Thursday, April 10, 2014

Sujatmiko: Saya dan Seorang Wanita Bersayap Patah

Suatu ketika saya pernah bertemu seorang wanita yang sebelah sayapnya patah. Siang itu Surabaya begitu panas. Matahari cerah bertengger di puncak langit Oktober. Saya berjalan di bawah deretan pohon Angsana sepanjang Jalan Embong Ploso. Bayang-bayang rimbun dedaun tak mampu mencegah sang surya menggarang aspal dengan kejamnya. Seperti biasa, jalan itu sunyi. Suara radio sayup keluar dari sebuah warung sepi. Tugu Bambu Runcing tegak di kejauhan, dikerubuti kendaraan yang lalu-lalang seperti segerombolan semut yang sibuk. Waktu itu saya sama sekali tidak membayangkan bahwa apa yang akan saya temui pada lobi gedung PMI bukanlah bangku-bangku kosong dan tangga yang angkuh menjulang seperti biasa.

Melewati sepasang pintu dorong, saya disembur oleh seorang wanita separuh baya.

“Apa golongan darahmu?” serbunya. 

Saya kebingungan. Dengan agak gagap saya menjawab, “B.”

Ia mendadak lesu. Cahayanya yang tadi sejenak memancar seketika redup bagai nyala sepotong lilin berjuang melawan deraan badai.

“Saya perlu darah A,” kemudian ia berkata. “Anak saya kecelakaan dan perlu donor darah segera, tapi di rumah sakit tidak ada stok. Saya disuruh kemari. Di sini juga tidak ada stok.” Kemudian ia diam, menekuri lantai. Saya diam. Suara printer menjerit-jerit memantul pada dinding dingin.

“Iya, saya B,” ulang saya. Menyesal.

Wanita itu memandang saya, matanya sembab. Lalu ia tersenyum. Sendu. Kemudian membalikkan badan dan duduk di salah satu bangku di ruang tunggu yang sepi. Dan saya melihat ketika itu, sayapnya yang patah sebelah. Sesuatu jelas remuk dalam dadanya.

Peristiwa itu terjadi delapan tahun lalu, tetapi bekasnya seperti baru kemarin melesak ke dalam ceruk kepala saya yang sempit.

Hari itu saya datang ke PMI untuk mendonorkan darah. Saya sudah menjadi pendonor tetap sejak umur saya memenuhi syarat. Kalau Anda bertanya mengapa saya mau berdonor? Bagi saya donor darah seperti suatu panggilan. Gampangnya Anda bisa menyamakan dengan panggilan untuk menjadi biarawan-biarawati, ulama, dokter, perawat, guru, atau sukarelawan. Kalau dipikir menggunakan nalar, donor darah mengajar saya untuk menolong sesama tanpa pamrih. Maksud saya begini: andai saya menolong orang yang ada di sekitar saya, yang saya kenal betul, dan suatu saat orang itu menyakiti atau mencurangi saya, saya pasti akan berpikir atau bahkan berujar, “hey, bukannya dulu kamu pernah kutolong?! Tidak tahu balas budi kamu!” Dan saya mulai mengungkit apa-apa yang pernah saya perbuat baginya.

Tapi ketika saya mendonorkan darah, saya tidak tahu kepada siapa darah saya itu akan diberikan. Jadi, apabila suatu saat orang itu bertemu saya di jalan lalu menabrak saya atau berbuat buruk terhadap saya, saya mungkin akan marah, namun yang jelas saya tidak akan mengungkit-ungkit yang pernah saya lakukan. Mengata-ngatai bahwa darahnya sekarang pernah menjadi milik saya dahulu. Dan bahwa ia berhutang nyawa pada saya, dan sebagainya.

Siang itu, setelah wanita itu berpaling, saya menuju meja resepsionis. Pintu dorong kembali terayun. Seorang pria masuk. Wanita itu bangkit berdiri dan mengulang percakapannya dengan saya tadi. Pria berkumis gondrong itu menggeleng. Cahaya lilin nyaris padam. Rupanya angin datang membawa hujan. Menderas dari kedua mata si wanita.

Mengenang seorang ibu yang memperjuangkan hidup anaknya di lobi hari itu, saya menulis cerita ini.




No comments:

Post a Comment