Monday, April 21, 2014

Uthera: Donor Is an Honor

Takut jarum dan darah, itulah saya. Tapi, bila melihat mobil PMI atau spanduk donor darah, kaki saya pasti langsung mendekatinya. Teman saya mengatakan, saya melakukannya karena ada mie instan, telur rebus, dan susu gratis. Dan saya selalu menjawabnya, donor darah itu adalah suatu bentuk kehormatan tertinggi dalam menolong sesama. Atau dengan mengatakan; darah gue boleh kagak biru, tapi donor mah kudu.

Tapi, ada satu hal yang harus saya akui dan semoga ini bukan dosa besar karena merugikan resipen. Saya pernah mendonorkan darah ketika saya baru dua hari selesai haid. Mungkin saat itu kadar zat besi dalam darah saya masih kurang optimal. Padahal, saya bisa saja terkena anemia dan kekurangan zat besi. Hanya saja, pikiran saya saat itu: Kalau tidak donor sekarang, kapan lagi? Karena donor langsung di markas PMI itu bagi saya sungguh sangat horor.

Di kepala saya terbayang bila di markas PMI itu pasti banyak jarum suntik dan kantung darah yang digantung atau dipajang. Padahal, teman—relawan PMI—sudah berulang kali memberitai bahwa tidak ada yang semacam itu. Tapi, agak sulit mengenyahkan pikiran melantur itu.

Dan akhirnya, saya hanya mencari mobil PMI atau tempat donor di luar markasnya saja. Misalnya di Car Free Day Serang. Kadang PMI Kota atau pun Kabupaten Serang suka mangkal di sana, walaupun tidak setiap Minggu. Tapi pada Minggu (13/04), saya beruntung melihat mobil bergambar darah besar dan bertuliskan ‘Donor Sekarang’ itu. Hari itu saya datang dengan damai, haid sudah lama usai.

Ada yang berbeda hari itu, petugas PMI yang biasanya saya panggil ‘oom’ atau ‘tante’, saat itu bisa saya panggil kakak. Kakak tampan. Itulah kata yang bermula muncul di kepala saya, sebelum kemudian menyusul kata ‘tumben’.

Setelah mengisi formulir, saya langsung menuju seorang kakak PMI untuk memeriksakan tensi saya. Saya masih mengaguminya ketika terdengar suara halusnya.

“Tensinya kurang, nih, kak. cuma 90,” ujarnya.

“Masa, sih, kak? Duh, gimana, dong?” Ujar saya agak bingung.

“Udah sarapan?” tanyanya. Saya menggelengkan kepala. “Coba kakak sarapan dulu, siapa tahu nanti tensinya naik,” sambungnya sembari tersenyum amat manis dan langsung saya sambut dengan anggukan kepala seperti terhipnotis.

Selesai sarapan, saya kembali ke mobil PMI. Kakak itu tersenyum, begitu pun saya.

“Sudah sarapan, kak?” tanyanya ketika melihat saya duduk dan langsung menjulurkan tangan meminta ditensi. Saya mengangguk. Dua kali pegang, berarti nggak boleh lepas. Batin saya. “Wah, kok masih 90, ya, kak?” Ucapnya seraya tertawa. Suara tawanya sebenarnya lucu di telinga saya, tapi tawa itu pula membuat saya mendelik.

“Masa, sih, kak?” Kaget saya. “Yah, sudah dua kali mau donor nggak jadi melulu,” sambung saya rada curhat.

“Mungkin lain kali saja, kak,” ujarnya seperti mencoba membesarkan hati saat melihat saya memajukan bibir beberapa centi. “Terima kasih, ya, kak,” sambungnya tanpa melepaskan senyumnya. Saya mengiyakan. ‘Coba tadi sarapannya disuapin kakak, mungkin tensi saya benar-benar naik,’ gumam saya sembari berjalan menjauh.




No comments:

Post a Comment