Monday, April 28, 2014

Arief Sunarya: Setetes Keberanian, Nyawa Bagi Sesama

Cerita ini bukan sebuah testimoni penuh aksi heroik dalam situasi tanggap darurat bencana misalnya, bukan juga sebuah testimoni penuh suka-duka dalam pengabdian panjang menolong sesama, tetapi hanya sekedar cerita tentang setetes keberanian yang menyala dalam sebuah momentum hidup. Sebuah kesadaran untuk menjadi berani yang takkan pernah hadir dengan sendirinya tanpa ada musababnya. 

Ketika Tuhan menciptakan manusia dalam berbagai suku, ras dan golongan—yang mana untuk saling mengenal dan menyatu—menurutku, begitu pula dengan motif penciptaan darah. Lewat keberadaan golongan darah yang berbeda-beda, ternyata kita dipaksa untuk saling menolong dan berbagi. Maka, 250 ml darah yang pernah dihisap dari tubuhku ini, tak lagi hanya sekantong darah untuk menyambung kehidupan seorang rekan, melainkan sekantong serum empati yang  menang dari pertarungannya dengan virus ketakutan. 

Hari itu, ketika jalanan Jakarta dideras hujan, seorang rekan kerja mengalami kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari. Motor dan tubuhnya rusak berat: geger otak, tiga tulang rusuknya patah—salah satunya menusuk paru-paru—dan kehilangan banyak darah. Untuk menyelamatkan jiwanya, tindakan operasi harus sesegera mungkin dilakukan, namun masalah muncul ketika pihak rumah sakit saat itu tidak memiliki persediaan darah sesuai dengan golongan darah korban yaitu golongan B. Pihak keluarganya sendiri tidak ada yang mempunyai  golongan darah yang sama. Maka lewat jaringan komunikasi SMS dan BBM, situasi darurat inipun langsung diberitakan ke rekan-rekan lain. 

Tidak sulit untuk mencari rekan yang mempunyai golongan darah B karena golongan ini relatif umum, tetapi persoalannya bukan di situ. Beberapa rekan yang mempunyai golongan darah B ternyata tidak bisa menjadi donor karena beberapa alasan medis. Mulai dari sedang mengandung, mengidap hipertensi, pernah menderita hepatitis B, hingga belum lama menjalani operasi. Satu per satu calon donor pun berguguran. Tinggal menyisakan satu orang kontestan yaitu: diriku sendiri.

Sebuah situasi yang dilematis ada di hadapanku. Kenapa begitu? Karena aku mengidap hemophobia atau takut darah yang lumayan akut. Bila melihat darah tubuhku langsung pusing, mual dan gemetar. Ini mungkin dipicu pengalaman traumatis masa kecilku yang tanpa sengaja melihat kecelakaan tragis di jalan. Membayangkan diriku berbaring dengan salah satu tangan tertancap jarum dan selang yang mengalirkan darahku saja keringat dingin kontan menjalar, apalagi mengalaminya langsung.       

Tapi tak ada yang bisa mengalahkan kekuatan niat dan doa. Perlahan kutetapkan hati untuk membantu sekaligus menghadapi ‘sang monster’ yang menghantuiku selama ini. Sesaat sebelum ‘eksekusi’ dilakukan, aku coba hirup energi positif dengan berdoa sembari memejamkan mata dan membayangkan sesuatu yang menentramkan. Aku paksa pikiranku untuk terbang ke tempat lain, ke sebuah pantai dengan hamparan pasir putih dan gelung ombak yang menampar lembut kedua kakiku. Alhamdulillah, metode itu bekerja dengan baik. Selama proses transfusi, aku tidak dirasuki sindrom apapun. 

Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Tak cuma untuk seorang rekan yang sedang berjuang untuk hidupnya aku bisa berbuat sesuatu, tetapi juga untuk diriku sendiri. Betapa hanya dengan sedikit keberanian dan keinginan begitu banyak yang bisa kita lakukan untuk hidup ini, yang pada gilirannya sesungguhnya siklus kebaikan itu akan kembali pada diri sendiri. Seperti halnya darah dalam tubuh yang tak henti mengalir dan berputar memompa kehidupan.  

