Monday, April 21, 2014

Jaffar: Hikmah Donor

Setahun yang lalu kejadiannya. Ketika seseorang yang kami anggap sudah seperti saudara sendiri memperbanyak SMSnya ke ratusan kontak dalam ponselnya. Layang singkat, lugas dan darurat. Budayawan kondang  yang akhir-akhir ini kerap diakrabinya itu tengah membutuhkan pertolongan serius. Vonis dokter 12 tahun silam atas komplikasi penyakitnya mengharuskan ia melakukan cuci darah rutin tiap bulannya. Namun, malam itu terlampau parah nampaknya. Sampai-sampai tersiar kabar semacam itu. Jenis darah yang terbilang langka membuat simfoni makin meninggi emosinya hingga menimbulkan efek tergesa-gesa.   

Keringat lembab masih menempel lekat dalam kaos kumal kenaannya. Ia baru saja mengakhiri latihan olahraga beladiri. Dengar kabar itu, Stevani dan beberapa kawan yang kebetulan memiliki kesamaan darah segera diberangkatkan ke pesakitan malam itu juga. Kala itu, malam mendekati waktu dini hari. Jalanan masih ramai, diam kaku dilalui hilir-mudik kendaraan. Pintu gerbang muat dilalui dua tubuh orang sengaja dibukakan penjaga keamaan kampus mendengar alasan logis itu. Empat buah taxi dilajukan dengan kecepatan tinggi. Pemandangan pohon hanya menyeringai semu menyaksikan kekhawatiran pada waktu itu. Sesekali plang, banner toko yang memberi warna selain coklat dan hijau pada keduanya  sekelebat mengurangi kekhawatiran manusia seisi taxi. Taxi masih gagah disetir.

Selanjutnya, sekawanan manusia berwajah letih dan panik saling berkoloni. Ada yang menyandarkan kepalanya pada bahu salah satu temannya, ada yang menempelkan jidatnya ke dinding sembari memukul-mukulkan genggaman jemarinya. Ada juga yang memainkan tisu, mengusap pipi dan kelopak matanya. Tak ada yang meraung untungnya. Stevani dan lainnya hanya melintas di antara pemandangan opera minerva itu. Sekilas cukup menggelikan memang.

Tiba-tiba, sebuah dimensi ruang cukup menciutkan nyali liliput-- yang mengatasnamakan diri mereka relawan—tercipta. Sebuah hand properti berbentuk jarum mulai membayangi masing-masing benak mereka. Tergambar jelas lumur darah yang akan mengucur dari eratan kepingnya. Terang saja, tidak kesemuanya pernah melakukan donor darah. Malahan, satu di antara mereka pengidap fobia darah. Warna putih ruangan dan mebeleur dalam ruangan itu sedikitpun tidak berkompromi dengan rasa takut.

Cuma fragmen singkat rupanya. Beberapa saat setelah itu mereka saling ungkap keadaan mereka tengah baik-baik sediakala. Jarum suntik, lumur darah atau stetoskop silau mudah saja dilalui Stevani dan kawan-kawannya. Sudah kelar rupanya, misi mendermakan secuil darahnya terealisasi. Terkumpul 24 ml darah berjenis sama. Namun, tak berhenti di situ. Pasien yang awalnya mengidap keseriusan pada ginjalnya masih membutuhkan seperempat lagi darah yang terkumpul. Tak beberapa lama, Nisri bersama 4-5 orang melakukan langkah berisik sama seperti Stevani dan teman-temannya tadi.  Dan kabar menggembirakan datang melalui perantara dokter cantik yang keluar dari ruangan tempat budayawan diinapkan.

Dan mendadak hening, sumringah terkembang di mulut-mulut liliput yang sempat melakukan opera minerva. Belasan mata sendu terperangai menyaksikan dokter yang dianggap membantu selamatkan nyawa pasien bergelar budayawan itu.

Pada fragmen yang terpaut lama usai kejadian itu, terkisah menjadi sebuah kenyataan yang menakjubkan. Sekian banyak relawan donor darah yang terdiri dari Stevani dan rombongannya hingga saat ini belum pernah (alhamdulillah) mengidap penyakit yang serius parah. Bahkan, hikmah dari moment itu salah satu dari mereka ketagihan dan memutuskan bergabung dengan Palang Merah Indonesia rintisan kampus.


No comments:

Post a Comment