Suatu
ketika saya pernah bertemu seorang wanita yang sebelah sayapnya patah. Siang itu Surabaya begitu
panas. Matahari cerah bertengger di puncak langit Oktober. Saya berjalan di
bawah deretan pohon Angsana sepanjang Jalan Embong Ploso.
Bayang-bayang rimbun dedaun tak mampu mencegah sang surya menggarang aspal
dengan kejamnya. Seperti biasa, jalan itu sunyi. Suara radio sayup keluar dari
sebuah warung sepi. Tugu Bambu Runcing tegak di kejauhan, dikerubuti kendaraan
yang lalu-lalang seperti segerombolan semut yang sibuk. Waktu itu saya sama
sekali tidak membayangkan bahwa apa yang akan saya temui pada lobi gedung PMI bukanlah bangku-bangku
kosong dan tangga yang angkuh menjulang seperti biasa.
Melewati
sepasang pintu dorong, saya disembur oleh seorang wanita separuh baya.
“Apa
golongan darahmu?” serbunya.
Saya kebingungan. Dengan agak gagap saya menjawab,
“B.”
Ia
mendadak lesu. Cahayanya yang tadi sejenak memancar seketika redup bagai nyala sepotong
lilin berjuang melawan deraan badai.
“Saya
perlu darah A,” kemudian ia berkata. “Anak saya kecelakaan dan perlu donor darah
segera, tapi di rumah sakit tidak ada stok. Saya disuruh kemari. Di sini juga
tidak ada stok.” Kemudian
ia diam, menekuri lantai. Saya diam. Suara printer menjerit-jerit memantul pada
dinding dingin.
“Iya,
saya B,” ulang saya. Menyesal.
Wanita
itu memandang saya, matanya sembab. Lalu ia tersenyum. Sendu. Kemudian
membalikkan badan dan duduk di salah satu bangku di ruang tunggu yang sepi. Dan
saya melihat ketika itu, sayapnya yang patah sebelah. Sesuatu jelas remuk dalam
dadanya.
Peristiwa
itu terjadi delapan tahun lalu, tetapi bekasnya seperti baru kemarin melesak ke
dalam ceruk kepala saya yang sempit.
Hari
itu saya datang ke PMI untuk mendonorkan darah. Saya sudah menjadi pendonor
tetap sejak umur saya memenuhi syarat. Kalau Anda bertanya mengapa saya mau
berdonor? Bagi saya donor darah seperti suatu panggilan. Gampangnya Anda bisa
menyamakan dengan panggilan untuk menjadi biarawan-biarawati, ulama, dokter,
perawat, guru, atau sukarelawan. Kalau dipikir menggunakan nalar, donor darah mengajar
saya untuk menolong sesama tanpa pamrih. Maksud saya begini: andai saya
menolong orang yang ada di sekitar saya, yang saya kenal betul, dan suatu saat
orang itu menyakiti atau mencurangi saya, saya pasti akan berpikir atau bahkan
berujar, “hey,
bukannya dulu kamu pernah kutolong?! Tidak tahu balas budi kamu!” Dan saya
mulai mengungkit apa-apa yang pernah saya perbuat baginya.
Tapi
ketika saya mendonorkan darah, saya tidak tahu kepada siapa darah saya itu akan
diberikan. Jadi, apabila suatu saat orang itu bertemu saya di jalan lalu
menabrak saya atau berbuat buruk terhadap saya, saya mungkin akan marah, namun yang
jelas saya tidak akan mengungkit-ungkit yang pernah saya lakukan. Mengata-ngatai
bahwa darahnya sekarang pernah menjadi milik saya dahulu. Dan bahwa ia
berhutang nyawa pada saya, dan sebagainya.
Siang
itu, setelah wanita itu berpaling, saya menuju meja resepsionis. Pintu dorong kembali
terayun. Seorang pria masuk. Wanita itu bangkit berdiri dan mengulang
percakapannya dengan saya tadi. Pria berkumis gondrong itu menggeleng. Cahaya
lilin nyaris padam. Rupanya angin datang membawa hujan. Menderas dari kedua
mata si wanita.
Mengenang
seorang ibu yang memperjuangkan hidup anaknya di lobi hari itu, saya menulis cerita
ini.
No comments:
Post a Comment