Imam: Ketahui Kebutuhannya, Donorkan Darah Kita

Pengalaman ini terjadi ketika magang.  Kampus mewajibkan mahasiswanya magang di perusahaan atau institusi sesuai dengan minat dan bakat. Salah satu media lokal yang sedang naik daun menjadi tujuan untuk mempraktikan ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah, Harian Tribun Jogja.  Kebetulan saat itu, menjelang bulan puasa.  Senin,23 Juli 2012 saya mendapat tugas untuk meliput kesiapan PMI Kota Jogja dalam menghadapi bulan puasa, terkait dengan stok darah dan pengamanan mudik.  Di kantor PMI kota Jogjakarta saya ditemui oleh Nur Edi, staff Pencarian Pelestarian Donor Darah Sukarela (P2D2S)PMI kota Yogyakarta

Nur Edi menjelaskan bahwa stok darah PMI saat itu masih cukup, dan untuk kesiapan menghadapi puasa PMI akan mengadakan donor darah keliling.  PMI menganjurkan untuk tetap donor darah walaupun saat puasa, hanya saja waktunya diganti.   Donor bisa dilakukan saat pagi hari atau malam hari setelah tarawih.  PMI juga siap membantu kegiatan donor darah dari masjid-masjid yang ingin mengadakan donor darah di malam hari sebagai rangkaian kegiatan Ramadan.  Untuk masyarakat yang tidak melaksanakan ibadah puasa juga bisa mendonorkan darahnya saat siang hari, PMI tetap buka selama 24 jam selama bulan puasa. Donor darah menjadi sangat penting di bulan puasa karena kebanyakan orang tidak donor, padahal menjelang mudik lebaran dan arus balik, cadangan darah adalah hal yang sangat vital di bidang kesehatan. 

Yang menarik, ternyata darah yang didonorkan setelah melalui serangkaian tes, akan dipisah-pisahkan sesuai dengan komponennya. Darah mempunyai  18 kompenen yang berbeda.  Pembagian darah, trombosit dan plasma cair ini dilakukan saat proses pengolahan lebih lanjut usai donor darah hingga menjadi darah lengkap, konsentrat sel darah merah, trombosit atau plasma.  Kebanyakan orang yang membutuhkan darah kurang mengetahui hal ini, sering kali mereka datang ke PMI hanya minta darah golongan O padahal yang benar adalah tanyakan kepada dokter yang mengangani pasien, membutuhkan komponen darah yang apa.  Hal yang pertama adalah tanyakan golongan darahnya dan komponen apa yang dibutuhkan. Setelah itu baru datanglah ke ke Unit Transfusi Darah (UTD) atau  PMI terdekat. Karena kalau salah bisa berbahaya. Prosedur yang benar adalah meminta surat keterangan dari dokter dulu baru ke UTD atau PMI.

Hal lain yang menjadi perhatian, untuk pengambilan darah sebaiknya diambil sesuai kebutuhan.  Jika sudah dikabulkan 10 kantong, jangan langsung diambil sekaligus, lebih baik dua kantong dan seterusnya karena jika kantong darah sudah keluar, bukan lagi menjadi tanggung jawab PMI. Darah itu bisa rusak, karena sifatnya sangat sensitif.
PMI juga menginformasikan kepada masyarakat, prosedur pengambilan darah di PMI itu sangat mudah,tidak seperti yang beredar di masyarakat, pengambilan darah di PMI itu susah dan lama.  “Itu cepet prosesnya paling hanya satu jam untuk menguji kecocokan darah pendonor dengan darah penerima, dibanding jika orang tidak mengambil darah dari PMI itu bisa sampai empat jam prosesnya.” jelas Nur.
 
Darah yang diambil di PMI tidak dijual, tetapi akan ada biaya yang dikenakan, tapi itu untuk pegelolaan darah. Sehingga, ada baiknya jika sebelum membutuhkan darah, kita kenali dulu kebutuhannya, kemudian jangan lupa untuk  mendonorkan darah kita.  Sangat mungkin beberapa ratus ml darah kita itu bisa menyelamatkan nyawa orang lain.

Isvy: Kesurupan Masal


Ketika itu aku baru kelas 1 SMK disalah satu sekolah kejuruan di kota Semarang. Karena menjadi murid baru, maka kami diwajibkan untuk mengikuti ekstra kurikuler. Apapun pilihannya, asal pilihannya 2 dan yang satu harus memilih pramuka. Karena aku bingung, akhirnya aku memutuskan ikut bersama temanku memilih ekstra kurikuler PMR yang kebetulan dulu ngehits banget disekolah karena prestasinya yang segudang. sebenarnya passionku bukan disitu, aku lebih senang olahraga terutama bulu tangkis. Tapi karena disekolah tidak memfasilitasi plus tidak adanya teman, maka aku putuskan untuk ikut bersama kawan sebangkuku. 

