Takut jarum dan darah, itulah saya.
Tapi, bila melihat mobil PMI atau spanduk donor darah, kaki saya pasti langsung
mendekatinya. Teman saya mengatakan, saya melakukannya karena ada mie instan,
telur rebus, dan susu gratis. Dan saya selalu menjawabnya, donor darah itu adalah
suatu bentuk kehormatan tertinggi dalam menolong sesama. Atau dengan
mengatakan; darah gue boleh kagak biru,
tapi donor mah kudu.
Tapi, ada satu hal yang harus saya
akui dan semoga ini bukan dosa besar karena merugikan resipen. Saya pernah mendonorkan
darah ketika saya baru dua hari selesai haid. Mungkin saat itu kadar zat besi
dalam darah saya masih kurang optimal. Padahal, saya bisa saja terkena anemia
dan kekurangan zat besi. Hanya saja, pikiran saya saat itu: Kalau
tidak donor sekarang, kapan lagi? Karena donor langsung di markas PMI
itu bagi saya sungguh sangat horor.
Di kepala saya terbayang bila di
markas PMI itu pasti banyak jarum suntik dan kantung darah yang digantung atau
dipajang. Padahal, teman—relawan PMI—sudah berulang kali memberitai bahwa tidak
ada yang semacam itu. Tapi, agak sulit mengenyahkan pikiran melantur itu.
Dan akhirnya, saya hanya mencari mobil
PMI atau tempat donor di luar markasnya saja. Misalnya di Car Free Day Serang. Kadang PMI Kota atau pun Kabupaten Serang suka
mangkal di sana, walaupun tidak setiap Minggu. Tapi pada Minggu (13/04), saya beruntung
melihat mobil bergambar darah besar dan bertuliskan ‘Donor Sekarang’ itu. Hari itu saya datang dengan damai, haid sudah
lama usai.
Ada yang berbeda hari itu, petugas PMI
yang biasanya saya panggil ‘oom’ atau ‘tante’, saat itu bisa saya panggil
kakak. Kakak tampan. Itulah kata yang
bermula muncul di kepala saya, sebelum kemudian menyusul kata ‘tumben’.
Setelah mengisi formulir, saya langsung
menuju seorang kakak PMI untuk memeriksakan tensi saya. Saya masih mengaguminya
ketika terdengar suara halusnya.
“Tensinya kurang, nih, kak. cuma
90,” ujarnya.
“Masa, sih, kak? Duh, gimana, dong?” Ujar saya agak bingung.
“Udah sarapan?” tanyanya.
Saya menggelengkan kepala. “Coba kakak sarapan dulu, siapa tahu nanti tensinya
naik,” sambungnya sembari tersenyum amat manis dan langsung saya sambut dengan
anggukan kepala seperti terhipnotis.
Selesai sarapan, saya kembali ke mobil
PMI. Kakak itu tersenyum, begitu pun saya.
“Sudah sarapan, kak?” tanyanya
ketika melihat saya duduk dan langsung menjulurkan tangan meminta ditensi. Saya
mengangguk. Dua kali pegang, berarti
nggak boleh lepas. Batin saya. “Wah, kok
masih 90, ya, kak?” Ucapnya seraya tertawa. Suara tawanya sebenarnya lucu di
telinga saya, tapi tawa itu pula membuat saya mendelik.
“Masa, sih, kak?” Kaget saya. “Yah,
sudah dua kali mau donor nggak jadi melulu,”
sambung saya rada curhat.
“Mungkin lain kali saja, kak,” ujarnya
seperti mencoba membesarkan hati saat melihat saya memajukan bibir beberapa
centi. “Terima kasih, ya, kak,” sambungnya tanpa melepaskan senyumnya. Saya
mengiyakan. ‘Coba tadi sarapannya
disuapin kakak, mungkin tensi saya benar-benar naik,’ gumam saya sembari
berjalan menjauh.
No comments:
Post a Comment