“Salah satu yang aku syukuri adalah saat aku masih dapat melihat senyuman orang-orang di sekitarku.”
Sabtu, 27 Mei 2006, pukul 05.53 menjadi hari yang penuh luka di tempatku. Hari yang sangat memilukan. Berjalan tertatih meninggalkan kediaman ketempat aman dengan bekal seadanya. Berkumpul bersama orang-orang baru dengan wajah yang pucat dan tak sedikit dengan luka yang parah. Menyaksikan tangisan anak kecil yang ketakutan, remaja selamat yang hilir mudik mengendai kendaraan yang masih berfungsi baik membawa orang dengan luka yang parah, menyaksikan si sakit yang terkulai lemas menunggu antrian untuk dibawa ke rumah sakit, orang tua sibuk dengan keluarga masing-masing dan sebagian membantu merawat luka dengan obat-obatan tersisa dari reruntuhan.
Sedang yang kulakukan hanya menenangkan kedua adikku yang masih terdiam pucat. Menunggu dan hanya menunggu terdiam di jalan-jalan tepian sawah. Goncangan demi goncangan masih terasa, keras kemudian lemah kembali keras melemah begitu seterusnya. Hingga matahari meredup masing-masing memilih untuk kembali ke desa mereka. Bermalam beratapkan dedaunan diantara gelap dan derasnya hujan.
Beberapa hari kami bertahan dengan persediaan yang masih tersisa. Sampai pada saat kakak-kakak relawan PMI dari Surabaya datang dan membangun posko di desa kami. Membagikan logistik untuk masing-masing kepala keluarga, menyediakan makan dan minum dua kali sehari, mengantarkan cek up si sakit, dan mengajak anak-anak bermain.
Berminggu-minggu aku beraktifitas bersama mereka, banyak ilmu dan banyak cerita yang terbagi membuat sejenak terlupa yang terjadi sebelumnya. Awalnya yang aku pahami tentang PMI hanya mengobati yang terluka dan menyadarkan yang pingsan saja, seperti yang dilakukan anak PMR. Ternyata aku salah, banyak peran mereka untuk membuat orang lain tersenyum. Sejak saat itu dimana aku menyadari ketulusan kakak-kakak relawan menjadikanku ingin menjadi seperti mereka. Aktif di dunia kepalangmerahan. Menjadi berarti.
Telah delapan tahun sampai 46 hari kedepan, bencana yang meluluhlantahkan bagian dari cintaku berlalu. Selama itu pula aku berada di perantauan. Kini, aku telah bergabung dengan KSR PMI Unit UPI sejak lima tahun yang lalu. Diawali dengan diklatsar dan diklanjut yang berisi penggemblengan mental dan fisik, juga pemantapan materi menjadi momen yang berkesan menyambut kehadiranku. Rangkaian kegiatan dari BABAK VI dan BABAK VII yang aku ikuti memberikanku segores kisah (Dordar road show fakultas dan kampus daerah yang sempat dihadiri Pak JK, berbagi ceria dan baksos untuk anak panti se-Bandung raya, dan bertemu keluarga KSR perti se-Jabar).
Kegitan lain yang menjadikanku ingin semakin berarti adalah saat bersama KSR Cabang dan pengurus PMI kota Bandung dalam pelatihan tanggap darurat bencana di Pangandaran, pelatihan menejemen penanggulangan bencana di Ponorogo, GALAKSI, DORDAR, terjun langsung menjadi relawan di DU saat terjadi bencana, saat memperjuangkan RUU kepalang merahan bersama rekan lainnya dan kegiatan pengabdian lainnya.
Banyak agenda yang telah aku lewati, banyak saudara baru dari berbagai suku, banyak kota telah aku kunjungi, dan yang pasti banyak ilmu yang harus terus aku aplikasikan. Sampai kini tujuanku masih sama “menjadi berarti”. Ketika aku mulai lelah dengan jalan yang telah kupilih ini, jejak duka yang pernah teralami dan ketulusan kakak relawan yang bahkan sampai sekarang membuatku berdiri dengan senyuman selalu berhasil membuatku kembali berlari.
No comments:
Post a Comment