Bagiku dulu apa yang dilakukan adikku dan teman-temannya bahkan temanku untuk pergi ke tenda-tenda PMI untuk mendonorkan darahnya adalah hal yang tidak terlalu penting, membuang-buang waktu, menyakiti diri, dan apa yang kita peroleh pun tidak sebanding dengan apa yang kita lakukan, hanya sebungkus bubur kacang ijo, ucapan terimakasi dan terkdang selembar sertifikat. Itu mungkin juga pikiran kebanyakan orang termasuk aku dulu sebelum terjadi hal yang mampu mengubah pola pikir egoisku ini.
Beberapa tahun yang lalu aku adalah sosok lelaki yang tak peduli dengan kegiatan-kegiatan sosial seperti donor darah, menjadi tim sukarelawan di tempat-tempat yang terkena musibah dan sebagainya. Sampai suatu ketika aku dan adik semata wayangku mengalami hal yang mengubah segalanya. Cerita ini bermula dua tahun yang lalu ketika aku mengantar adikku pergi ke pesta ulang tahun temannya. Seperti biasa karena aku adalah seorang kakak yang cuek, aku menolak ajakannya. Namun, karena paksaan ibuku aku turuti permintaannya. Di tengah jalan aku baru ingat bahwa hari itu juga, pada waktu yang berbeda 30 menit aku harus menemui teman-temanku untuk latihan pementasan ulang tahun kampus. Dengan tenaga yang kupunya, kupacu laju kendaraan bermotorku hingga berkecepatan 90Km/Jam. Saat aku hendak mendahului truk bermuatan semen yang jalannya sangat lambat di depanku, kecelakaan hebat terjadi ketika bus dari arah berlawanan beradu dengan motor yang kukendarai. Adikku terpental beberapa meter hingga tergeletak di trotoar, sedangkan aku entah mengapa masih bisa berdiri meski kaki dan beberapa anggota tubuhku terasa sakit.
Kuhampiri sosok mungilnya yang tak berdaya dan berlumuran darah itu. Aku berteriak meminta tolong di antara puluhan orang yang hanya menonton kami saat itu. Aku merasa lega ketika ada mobil ambulance PMI lewat dan berhenti serta mengantar kami ke rumah sakit terdekat. Saat itu pula dokter memberitahuku untuk segera mencari tranfusi darah secepatnya agar adikku tak kehabisan darah karena rumah sakit kehabisan stik darah golongan B. Mobil ambulance PMI yang mengantarkan kami saat itu bagaikan malaikat yang menolong nyawaku dan nyawa adikku. Setelah aku bingung akan berbuat apa dengan kondisiku seperti ini serta tak bisa menghubungi keluargaku karena HPku entah terpental kemana, tak lama kemudian seorang gadis remaja berompi PMI yang kutaksir usianya beberapa tahun di bawahku dengan sigap berlari memberikan tiga kantung darah dari mobil ambulance PMI ke dokter yang menangani kondisi adikku saat itu.
Mengantarkan kami ke rumah sakit dan sekaligus memberikan tiga kantung darah yang sangat berharga kepada kami, sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap adikku membuatku tak bisa berkata apa-apa pada pertolongan PMI waktu itu yang telah usai membuka aksi sosial di dekat lokasi kecelakaan yang kualami. Rasa terimakasi dan materi pun sepertinya tak cukup untuk membayar jasanya saat itu. Dari kejadian itu aku sadar betapa pentingnya hal yang kuanggap sepele beberapa tahun sebelumnya. Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada ambulance PMI serta tiga kantung darah yang mereka berikan pada adikku, mungkin seumur hidup aku akan dihantui rasa bersalah karena menghilangkan nyawa adikku itu. Dari sana kuberanikan diri untuk selalu ikut kegiatan-kegiatan PMI, seperti donor darah dan aksi sosial lainnya.
No comments:
Post a Comment