salah satu kecamatan di kota Surakarta. Ratusan peserta yang hadir mengangguk setuju. 

Puluhan diantaranya berkali-kali menyebut nama Tuhan mereka ketika slide demi slide yang kami tampilkan menayangkan potret pasien-pasien Dompet Kemanusiaan dan potret warga Griya PMI Peduli dengan kepolosannya. 

 “Jadi, bersediakah kita untuk berdonasi mulai hari ini?” tanyaku pada peserta sosialisasi yang hadir. 

“Bersedia...” seru mereka mantap, membuat getaran tersendiri pada hati kami. Kotak yang kami sediakan pada acara sosialisasi itu terisi hampir penuh.
 

Sebuah kotak itu sengaja kami letakkan di pintu masuk ruang pertemuan. Tujuannya sederhana, kami ingin memulai dari diri sendiri, berbicara dan mengajak yang lain untuk ikut berbagi. Perihnya pita suara yang terlalu sering dipaksa bergetar ini tidak sebanding dengan penderitaan mereka yang memerlukan uluran tangan. 

Harapan ini bukan harapan kosong. Bahkan setelah kotak yang kami letakkan sudah penuh, kami masih tetap menggantungkan harapan-harapan lain pada kotak-kotak yang meringkuk di sisi ruangan berbeda. 

“Membantu dan berdonasi bukanlah sebuah paksaan. Lakukan jika hati kita memang mengaku peduli.” Itulah kalimat penutup acara sosialisasi yang kami selenggarakan. 

Sebulan setelah acara itu, donasi terus mengalir. Menginjak bulan ke-dua, euforia berdonasi mulai menyurut. Jika suara kami memang kurang membuat peka, semoga tulisan ini dapat membantu.

No comments:

Post a Comment