Donor darah. Kata-kata yang sering aku dengar ketika berada diinstansi kesehatan. Apalagi ketika seseorang yang disayangi sangat membutuhkan banyak darah untuk bertahan hidup. Disaat papaku memerlukan banyak darah agar tetap hidup, aku malah takut memberikan darahku karna takut dengan jarum suntik. Ketika itu aku masih berumur 17 tahun dan papaku kecelakaan yang membuatnya tidak sadarkan diri sampai 2 minggu. Sebelum itu, dokter sudah bilang kalau papaku masih pendarahan dan berakibat fatal jika tidak ditransfusi darah. Mama menyuruhku untuk donor darah tapi aku menolaknya karna takut melihat jarum suntik. Memang alasan yang tidak logis, tapi apalah daya ini, kami hanya bisa menunggu datangnya bantuan darah dari PMI. Akhirnya, papaku terselamatkan.
Setelah 2 tahun berlalu, ketakutanku dengan jarum suntik tetap saja ada di dalam diri ini. Takut melihat jarum tertancap di lenganku, takut jika nanti jarum suntik itu patah ketika disuntikkan ke tubuhku. Ketakutan itu semakin menjalar saat beberapa teman dekatku bermain-main dengan jarum untuk menyuntik tinta printer. Mereka tak menyangka bahwa aku akan berteriak dan nangis histeris ketika mereka mendekatkan jarum itu kepadaku. Tapi, ada sebuah saran baik yang mereka berikan kepadaku. Yaitu dengan ikut donor darah yang diadakan oleh Palang Merah Indonesia di gerejaku setelah ibadah selesai.
Awalnya, aku menolaknya karna itu termasuk ide yang sangat buruk bagiku tetapi ide baik bagi teman-temanku untuk menghilangkan fobiaku terhadap jarum suntik dan sebuah hal yang mulia untuk membantu banyak orang yang memerlukannya seperti papaku dulu. Kalau dulu, teman-temanku bilang bahwa aku terlalu berlebihan untuk takut hanya dengan jarum suntik. Tapi ya mau dibilang bagaimanapun, aku tetap saja takut, namanya juga fobia.
Sudah 5 orang yang mendaftarkan diri untuk mendonorkan darahnya. Teman-teman gerejaku juga sudah mulai berjajar mengantri untuk mendaftar. Mereka menarik-narikku tapi aku masih dengan ketidakmauanku untuk mendonorkan darah. Seorang petugas donor darah datang menghampiriku dan bertanya mengapa aku tidak ikut mendonorkan darahku. Aku hanya bilang kalau takut darahku habis. Ibu itu malah tertawa kecil. Memang itu jawaban yang sangat kekanak-kanakan untuk menutupi fobiaku yang buruk ini. Tidak hanya sampai disitu saja, ibu itu kembali bertanya mengapa aku menutupi ketakutanku dan dengan cepat aku bertanya mengapa ibu itu mengetahui kalao aku memang menutupi rasa takutku. Panjang lebar penjelasan dan nasehat yang diberikan oleh ibu tersebut dan aku hanya mengangguk kecil tanda menjawab iya.
Tiba-tiba mamaku datang dan tersenyum kepadaku. Mama bilang ‘kalau masih ragu-ragu, coba saja. Ketakutan itu akan hilang seiring dengan keinginan kamu untuk tidak fobia lagi’. Aku pun mencoba untuk donor darah. Ibu yang menasehatiku membantuku untuk tidak takut terhadap jarum suntik itu. Akhirnya, aku tidak takut dengan jarum suntik. Bukan hanya itu saja, aku juga mau mendonorkan darahku untuk orang yang sangat membutuhkannya. Ibu itu telah membantuku untuk menghilangkan fobia ini dari diriku dan aku sangat senang.
No comments:
Post a Comment