Palang Merah Indonesia, itu yang telah tertulis pada kertas usang yang akan dia jadikan bungkus gorengan tapi ku ambil karena ketertarikanku pada lambang palang berwarna merah yang lebih ku kenal sekarang Palang Merah Indonesia.
“Bu, buku tipis itu buat Bayu saja!” kataku,
“Buku yang mana lagi? Buku yang kau pegang saja belum selesai kau baca, sudah minta lagi yang baru.” kata temanku yang sering kusebut ‘Ibu’ karena dia terlihat lebih dewasa dibanding teman-teman yang lain.
“Ia nih Bayu, pembaca setia!” sahut Dea temanku yang satu lagi.
“Kau” spontan aku sedikit marah.
“Betul ia bisa membaca seharian ratusan lembar buku, tapi dalam menulis selembar pun susah.” Ibu memotong pembicaraanku yang cukup membuatku terdiam.
“Buku-buku ini Ian akan kita jual ke pasar, kalau kau terus ambil buku-buku ini apa yang dapat di jual?” tanya Dea tetap menolak untuk memberi.
“Baiklah, tapi yang ku minta hanya lembaran yang tipis-tipis.” Belaku tetap memohon.
“Ia sih tipis-tipis, tapi kalau sebanyak itu yang kau minta tetap saja terhitung banyak!” Jawab Ibu tegas.
“Kita sedang butuh uang Bayu! Jadi aku NO! Bagaimana Ibu?” tegas Dea.
“No! Sorry Bayu, Dea benar.”
Tapi, tetap saja mereka memberikan aku satu untuk ku pilih karena walaupun persahabatan kami sedikit menjengkelkan tetapi kami saling menyayangi satu sama lain. Buku yang ku pilih adalah buku tipis yang menjadi awal perdebatan kami.
Setelah aku mendapat buku tipis tersebut, aku langsung membacanya. Lembar pertama, kedua dan selanjutnya masih membicarakan tentang pengetahuan umum, sedikit menyesal aku memilih buku ini sampai aku menemukan satu halaman yang berjudul ‘Relawan Masa Depan’, terdapat gambar orang-orang berjejer menggunakan kain segitiga di pundaknya dan berbeda-beda warna, serta gambaran singkat mengenai Palang Merah Remaja begitu pun tingkatannya.
“Wah di SD pun ada PMR, di SD ku kenapa tidak ada ya?” pertanyaan di dalam hatiku dan belum pernah terjawab sampai aku lulus dari Sekolah Dasar dan masuk Sekolah Menengah Pertama.
“Di sini ada PMR! Aku harus masuk dan menjadi relawan masa depan!” niat ku.
Niat ku itu menjadi awal dalam kehidupan ku yang akan terkontaminasi dengan paham-paham Henry Dunant untuk menjadi seorang ‘Relawan’.
“Bay, di mana sekarang kamu?” tanya seseorang di telepon, suara yang ku kenal yaitu suara Ibu teman kecilku dulu.
“Sekarang aku di Markas Bu!” jawabanku yang membuat dia bertanya.
“Markas? maksud Bayu markas apa?”
“Markas Korps Sukarela, Bu!” Jawab ku singkat dan kita pun meneruskan obrolan kami di telepon itu.
Niat awal yang tak disadari dari kertas usang, rasa penasaran dan keterlibatan menimbulkan rasa kecintaan yang begitu dalam. Paham Dunant, kepalangmerahan, dan prinsip-prinsip dasar telah membuat diri ini seseorang yang kukenal. Bayu Lucky Fauzi seorang Relawan PMI.
No comments:
Post a Comment