Pagi
ini, kutuliskan jejeran huruf ini untuk menceritakan kisah yang luar biasa. Ingatanku
kembali pada sebuah daratan di tepian waduk Selorejo, Ngantang, Malang. Hampir
satu tahun yang lalu, daratan ini dipenuhi tenda rofi putih yang terkaveling
rapih dihiasi berbagai umbul-umbul dan lampu-lampu dengan gapura yang tegak
berdiri. Aku seperti melihat miniatur nusantara. Penduduknya adalah kami,
manusia yang seakan tak ingin lelah, entah dari mana kami mendapatkan energi
puluhan kali lipat lebih banyak, lebih besar dan lebih tahan lama, dipunggung
kami seperti tertanam panel-panel surya, jika terpanggang sinar matahari
bukannya mlempem justru mengalirkan energi yang lebih banyak. Kami
bahkan tak berhenti tersenyum saat bibir membiru dan jemari tak terasa karena
kedinginan. Alunan lagu penyemangat terdengar memenuhi Selorejo, dari subuh
sampai hampir subuh lagi.
Hari-hari itu adalah hari
yang penting bagiku dan ribuan relawan PMI lainnya. Selorejo menjadi tempat
terselenggaranya Temu Karya Relawan Nasional ke V. Aku adalah bagian tim
provinsi Jawa Tengah, dan aku menjadi satu dari penduduk ‘kampoeng relawan’ ini
yang menyaksikan indahnya PMI dan mempesonanya Indonesia. Seminggu penuh, TKRN
V ini digelar. Seminggu penuh akan terkenang.
Matahari belum tinggi,
sebagian cahayanya tersembunyi dibarisan pegunungan yang mengelilingi Selorejo,
kabut masih menyelimuti danau tapi kami, tim kontingen Jawa Tengah sudah
berlari mengitari dan menyapa teman relawan senusantara ini, tak ada yang
gemetar apa lagi menggigil semuanya lantang bernyanyi lagu penyemangat. Tidak
hanya kami, tim dari berbagai provinsipun demikian, seakan tak ingin kalah
lagu-lagu mengalun bersahut-sahutan.
Kegiatan TKRN memang diawali dengan olahraga bersama, baru rangkaian kegiatan yang dirancang semenarik mungkin, seminar, permainan, perlombaan, stand up comedy, pameran kebudayaan, anjangsana, kirab seni, wisata, dan berbagai kegiatan lainnya.
Setiap kontingen mendapatkan
teman relawan dari negara lain, Jawa Tengah berkesempatan menjadi tuan rumah
bagi relawan Prancis dan Jepang, kami sepakat memanggil mereka Parjo (Sébastien
Nouveau) dan Ngatmi (Hitomi Sasaki). Aku ingat betul hari pertama kali Parjo
dengan bahasa Inggris aksen sengaunya memperkenalkan diri dihadapan kami, juga Ngatmi
yang membawa bambu permohonan khas Jepang, dan membagikan permen marshmallow. Dan ingat betul bagaimana kami harus duduk
melingkar, menangis bersama ketika harus berpisah. Tapi semuanya menyenangkan.
Setiap hari, aku seperti diracuni
ilmu, tempat ini menawarkan sebuah pengalaman inteketualitas, dan menantangku
untuk memacu kemampuan serta krativitasku, orang-orang hebat yang tak aku temui
di kampung halamanku berkumpul disini, aku menyerap begitu banyak pelajaran
dalam waktu yang relatif singkat. Setiap hari, ada saja hal baru yang
menggairahkan kuperoleh, tak hanya sekedar urusan pertolongan pertama, siap
siaga bencana atau ilmu lain yang kudapatkan dibangku sekolah hingga kuliah.
Tapi lebih dari itu, nilai-nilai
persahabatan, kebanggan, harga diri, tanggung jawab, kejujuran, tenggang rasa,
dan menghargai perbedaan yang mulai terkikis akibat kemajuan global benar-benar
aku dapatkan.
Aku juga menyadari bahwa Indonesia begitu kaya, sejengkal saja Jawa timur dan Jawa tengah terpisahkan, tapi budayanya sudah berbeda, entah apa bahasanya tapi kami tetap Indonesia, aku yang berambut ikal dan berkulit sawo matang, tetap bersahabat dengan si Aceh, Si Dayak, Si Sunda, si Maluku, si Papua dan yang lainnya. Kami relawan PMI dan kami Indonesia.
Terimakasih PMI menjadi
wadah yang luar biasa.
No comments:
Post a Comment