Donor darah? Maksudnya menyumbangkan darah untuk orang lain? Nanti anemia, dong!
Begitulah pemikiran saya waktu masih SMA. Bagi saya, nggak masuk akal bahwa dengan menyumbangkan darah pada orang lain tak akan menimbulkan efek negatif pada kesehatan. Minimal anemia,begitu pikir saya. Ditambah saya phobia darah, lengkap sudah alasan untuk tidak sedikit pun berurusan dengan kegiatan ‘berdarah’ tersebut.
Beberapa tahun kemudian, saat Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi di kampus saya jadi penyelenggara kegiatan donor darah, saya diajak teman-teman untuk melihat aktifitas tersebut. Berniat ikut? Awalnya tidak. Alasannya masih sama, khawatir anemia dan phobia darah. Nggak lucu kan kalau saya menyumbangkan darah tapi habis itu pingsan?
“Mbak, donor darah itu justru banyak manfaatnya untuk kesehatan. Bisa membantu sirkulasi darah, membantu menurunkan berat badan…” petugas PMI menyebutkan banyak manfaat yang tak semua saya ingat. Ia lalu melanjutkan, “Mbak tahu nggak kalau kebutuhan darah di Indonesia itu sekitar empat juta kantong pertahun, dan saat ini hanya ada sekitar satu juta kantong per tahun. Padahal satu kantong darah yang disumbangkan, bisa menyelamatkan tiga nyawa.” ujarnya
Saya terhenyak mendengar penjelasan itu. Membayangkan seandainya suatu saat ada di posisi orang yang membutuhkan darah karena sakit atau kecelakan, mesti menunggu hanya untuk mendapatkan darah? Maka tanpa pikir panjang, saya pun menganggukkan kepala untuk menjadi pendonor.
Lantas bagaimana dengan ketakutan saya sebelumnya? Alhamdulillah ternyata apa yang saya khawatirkan selama ini tak terbukti! Saya sama sekali nggak merasa lemas (apalagi pas habis donor darah dikasih semangkok kacang ijo, saya langsung segar). Serius, segala ketakutan akan terkena penyakit ‘multi-L’ alias Lemah, Letih, Lesu, Lemas, Lunglai, Loyo itu nggak terjadi sama saya. Malah saya merasa badan lebih fit.
Itulah akibat nggak memiliki pengetahuan memadai tentang manfaat donor darah, dengan bodohnya saya memilih untuk enggak mau berpartisipasi dalam salah satu kegiatan mulia PMI yang satu ini.
Selanjutnya, hitung-hitung ‘bayar utang’ atas kebodohan di masa lalu, saya jadi hobi sama donor darah. Saya nggak kecewa meski seringkali ditolak karena tensi rendah. Nggak Cuma berpartisipasi sendiri, saya juga suka ‘memprovokasi’ orang lain untuk ikut donor darah. Mulai dari ibu dan ayah, saudara, teman sampai beberapa tahun kemudian saya berhasil membuat suami mendonorkan darahnya untuk pertama kali. Ia bahkan merutinkan untuk ikut donor darah secara berkala.
Sebuah kisah nyata kurangnya persediaan kantong darah di Indonesia saya lihat langsung saat sedang membantu menggalang dana pengobatan putera seorang teman yang menderita Thalassemia Mayor. Menurut pengakuannya, setiap puteranya akan ditransfusi, setidaknya sehari sebelumnya ia harus menghubungi PMI untuk menanyakan ketersediaan darah. Dari situ saya semakin gencar mengajak sanak saudara dan teman untuk mau menjadi donor darah.
Jika berbagai manfaat kesehatan tak mampu menggerakkan Anda untuk menjadi pendonor, maka lakukanlah ini demi kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment