Pengurangan risiko bencana, sangat familiar dikalangan yang mahfum tentang dunia kebencanaan, terlibat dalam kegiatan yang memiliki hubungan langsung dengan pengurangan risiko bencana menambah perbendaharaan masalah kebencanaan, apalagi fokus bencana bukan hanya yang sifatnya memberi dan memenuhi kebutuhan saat terjadinya bencana, tetapi penguatan konsep bencana merupakan kebutuhan masyarakat sebenarnya.
Senada dengan kegiatan PMI akan program pengurangan risiko terpadu berbasis masyarakat (PERTAMA) menjadi salah satu program “andalan” dengan penerapan pendekatannya “bottom-up” dari, oleh dan untuk masyarakat, bertujuan meningkatkan dan menciptakan ketahanan masyarakat terhadap bencana.
Dengan adanya dukungan palang merah Denmark melalui PMI Pusat, PMI Kabupaten Majene mendapat kepercayaan menjalankan program yang dimaksud, berjalan dari tahun 2009-2012 sebagai tahapI, dilanjut lagi pada tahun 2012-2013 sebagai tahapII, kesemuanya mencakup 8 desa sebagai area pilot program.
Saya tergabung sebagai pelaksana ditingkat kabupaten bersama relawan KSR, tugas paling awal selain sosialisasi adalah terbentuknya Tim SIBAT (siaga bencana berbasis masyarakat) melalui penjaringan masyarakat setempat yang memiliki semangat tinggi untuk bergabung dalam dunia kemanusian sebagai relawan desa.
Mulailah tim SIBAT mengawali tugasnya, dari rumah kerumah mereka melakukan pendataan dengan membawa lembar survey didampingi KSR, ada hal menarik ketika wawancara kala itu, “assalamualaikum, kami dari tim SIBAT akan melakukan wawancara, Indo*”, kata anggota SIBAT sebagai pewawancara”, “partai ini darimana?”, balas Indo. Melangkah kerumah selanjutnya, “Silahkan masuk PMI, partai palang merah Indonesia”, sambutan dari pemilik rumah, tiba disalah satu rumah lagi “partai ini miliknya pak yusuf kalla ya ?”, asumsi dari masyarakat lokal yang mengidentikan PMI dengan partai, menyadarkan bahwa banyak masyarakat yang belum memahami tentang PMI utamanya menyangkut, peran, fungsi serta kedudukan PMI serta makna lambangnya, ditambah dengan maraknya kegiatan politik beberapa tahun belakangan menjadi tantangan tersendiri.
Akhirnya bersama tim SIBAT, KSR, pengurus PMI dalam hal ini pokja (kelompok kerja) program dan pemerintah desa, membahas hal demikian secara bersama-sama, agar SIBAT dan PMI tidak disamakan dengan partai.
Lahirlah beberapa pendekatan untuk memperkenalkan PMI seluas-luasnya, dengan harapan persepsi masyarakat dapat terganti.
Seiring berjalannya waktu, pemahaman masyarakat pun meningkat sebab fokus kegiatan tidak hanya secara formal, melainkan SIBAT-PMI hadir disela kegiatan kemasyarakatan seperti remaja masjid, kelompok tani, kelompok nelayan, berpartisipasi dalam kegiatan desa seperti pekan budaya desa, pesta rakyat, kegiatan posyandu, puskesmas keliling, kegiatan PMR di SD dan SMP serta kegiatan non formal lainnya, menjadi media bersosialisasi atau menyebar poster, selebaran, imbauan yang isinya tentang PMI dan upaya kesiapsiagan bencana dan kesehatan.
Membawa dampak yang sangat positif dan efektif, terbukti masyarakat sudah mampu mengetahui tugas dan fungsi PMI yang benar, hal ini pula yang melancarkan jalannya kegiatan program kala itu didalam desa, sehingga kegiatan pengurangan risiko tetap dapat dipertahankan meski tanpa melalui dukungan program lagi.
“Pengurangan risiko berawal dari diri anda sendiri”, tetap selalu didengu-dengunkan SIBAT hingga saat ini, terlebih dengan semakin aktifnya mereka, membawa perubahan besar baik secara perorangan ataupun secara kelompok, sebab dukungan dan kepercayaan dari masyarakat dan pemerintah desa menjadi modal utama mereka.
Menutup cerita kisah ini dengan bahasa Mandar, dan merupakan kalimat yang diucapkan masyarakat, “PMI mappariang SIBAT, maayomai sara na pabanua”, artinya “PMI melahirkan SIBAT, menjadikannya pengayom penyelesaian masalah masyarakat”.
No comments:
Post a Comment