Mendengar kata PMI mengingatkan saya pada enam tahun yang lalu, dimana saat kelas 1 SMP saya mengenal kata ”PMI” atau kalau di sekolah adalah Palang Merah Remaja yang disingkat PMR untuk pertama kali. Meskipun saya tidak pernah ikut kegiatan PMR di sekolah, Menariknya teman-teman baik saya adalah orang-orang yang sangat erat kaitannya dengan PMI. Sahabat baik saya saat SMP adalah Ketua PMR yang karena dialah saya tahu Henry Dunant adalah Bapak Palang Merah dunia. Kisah saya mengenal PMI berlanjut pada saat kelas 2 SMA, keempat sahabat saya merupakan anggota PMR di sekolah bahkan salah satu diantaranya adalah Ketua PMR di SMA dan aktif diberbagai kegiatan KepalangMerahan.
Dari dialah saya belajar mengenai P3K, mekanisme pertolongan dan keselamatan, bahaya narkoba, kesehatan organ kewanitaan dan yang paling berharga adalah ketika dia mengatakan bahwa “Menolong adalah perbuatan terbaik tanpa memerlukan syarat & alasan”. Mereka berempat juga sering menggalakan santutan bagi yang membutuhkan dengan sangat sederhana mereka meminta rp.1000 dari tiap orang dan saya ingat hal tersebut dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Terdengar kecil tapi bagi saya pribadi itu sangat besar manfaatnya karena mekanisme dan tujuan mereka melakukan hal tersebut jelas sehingga menyisihkan sedikit uang jajan pun terasa tak berat karena mereka tidak pernah memaksa.
Memasuki usia 16 tahun dan disaat yang bersamaan sekolah saya yakni SMAN 1 Sukabumi merayakan hari jadinya yang ke 50, pada hari ketiga ulang tahun sekolah saya tersebut diadakan acara donor darah sukarela di UKS. Dan di hari itulah saya untuk pertama kalinyamelakukan donor darah disaat usia saya belum genap 17 tahun. Ketika mengisi formulir saya menggenapkan tahun lahir saya 1995 menjadi 1994, sehingga petugas pun tak curiga. Setelah tes darah selesai, saya langsung berbaring dan prosesi donor darah dilakukan dengan baik dan lancar.
Saya adalah satu-satunya siswi yang mendonorkan darah dari seluruh teman-teman saya di kelas atau bahkan keseluruhan siswa-siswi kelas 11 waktu itu. Dengan dikelilingi teman-teman dan guru-guru yang hamper semuanya memiliki ketakutan akan jarum suntik, saya pun berhasil mendonorkan darah. Saya hanya berpikir bahwa darah yang saya punya tidaklah Tuhan ciptakan untuk kelngsungan hidup saya sendiri tetapi sedikit keberanian saya pada saat itu bias memberikan banyak harapan bagi mereka yang membutuhkan.
Pengalaman kedua melakukan donor darah belum lama ini saya rasakan kembali ketika tepat 100 tahun Kota kelahiran saya tercinta Sukabumi pada 1 April 2014 kemarin. Sedikit berbeda kali ini kegiatan dilakukan outdor didepan pusat perbelanjaan, diantara yang mendonorkan darahnya adalah laki-laki usia 25 tahun sampai 50 tahunan. Kebahagiaan dan ketenangan itu kembali saya rasakan pada saat saya berbaring diatas tandu dan petugas mengambil darah saya. Tak ada hal yang lebih indah dari berbagi selagi kita mampu memberikan sedikit dari apa yang kita miliki dengan niat ikhlas untuk orang lain.
No comments:
Post a Comment