Friday, April 11, 2014

Asep Andri: Ketakutan yang Tidak Terbukti

Setiap bulan September di sekolahku rutin diadakan kegiatan donor darah. PMR SMAN 1 Ciamis bekerja sama dengan PMI Kabupaten Ciamis. Kader muda palang merah bekerjasama dengan kader seniornya, pemandangan yang endah (indah) kalau kata bahasa daerahku. Terlebih keduanya bergerak di bidang sosial. Hal yang memberikan sumbangsih optimisme bahwa dalam gelombang globalisasi yang menyeret manusia ke dalam arus individualis masih ada generasi yang peduli terhadap nasib sesamanya bahkan menjadi roda penggerak kepedulian sosial.

Akal sehatku berkata demikian. Mataku senang melihat kegiatan-kegiatan seperti itu. Instuisiku berkata aku juga harus bisa berbuat untuk lingkunganku. Lalu aku coba melihat lebih dekat untuk memantapkan niat. Dan ah, lagi-lagi aku urung mendonorkan darah.

Sekarang tahun ketigaku di sekolah. Itu berarti tidak ada tahun depan untukku berpartisipasi dalam kegiatan ini. Namun tetap saja seperti dua tahun sebelumnya, aku takut untuk mendonorkan darah. Padahal akal sehat dan instuisiku sudah bersepakat bahwa donor darah sebagai salah satu pengejawantahan jiwa sosial harus aku lakukan. Namun ketakutan mengalahkan segalanya. Entahlah.

Jarum suntik (kalau bisa disebut jarum suntik) yang besar sekali, plastik (belakangan aku tahu namanya labu) untuk darahnya yang lumayan besar, belum lagi harus diperiksa ini itu dulu sebelum berdonor membuatku takut. Tidak hanya takut, aku minder untuk berdonor. Kenapa? Beratku hanya 48 kg. Lelaki kelas 3 SMA berat badan hanya 48 kg, dengan tinggi 165cm sungguh tidak proporsional. Rumor yang beredar mensyaratkan untuk berdonor harus memenuhi beberapa kriteria seperti tensi, kondisi kesehatan, dan kualitas darah. Melihat indikator proporsional menurut kepercayaan yang beredar pada zamanku, yang mengurangkan angka tinggi badan dalam centimeter dengan angka berat badan dalam kg, semakin kecillah hati ini untuk berdonor darah.

Kegiatan dimulai 8 pagi. Kebetulan kawan sekelasku ada juga yang jadi panitia. Ya, itulah hebatnya kegiatan sosial. Meskipun sudah berada pada masa persiapan ujian, tapi masih rela mengorbankan waktu untuk kegiatan diluar intrakulikuler. Kegiatan ini cuma setaun sekali, ngga belajar sehari ga akan bikin bodo seumur-umur kan, kalau catatan kan bisa liat punya temen, ini saatnya berbuat nyata sekemampuan kita untuk sesama. Begitulah kurang lebih kata-kata temanku yang ikut jadi panitia. Tentu saja aku tidak bisa membantah. Aku mengangguk takjim.

“Ayo! Katanya kamu mau ikutan.”, ajak temanku. “Duluan, nanti aku nyusul”, kataku berkilah.      “Mudah-mudahan jangan kaya dua tahun yang lalu!”, sindir temanku. Aku hanya bisa senyum malu, dan temaku berlalu.

Istirahat pertama aku dan teman-teman sekelas seperti biasa shalat duha di mesjid sekolah. Selalu lebih jernih hati dan pikiran setelah menghadap Allah. Parade sosial kembali tergelar di alam pikiranku. Tidak ada alasan untuk ku tidak berdonor kecuali karena takut. Takut yang berasal dari dalam diri sendiri. Aku merenung. Dan akhirnya aku memutuskan untuk melawan rasa takutku dan pergi ke ruang OSIS tepat donor darah dilaksanakan.

Prosedur yang ada aku ikuti, dan ternyata aku dinyatakan layak berdonor. Tegang bukan main saat-saat jarum donor ditusukan ke lengan kananku. Tapi ternyata tidak sesakit yang dibayangkan. Ketakutanku itu tidak terbukti sama sekali.


Setelah saat itu, aku rutin berdonor setiap tiga bulan. Selain badan sehat, jiwa sosialku semakin terasah.

No comments:

Post a Comment