Monday, April 21, 2014

Rauhiyatul: Hutang Nyawa Kami pada PMI

Saya belum pernah sekalipun menyambangi kantor PMI, apalagi menyumbangkan darah disana. Selain karena takut, sosialisasi di lingkungan kami memang kurang. Saya tinggal di pemukiman padat, dengan aktifitas kebanyakan buruh pekerja kasar dan pedagang, yang hanya tahu dan sibuk mencari nafkah saja. Sehingga, keberadaan dan peran penting PMI, jujur saja bagi penduduk seperti kami masih abu-abu.

Hingga suatu ketika, saya tersadar, kami sangat membutuhkan PMI.Saat itu,  Ibu saya yang saya tahu hampir mendekati usia menopause, terdiagnosa hamil. Tanpa dinyana usia kehamilannya pun sudah tujuh bulan. Berkah sekaligus syok ibu mengetahui hal ini. Artinya beberapa minggu lagi, aku yang saat itu sudah punya bayi, bakal dapat adik.

Tibalah mendekati masa partus. Ibu yang rupanya telah lama tidak pernah mengandung, merasa tertekan menjelang kelahiran. Penyakit lamanya kambuh. Tekanan darahnya melonjak hingga melewati batas aman. 24/18 kalau tidak salah dengar, saat bu bidan memeriksa. Bayi dalam kandungan ibu sudah semakin melemah gerak dan detak jantungnya. Mau tidak mau Ibu harus segera di operasi. Kami segera memaksa ibu untuk dirawat.

Rupanya, kondisi ibu yang mengkhawatirkan tersebut, mengharuskan beliau mendapat transfusi darah. Abah kebingungan. Kemana beliau harus mencari donor darah untuk Ibu. Beruntung rumah sakit tempat ibu dirawat, dekat sekali lokasi nya dengan PMI. Abah langsung saja berlari ke kantor PMI dan minta pertolongan.

Bagi orang awan seperti abah, tentu membingungkan prosedur apa yang harus dilakukan. Tetapi, petugas-petugas PMI disana sangat sopan dan mau bekerja keras membantu Ibu. Dengan cekatan mereka mengontak beberapa donor dan berlari kesana-kemari mengurus segala hal. Sungguh saya sangat berterimakasih atas nama orang tua saya. Mereka yang berdiri dalam naungan PMI rela melakukan segalanya demi menyelamatkan nyawa ibu dan adik saya. 

No comments:

Post a Comment