Gempa bumi yang melanda Jogjakarta sekitar 2006 lalu adalah awal ketertarikanku untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang lain. Bak kota mati, Jogjakarta berubah porakporanda. Namun begitu, ribuan rasa syukur tak hentinya kupanjatkan kepada sang Khaliq atas anugerah keselamatanNYA kepada kami sekeluarga kala itu.
Entah kenapa, seakan ada desakan yang begitu kuatnya dalam hati ini untuk membantu. Namun aku hanyalah seorang anak sekolah yang bahkan tak tahu apa yang harus diperbuat untuk membantu. Bertahun tahun aku terbelenggu dalam rasa bersalah, yang tiada mampu menolong mereka yang membutuhkanku kala itu.
Mei 2012, baru kutemukan titik terang dari keinginan yang membelengguku. Brosur rekrutmen KSR PMI tertempel di papan pengumuman kampusku. Segera ku hubungi nomor yang tertera disana, senyum itu mendadak berubah layu, semangat yang tercipta mendadak sirna. Fase rekrutmen telah berlalu. Lagi lagi aku menjadi manusia yang gagal menjadi penolong mereka yang membutuhkan. Mungkin memang bukan waktu yang tepat untukku.
Setahun berlalu, mendadak kakak kelasku masa SMP menandaiku dalam sebuah brosur rekrutmen KSR PMI. Tanpa pikir panjang segera ku daftarkan diriku, bahkan tanpa sebelumnya mengantongi restu dari orang tuaku. Di rumah, ku ceritakan keinginanku pada orangtuaku. Namun, ada penolakan yang luar biasa dari ayahku. Wajahnya berubah merah, sorot matanya tajam bak elang yang siap menerkam tikus di tengah padang ilalang. Namun, Dalam tajamnya sorot mata itu aku melihat adanya kerapuhan. Ketakutan hebat yang mengendap jelas di balik tajamnya sorot mata itu. Akhirnya restu itu ku dapatkan. 2 bulan fase diklat ku lalui, ternyata menjadi relawan seberat ini upayanya.
Beberapa bulan kemudian di jalan terjadi kecelakaan, dengan pengetahuan yang aku dapat semasa diklat, aku bantu orang itu. Esok harinya, aku menjenguk saudaraku yang berada di rumah sakit yang sama dengan orang yang aku tolong itu. Iseng aku bertanya kepada resepsionis, “Bapak Agung yang kemarin kecelakaan di Prawirotaman sudah pulang belum”. Terkejutnya, sang resepsionis mengatakan bahwa bapak itu telah meninggal dunia. Bahkan aku tidak jua mengerti kenapa mendadak mata ini meneteskan air mata, aku bahkan tak kenal orang itu.
Dari sana aku belajar satu hal, bahwa saat kita menolong dengan cara yang paling benar sekalipun, ada proses yang tiada bisa kita mengerti. Proses dimana mekanisme Tuhan bekerja. Takdir, ya proses itu adalah takdir. Kita tiada tahu kapan usia ini akan berakhir. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi bahkan untuk satu detik kedepan.
Untuk itulah kita harus siap atas segala kemungkinan. Wahai relawan, teruslah menolong sesama. Benar memang mungkin dengan menolong tidak akan menghindarkan kita dari kematian, namun doa-doa mereka yang tulus kita bantu itulah yang mungkin nanti menolong kita di Hari Perhitungan, hari dimana amal kebaikan manusia di timbang untuk menentukan kelayakan kita menggapai surga. Inilah bukti, menjadi relawan PMI adalah fase menuju kedewasaan sikap dan pola pikir.
Inilah PMI ku, inilah cerita Palang Merahku, bukan FTV bukan telenovela, bukan pula kedustaan yang dirangkai dalam kata untuk menarik simpati.
Inilah PMI ku, inilah cerita Palang Merahku, sebuah realita yang tergambar nyata dalam sebuah cerita, tempat dimana manusia memanusiakan manusia.

No comments:
Post a Comment