Setiap bulan September di sekolahku rutin
diadakan kegiatan donor darah. PMR SMAN 1 Ciamis bekerja sama dengan PMI
Kabupaten Ciamis. Kader muda palang merah bekerjasama dengan kader seniornya,
pemandangan yang endah (indah) kalau
kata bahasa daerahku. Terlebih keduanya bergerak di bidang sosial. Hal yang
memberikan sumbangsih optimisme bahwa dalam gelombang globalisasi yang menyeret
manusia ke dalam arus individualis masih ada generasi yang peduli terhadap
nasib sesamanya bahkan menjadi roda penggerak kepedulian sosial.
Akal sehatku berkata demikian. Mataku
senang melihat kegiatan-kegiatan seperti itu. Instuisiku berkata aku juga harus
bisa berbuat untuk lingkunganku. Lalu aku coba melihat lebih dekat untuk
memantapkan niat. Dan ah, lagi-lagi aku urung mendonorkan darah.
Sekarang tahun ketigaku di sekolah. Itu
berarti tidak ada tahun depan untukku berpartisipasi dalam kegiatan ini. Namun
tetap saja seperti dua tahun sebelumnya, aku takut untuk mendonorkan darah.
Padahal akal sehat dan instuisiku sudah bersepakat bahwa donor darah sebagai
salah satu pengejawantahan jiwa sosial harus aku lakukan. Namun ketakutan
mengalahkan segalanya. Entahlah.
Jarum suntik (kalau bisa disebut jarum
suntik) yang besar sekali, plastik (belakangan aku tahu namanya labu) untuk
darahnya yang lumayan besar, belum lagi harus diperiksa ini itu dulu sebelum
berdonor membuatku takut. Tidak hanya takut, aku minder untuk berdonor. Kenapa?
Beratku hanya 48 kg. Lelaki kelas 3 SMA berat badan hanya 48 kg, dengan tinggi
165cm sungguh tidak proporsional. Rumor yang beredar mensyaratkan untuk
berdonor harus memenuhi beberapa kriteria seperti tensi, kondisi kesehatan, dan
kualitas darah. Melihat indikator proporsional menurut kepercayaan yang beredar
pada zamanku, yang mengurangkan angka tinggi badan dalam centimeter dengan
angka berat badan dalam kg, semakin kecillah hati ini untuk berdonor darah.
Kegiatan dimulai 8 pagi. Kebetulan kawan
sekelasku ada juga yang jadi panitia. Ya, itulah hebatnya kegiatan sosial.
Meskipun sudah berada pada masa persiapan ujian, tapi masih rela mengorbankan
waktu untuk kegiatan diluar intrakulikuler. Kegiatan ini cuma setaun sekali,
ngga belajar sehari ga akan bikin bodo seumur-umur kan, kalau catatan kan bisa
liat punya temen, ini saatnya berbuat nyata sekemampuan kita untuk sesama.
Begitulah kurang lebih kata-kata temanku yang ikut jadi panitia. Tentu saja aku
tidak bisa membantah. Aku mengangguk takjim.
“Ayo! Katanya kamu mau ikutan.”, ajak
temanku. “Duluan, nanti aku nyusul”, kataku berkilah. “Mudah-mudahan jangan kaya
dua tahun yang lalu!”, sindir temanku. Aku hanya bisa
senyum malu, dan temaku berlalu.
Istirahat pertama aku dan teman-teman
sekelas seperti biasa shalat duha di mesjid sekolah. Selalu lebih jernih hati
dan pikiran setelah menghadap Allah. Parade sosial kembali tergelar di alam
pikiranku. Tidak ada alasan untuk ku tidak berdonor kecuali karena takut. Takut
yang berasal dari dalam diri sendiri. Aku merenung. Dan akhirnya aku memutuskan
untuk melawan rasa takutku dan pergi ke ruang OSIS tepat donor darah
dilaksanakan.
Prosedur yang ada aku ikuti, dan ternyata
aku dinyatakan layak berdonor. Tegang bukan main saat-saat jarum donor
ditusukan ke lengan kananku. Tapi ternyata tidak sesakit yang dibayangkan.
Ketakutanku itu tidak terbukti sama sekali.

No comments:
Post a Comment