Wednesday, April 23, 2014

Maryanto: Ketika Candamu Menjadi Darahku



Yogyakarta, 26 mei 2006 sebelum gempa. jumat sore masih saja kupandang hujan saat itu, hari dimana masih terdengar canda anak kecil bermain. Masih jelas terlihat senyum tawa yang lantang. Bocah-bocah berlari begitu riang dibawah hujan, namun sabtu pagi udara menjadi sepucat lampu. Bencana tuhan datang mengombang-ambingkan rumah dan tanaman. Semua berlari, semua menjerit, semua menangis ketakutan. Aku menggigil saat melihat bocah kemarin sore itu tergeletak dengan darahnya dimana mana. Segera aku menghampirinya, tak kupedulikan sedikitpun luka padaku, entah bagaimana juga dengan nasib saudara dan keluargaku. Aku berlari merangkul lalu membawanya ke Rumah Sakit, Dalam hatiku, "aku ingin melihat senyum, canda dan tawamu yang lantang lagi". 

Air mata pun mengalir menetes bercampur darah di pipi nya. Dengan doa dan harapan serta seluruh keyakinan aku menunggu kabarnya dan berharap keluarga nya segera datang. Tak lama seorang dokter datang dengan wajah pucat pasi, kata dokter anak itu kekurangan banyak darah sementara kantong darah di Rumah Sakit habis karna begitu banyak pasien yang membutuhkan. dokter menyarankan untuk menyusul keluarga anak itu karna golongan darah anak itu sulit yaitu AB. saat mendengar itu aku sedikit lega sepertinya golongan darahku juga AB namun tetap harus ditest kata dokter untuk memastikan kecocokanya. Dan saya sangat lega ternyata sama, ahirnya anak itu terselamatkan. 

Aku benar-benar bangga pernah mendonorkan darahku sehingga sampai saat ini masih bisa melihat senyum canda dan tawa anak itu lagi. (sumber gambar: http://dunia.news.viva.co.id/news/read/121706-68_jam_terkubur_reruntuhan__bayi_selamat)

No comments:

Post a Comment