Monday, April 28, 2014

Rifan N. : Berbuat Baik Pasti Ada Balasannya

Mendonorkan darah? Sungguh membayangkannya saja saya takut. Tapi ketika teman sekantor saya butuh donor darah O, tiba-tiba hati saya terketuk. 

Di kantor saya hampir tak ada yang bisa mendonorkan darah sebab golongan darahnya rata-rata bukan O. Kalau pun ada seorang-dua, kondisi mereka tak memungkinkan melakukannya. 

Akhirnya, meski dengan rasa takut membayangkan jarum suntik yang besar menerobos kulit lengan, saya memberanikan diri mendonorkan darah. Dan alhmadulillah, teman saya bisa terbantu. Ajaib, setelah mendonorkan darah, tubuh saya terasa enteng. Kepala yang sering pusing, menjadi jarang kambuh. 

Saya putuskan untuk mendonorkan darah dua kali dalam setahun. Meskipun masih bolong-bolong, terhitung sudah delapan atau sembilan kali saya mendonorkan darah. Saya tak terlalu memusingkan masalah donor darah itu. Tanpa pamrih, selain niatnya membantu. Hingga kejadian yang mencemaskan menimpa saya kurang lebih setahun lalu. Istri saya melahirkan dengan operasi caesar. Alhamdulillah, kejadiannya lancar-lancar saja. Yang tak lancar adalah menimpa si bayi (anak saya). Pada saat itu hemoglobinnya rendah. Menurut dokter hemoglobin darah normal untuk bayi yang baru lahir sekitar 12-24gr/dL. Sementara anak saya cuma 7,4gr/dL. Dan harus segera mendapatkan donor darah. Saya ingat saat itu hampir jam tujuh malam. 

Andainya golongan darah anak saya O, saya pasti langsung mendonorkan darah saya kendati saat itu badan tak fit. Tapi golongan darah anak saya adalah A+. Sementara yang golongan darahnya A+ dalam keluarga kami hanyalah istri saya. Dengan pikiran berkecamuk, apalagi kata dokter, anak saya butuh darah segar dan lebih bagus dari keluarga sendiri, saya kemudian menelepon saudara saya dan saudara istri. Beruntung ada seorang sepupu istri saya yang golongan darahnya A+. Ah, tak lupa saya bersyukur kepada Allah SWT sambil menghembuskan napas lega. Tapi cobaan masih datang mendera. Besok malamnya saya diberitahu dokter kalau darah yang didonorkan itu infeksi. Jadi jam sembilan malam itu saya harus mendapatkan donor darah baru. 

“Kalau saya tak mendapatkan donor darah baru malam ini, bagaimana, Dok?” tanya saya hampir meneteskan mata.” 

“Kita sama-sama tak berharap hal terburuk menimpa anak anda, kan?” Dokter itu berkata pelan. 

Deg, jantung saya berdetak keras. Beberapa teman bahkan bos di kantor, saya telepon. Tapi semua tak memberikan jawaban memuaskan. 

Saya mulai berpikir jelek bahwa apa gunanya saya dari dulu mendonorkan darah berkali-kali, sementara ketika saya hanya butuh darah 40 cc saja, tak ada seorang pun yang bisa membantu. Tapi Allah SWT berbaik hati. Dia membalas darah yang saya sumbangkan, dengan mendatangkan seorang lelaki yang masih saudara jauh dari istri abang ipar. Ternyata golongan darahnya A+. Dan ternyata pula darahnya sehat. 

“Berapa untuk donor darahnya?” tanya saya kepada lelaki pendonor itu. 

Jawabnya, “Tak usah! Saya ikhlas untuk saling membantu.” 

Padahal saat mendonorkan darah itu, waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Terima kasih untuk bantuannya, sobat. Saya tiba-tiba merasa bersalah sempat berpikir jelek bahwa donor darah yang saya lakukan sebelumnya tak berarti.Ternyata sangat berarti, hingga anak saya bisa tumbuh sehat hingga sekarang.

No comments:

Post a Comment