Setahun yang lalu
kejadiannya. Ketika seseorang yang kami anggap sudah seperti saudara sendiri memperbanyak
SMSnya ke ratusan kontak dalam ponselnya. Layang singkat, lugas dan darurat.
Budayawan kondang yang akhir-akhir ini
kerap diakrabinya itu tengah membutuhkan pertolongan serius. Vonis dokter 12 tahun silam atas komplikasi
penyakitnya mengharuskan ia melakukan cuci darah rutin tiap bulannya. Namun,
malam itu terlampau parah nampaknya. Sampai-sampai tersiar kabar semacam itu. Jenis
darah yang terbilang langka membuat simfoni makin meninggi emosinya hingga
menimbulkan efek tergesa-gesa.
Keringat lembab masih
menempel lekat dalam kaos kumal kenaannya. Ia baru saja mengakhiri latihan
olahraga beladiri. Dengar kabar itu, Stevani dan beberapa kawan yang kebetulan
memiliki kesamaan darah segera diberangkatkan ke pesakitan malam itu juga. Kala
itu, malam mendekati waktu dini hari. Jalanan masih ramai, diam kaku dilalui
hilir-mudik kendaraan. Pintu gerbang muat dilalui dua tubuh orang sengaja
dibukakan penjaga keamaan kampus mendengar alasan logis itu. Empat buah taxi
dilajukan dengan kecepatan tinggi. Pemandangan pohon hanya menyeringai semu
menyaksikan kekhawatiran pada waktu itu. Sesekali plang, banner toko yang memberi
warna selain coklat dan hijau pada keduanya sekelebat mengurangi kekhawatiran manusia
seisi taxi. Taxi masih gagah disetir.
Selanjutnya,
sekawanan manusia berwajah letih dan panik saling berkoloni. Ada yang menyandarkan
kepalanya pada bahu salah satu temannya, ada yang menempelkan jidatnya ke
dinding sembari memukul-mukulkan genggaman jemarinya. Ada juga yang memainkan
tisu, mengusap pipi dan kelopak matanya. Tak ada yang meraung untungnya.
Stevani dan lainnya hanya melintas di antara pemandangan opera minerva itu.
Sekilas cukup menggelikan memang.
Tiba-tiba, sebuah
dimensi ruang cukup menciutkan nyali liliput-- yang mengatasnamakan diri mereka
relawan—tercipta. Sebuah hand properti berbentuk jarum mulai
membayangi masing-masing benak mereka. Tergambar jelas lumur darah yang akan
mengucur dari eratan kepingnya. Terang saja, tidak kesemuanya pernah melakukan
donor darah. Malahan, satu di antara mereka pengidap fobia darah. Warna putih
ruangan dan mebeleur dalam ruangan itu sedikitpun tidak berkompromi dengan rasa
takut.
Cuma fragmen singkat
rupanya. Beberapa saat setelah itu mereka saling ungkap keadaan mereka tengah
baik-baik sediakala. Jarum suntik, lumur darah atau stetoskop silau mudah saja
dilalui Stevani dan kawan-kawannya. Sudah kelar rupanya, misi mendermakan
secuil darahnya terealisasi. Terkumpul 24 ml darah berjenis sama. Namun, tak
berhenti di situ. Pasien yang awalnya mengidap keseriusan pada ginjalnya masih
membutuhkan seperempat lagi darah yang terkumpul. Tak beberapa lama, Nisri
bersama 4-5 orang melakukan langkah berisik sama seperti Stevani dan
teman-temannya tadi. Dan kabar
menggembirakan datang melalui perantara dokter cantik yang keluar dari ruangan
tempat budayawan diinapkan.
Dan mendadak hening,
sumringah terkembang di mulut-mulut liliput yang sempat melakukan opera
minerva. Belasan mata sendu terperangai menyaksikan dokter yang dianggap
membantu selamatkan nyawa pasien bergelar budayawan itu.
Pada fragmen yang
terpaut lama usai kejadian itu, terkisah menjadi sebuah kenyataan yang menakjubkan.
Sekian banyak relawan donor darah yang terdiri dari Stevani dan rombongannya
hingga saat ini belum pernah (alhamdulillah) mengidap penyakit yang serius
parah. Bahkan, hikmah dari moment itu salah satu dari mereka ketagihan dan
memutuskan bergabung dengan Palang Merah Indonesia rintisan kampus.
No comments:
Post a Comment