Pada mulanya aku ragu ikut ekstrakulikuler ini, aku merasa canggung dan agak aneh. Dengan kakak-kakak senior yang menurutku juga tidak seramah yang ku bayangkan. Materi pembelajaran yang sulit aku pahami, ditambah praktek pula yang menambah kebingunganku semula. Namun lama kelamaan materi serta pakteknya mulai agak menyenangkan. Dimulai dari membuat tandu, pertolongan pertama pada siswa yang pingsan, hingga cara membuat pembalut untuk patah tulang tangan. Semua berangsur menarik, dan kakak-kakak senior juga mulai berubah sikapnya menjadi ramah serta menyenangkan. 

Biasanya jika selama 1 bulan kami sudah dilatih dan dibina, maka kami secara bergantian akan menjadi petugas penjaga upacara hari senin. Bukan menjaga keamanan, tapi menjaga para siswa atau guru yang mungkin merasa kurang enak badan, lelah hingga pingsan untuk diistirahatkan ditempat yang telah disediakan. Dengan menggunakan rompi berlambangkan Palang Merah Indonesia, rasanya itu hari yang sangat aku tunggu. Meski mungkin tugasnya agak berat, tapi jika untuk menolong sesama itu adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Hari itu tiba, hari Senin. Hari dimana dilangsungkan upacara bendera di lapangan belakang sekolah. Aku bertugas bersama 9 orang lainnya. Kami menjaga lebih dari seribu siswa, belum termasuk guru serta karyawan yang jumlahnya hampir 200 sendiri. Ditengan perasaanku yang tidak sabar, ternyata aku terlambat masuk sekolah. Sesampainya disana, upacara hampir dilaksanakan. Tapi untunglah aku masih dipersilahkan untuk ikut bertugas meski ada sedikit omelan disela-selanya. 

Upacara berjalan lancar, hingga akhirnya ada satu siswi yang pingsan. Aku dan petugas yang lainpun segera bergegas mengangkatnya untuk diletakkan ditempat yang teduh. Setelah sekian menit, ada pula siswi yang ikut pingsan dari kelas yang sama. Namun siswi ini terjatuh dalam barisan sambil berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Tidak berselang lama, siswi yang sebelumnya pingsanpun tersadar dan berteriak-teriak. Mendadak kedua siswi ini menjadi pusat perhatian, dan kami membawa mereka keruang UKS untuk ditenangkan. Mereka seperti meronta dan hilang kesadarannya. Kami memegang kaki, tangan serta badannya agar tidak banyak bergerak. Kami juga melafalkan ayat2 Al-Quran agar jin yang merasuki mereka segera keluar. Namun itu semua tidak berhasil, dan akhirnya kami memutuskan untuk memanggil pemuka agama. Belum selesai kedua siswi ini kesurupan, ternyata kami kedatangan lagi bebeapa siswi lain yang juga mengalami kesurupan. Semakin lama, semakin banyak pasien kami. Kami pun merasa kewalahan. Hingga semua petugas PMR yang tidak bertugas pun ikut membantu. Dalam dunia medis, pengobatan terhadap seseorang yang mengalami kerasukan tidak kami terima. Dengan akal sehatpun tidak bisa kami mengerti. Ini lah pengalamanku yang pertama kali menjadi petugas PMR. Mungkin agak ekstrim, tapi ini benar-benar terjadi.(foto: tribunnews.com)

Syifa: Cerita KSR-Ku Tuk Pengabdianku

Syifa  "Cerita KSR-Ku tuk Pengabdianku" (Peserta No. 15)


Muh Sulham: Alasan Berdonor Darah

Muh Sulham "Alasan Berdonor Darah" (Peserta no. 14)



Marlini Wati: Apa Kata Mereka tentang PMI

Marlini Wati  "Apa Kata Mereka tentang PMI". (Peserta no. 13)


Ramadhan Chandra: Hadiah Istimewa

Ramadhan Chandra "Hadiah Istimewa". (Peserta no. 12)