Kegembiraan kami saat menjadi siswa baru di salah satu SMA di Jakarta tiba-tiba berubah menjadi kegalauan saat itu. Hari itu adalah hari MOS terakhir dimana siswa baru diwajibkan untuk memilih ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Entah apa yang mempengaruhiku, namun siang itu aku benar-benar yakin kalau aku satu-satunya cowok yang ada di antrian salah satu stand pendaftaran sebuah ekskul yang menjadi awal perjalanan di dunia yang telah membesarkanku. Ekskul itu bernama PMR.
Kegalauanku semakin bertambah karena pada saat itu terdapat stigma kalau PMR = Ekskul Perempuan dan sangat bertolak belakang dengan ekskul populer berbau cowok lainnya seperti futsal, basket, dan lainnya. Saya masih ingat betul bagaimana teman-teman saya mengejek saya saat itu.
“Ikut apa Dim?” Saya dengan bangga menjawab, “PMR!”. Mereka menjawab, “Yah kayak anak perawan aja ikut PMR.”
Saya hanya bergeming mendengar jawabannya saat itu. Ibuku seorang perawat dan pernah menyaranku untuk ikut PMR, tapi itu belum cukup untuk membuatku bertahan dalam antrian siang itu. Ayahku pernah berpesan dengan logat betawinya yang khas “Mau jadi orang susah kek, kaya kek, yang penting bermanfaat buat orang laen, blon jadi orang kalau blon bermanfaat buat orang laen.”
Sesaat kata-kata itu terdengar biasa, tapi itu terus membuatku bertanya dengan usiaku yang terus bertambah. Manfaat apa yang sudah aku perbuat untuk orang lain? mungkin pesan beliau yang membuatku tetap bertahan sebagai pendaftar cowok satu satunya siang itu. Aku merasa ini modal awalku ke depan untuk bisa jadi orang seutuhnya.
Satu tahun sudah aku menjadi PMR Wira di SMA-ku, ternyata keberadaanku di PMR membuat beberapa cowok lain mendaftar. Banyak pengalaman yang aku dapatkan, salah satu yang paling berkesan adalah saat aku mengobati salah seorang perempuan yang cukup popular di SMA. Saat itu, aku dihampiri oleh pacar perempuan tersebut. Dia sangat berterima kasih kepadaku dan dia juga menyesal dulu sempat menghinaku karena ikut PMR. Waktu itu, aku senang karena sudah bisa membantu meringankan beban orang lain. Terlebih aku berhasil membuktikan kalau PMR itu justru ekskul yang cowok banget, karena tugas kita para cowok untuk selalu bisa diandalkan dan melindungi para perempuan.
Tahun 2007, aku diterima di salah satu PTN di Kota Solo, Jawa Tengah. Tanpa ragu aku langsung mendaftar sebagai anggota KSR unit yang ada di kampus. Ternyata atmosfir berbeda yang aku rasakan, di masa pendidikan kami dididik semi militer, keras dan penuh perjuangan. Banyak teman satu angkatan yang mundur dengan berbagai alasan, untungnya aku tetap memiliki keyakinan penuh bahwa apa yang saya pilih adalah jalan yang tepat.
Tujuh tahun sudah saya menjadi anggota KSR di Solo. Banyak pengalaman yang sudah rasakan, turun ke bencana, pelatihan, berorganisasi dan sampai sekarang saya masih aktif melatih beberapa PMR di Solo. Kami mungkin bukan unit kegiatan dimana para anggotanya berkesempatan untuk mendapatkan prestasi berupa piala atau sertifikat. Bagi kami senyuman para korban bencana itulah piala kami yang sesungguhnya. Palang merah tidak pernah memberiku sesuatu kecuali keluarga dan sebuah makna kehidupan yang mungkin dialami pula oleh ratusan atau mungkin ribuan relawan palang merah di luar sana.
No comments:
Post a Comment