Saturday, May 3, 2014

Wita: Masker yang Mengubahku

Setiap bencana alam terjadi, disitulah anda akan melihat lambang PMI yaitu palang merah Indonesia. Dimana anda akan melihat banyak sekali relawan yang terlibat dalam kegiatan respon bencana tersebut. Jujur, aku bukan orang yang peduli dengan hal-hal semacam itu. Sebaliknya, aku malah menutup mata dan telinga dengan segala yang terkait dengan hal tersebut. 

Di pikiranku selalu mempertanyakan banyak pertanyaan “mengapa orang-orang mau peduli dengan hal seperti itu?, sedangkan mereka tau kalau itu juga akan membahayakan mereka, apa tidak membuang-buang tenaga dan waktu? Berapa uang yang mereka dapat dari pekerjaan semacam itu?”. 

Memang, apa yang mereka lakukan adalah sikap kemanusiaan tetapi jika sampai membahayakan diri mereka bahkan sampai kehilangan nyawa saat ingin menyelamatkan orang lain tentu semakin membuatku tak ingin melakukannya. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan bencana alam di tempat tinggalku sampai akhirnya aku merantau sebagai mahasiswa di Universitas swasta di Yogyakarta yang akhirnya mengubah segalanya tentang diriku. Enam bulan aku tinggal di kota Yogyakarta, semuanya baik-baik saja dan berjalan seperti adanya. 

Suatu hari hatiku merasa bimbang saat mendengar berita tentang gunung kelud yang diakabarkan akan meletus. Memang jaraknya lumayan jauh dari Yogyakarta tapi sebagai perantau yang jauh dari keluarga tentu menjadi hal yang ditakutkan apalagi aku yang tidak pernah merasakan hal semacam ini. Jum’at 14 Februari 2014 hal yang ditakutkanpun terjadi. Gunung kelud memuntahkan segala yang ada di dalam perutnya, batu kerikil, serta abu vulkanik. 

Pagi hari saat aku membuka mataku, betapa terkejutnya aku melihat abu vulkanik menghujani Yogyakarta hingga semua menjadi putih bagaikan salju musim dingin yang turun di daerah tropis. Secepatnya aku beranjak keluar membeli masker untuk melindungi diriku dari abu yang berbahaya itu. Karena jauh dari apotek, satu persatu toko dan minimarket yang menjual masker aku masuki dan jawabannya adalah “habis”. Betapa sulitnya aku mencari masker melewati jalan yang berdebu tebal bukan main tanpa pelindung. Sampai diujung perempatan jalan akhirnya aku mendapatkan masker pelindung dari sekelompok relawan di jalan menggunakan syal berlambangkan palang merah dengan tulisan PMI yang membagikan masker tanpa peduli debu tebal demi membantu orang yang kesulitan. Sebuah masker yang ia berikan itu mengetuk hatiku dan membuka nurani kepedulianku. 

Aku merasa sangat tertolong dengan sebuah masker ini, meskipun harganya tidak seberapa dibandingkan dengan uang yang ada di dompetku tetapi ini sangat berharga disaat aku memang membutuhkannya. Disini aku mulai berpikir sebenarnya apa yang mereka berikan memang tidak seberapa nilai materilnya tapi sesuatu yang kecil ini sangat berharga besar bagi orang yang membutuhkan. Inilah yang mengubah kepribadianku menjadi seorang yang peduli terhadap sesama dan berkemanusiaan. 

Akhirnya tertanamlah di dalam hatiku sebuah prinsip “ sekecil apapun yang kamu berikan akan berarti besar bagi orang yang membutuhkan”. Hingga membuat aku tergabung dalam organisasi kemanusiaan dan menjadi relawan bencana yang bekerjasama dengan PMI. 

Terima kasih aku ucapkan sebesar-besarnya kepada PMI yang tidak hanya menyelamatkan banyak orang, tetapi juga sangat berjasa karena telah membuka mata hatiku menjadi seorang yang peduli dan membuat aku lebih bermanfaat dengan dunia di sekitarku.

No comments:

Post a Comment