Bulan
ini saya kembali mendonorkan darah. Entah sudah kali keberapa, tapi saya selalu
bahagia saat melakukannya. Ah, andai saya tak mengalami peristiwa itu, mungkin
sampai sekarang saya tak akan pernah mendonorkan darah.
Pengalaman
donor darah pertama terjadi pada bulan Juni 2009. Sayangnya, donor darah saat
itu gagal. Saat lengan kiri ditusuk, tak ada satu tetes pun darah yang keluar.
Saat jarum dipindah ke lengan kanan, darah yang keluar hanya mencapai setengah
kantong. Petugas PMI tidak mengabulkan permintaan saya untuk menusuk ulang
lengan kiri. Sayang sekali. Padahal, harga kantong darah itu lumayan mahal.
Sejak saat itulah, saya meredam keinginan untuk mendonorkan darah. Ketimbang
merugikan PMI?
Sampai
suatu ketika pada momen halal bihalal sekolah, September 2009, kesempatan donor
darah kembali datang. Saat itu, salah satu guru di sekolah, Pak Catur, mencari orang
yang bersedia mendonorkan darah untuk ayahnya.
Memang,
sejak beberapa minggu sebelumnya, ayah Pak Catur sakit diabetes dan diopname di
rumah sakit. Ternyata, kondisi ayah Pak Catur tidak kunjung membaik. Bahkan,
luka di kaki kanannya semakin memburuk, yang mengharuskannya diamputasi. Sungguh, itu kabar yang
mengejutkan di hari pertama kami masuk sekolah setelah libur puasa dan Lebaran.
Sayangnya,
pada bulan Ramadan dan Lebaran, stok darah di PMI memang menipis, karena jarang
ada pendonor. Hal itulah yang membuat Pak Catur kesulitan mencari darah untuk
ayahnya.
Pada
acara halal bihalal sekolah, beberapa guru menanyakan golongan darah siswa
untuk didonorkan pada ayah Pak Catur. Ayah Pak Catur memerlukan empat kantong
darah bergolongan B. Dua kantong darah sudah diperoleh dari kerabatnya. Berarti
masih diperlukan dua kantong darah lagi.
Meski
banyak guru dan siswa yang bergolongan darah B, tak banyak dari mereka yang
memenuhi syarat mendonorkan darah. Ada yang berat badannya kurang, tekanan
darah terlalu tinggi, sampai yang takut ditusuk jarum. Kebetulan golongan darah
saya B, tapi “trauma” gagal donor masih membayangi.
Berkat
dukungan dari teman dan beberapa guru, saya berniat mencoba mendonorkan darah
lagi. Selain saya, ada satu siswa lagi yang juga bersedia mendonorkan darah.
Sepulang
sekolah, kami bergegas menuju Semarang. Dari sekolah saya yang berada di
Kabupaten Demak, diperlukan waktu sekitar satu jam perjalanan menuju Semarang.
Di sepanjang perjalanan, pikiran saya digelayuti rasa khawatir akan kegagalan
mendonorkan darah. Tapi, berkat motivasi dari teman-teman di sekolah, saya optimistis
donor darah kali ini akan berhasil.
Sebelum
mendonorkan darah, kami mampir di Rumah Sakit Sultan Agung untuk menengok ayah
Pak Catur. Setelah itu, kami menuju PMI Semarang di Jalan Bulu untuk pengambilan
darah. Sepanjang pengambilan darah, saya terus berdoa agar donor kali ini
berhasil. Beruntung, petugas PMI turut menenangkan saya dan mengajak
berbincang.
Ternyata,
donor darah saya berhasil. Sekantong cairan berwarna merah telah keluar dari
tubuh saya. Cairan bernama darah itulah yang digunakan untuk operasi amputasi ayah
Pak Catur, yang semoga bisa memperpanjang umurnya.
Saya
sangat bahagia. Sejak saat itu, saya bertekat akan rutin mendonorkan darah,
tanggal 7 setiap tiga bulan sekali. Bisa di mana saja, donor darah massal di
kampus, mobil PMI, atau mendatangi PMI secara langsung. Semoga darah saya bisa
menyelamatkan nyawa orang lain.(sumber foto: pseifebundip.org)
No comments:
Post a Comment